Nasional & DuniaPerubahan Kedua UU Otsus Papua Berpotensi Merugikan OAP

Perubahan Kedua UU Otsus Papua Berpotensi Merugikan OAP

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Majelis Rakyat Papua (MRP) terus mendorong uji materiil terhadap Undang-undang nomor 2 tahun 2021 di Mahkamah Konstitusi (MK), karena MRP menganggap perubahan kedua atas Undang-undang nomor 21 tahun 2001, yaitu perubahan 19 pasal yang mana 8 pasal berpotensi merugikan rakyat Papua terutama Orang Asli Papua (OAP).

Penegasan ini diungkapkan Timotius Murib, ketua MRP, usai menggelar rapat pleno masa sidang ke IV, Senin (4/10/2021) di ruang sidang MRP, Kota Jayapura.

Murib mengatakan, uji materiil yang terus didorong MRP itu perlu diketahui oleh seluruh masyarakat Papua di 28 kabupaten dan kota bahwa perubahan kedua Undang-undang nomor 21 tahun 2001 sudah jadi dan Undang-undang nomor 2 tahun 2021 ada beberapa pasal yang diubah sangat berpotensi melemahkan roh dari Otsus Papua.

Baca Juga:  Jokowi Didesak Pecat Aparat TNI yang Melakukan Penganiayaan Terhadap Warga Papua

“Tim MRP setelah mengkaji atas perubahan 19 pasal itu, tim menemukan 8 pasal berpotensi merugikan rakyat Papua,” ujarnya.

Sejumlah kewenangan MRP yang diatur melalui Undang-undang nomor 21, kata Murib, telah diamputasi bahkan ditiadakan. Salah satu contohnya, pembentukan partai lokal sama sekali tidak diakomodir.

“Terkait pemekaran (DOB) di pasal 76 itu atas rekomendasi gubernur, DPRP dan MRP, tetapi kemudian hari ini atau perubahan ini ditiadakan. Jadi, tanpa rekomendasi gubernur, DPRP dan MRP, kapan saja Jakarta mau buat pemekaran provinsi atau kabupaten/kota, mereka (Jakarta) akan mekarkan,” tuturnya.

Tak hanya itu, Murib membeberkan, ada wacana Wakil Presiden RI akan berkantor di Papua untuk melaksanakan tugas-tugas Otonomi Khusus (Otsus) dari hasil perubahan di 19 pasal UU Otsus.

MRP merasa agak lucu dengan hal itu, karena Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh 200 juta penduduk dari Aceh sampai Papua, kemudian Wakil Presiden hanya datang urus 2,4 juta penduduk di Papua.

Baca Juga:  Komisi HAM PBB Minta Indonesia Izinkan Akses Kemanusiaan Kepada Pengungsi Internal di Papua

“Ini lucu dan lelucon yang sedang dimainkan oleh negara dengan kebijakan yang tidak etis dilakukan oleh pemerintahan saat ini. Negara harus ketahui bahwa Papua memiliki kekhususan dalam Undang-undang Otsus Papua, seperti mereka yang di Aceh, dan Yogyakarta,” ujar Murib.

MRP berpendapat, Wakil Presiden yang akan datang dan berkantor di Papua juga tentu menggunakan dana Otsus. Termasuk pemerintah pusat mengambil alih kewenangan seluruhnya, yang tadinya diberikan sepenuhnya ke daerah, kini justru akan diambil oleh Wakil Presiden.

“Dengan potensi merugikan orang asli Papua ini, MRP menilai perlu pentingnya dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi,” kata Murib.

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

Sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe mengapresiasi disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Meski begitu, juru bicara Gubernur Papua, Muhammad Rifai Darus mengatakan, persoalan di Tanah Papua masih belum selesai karena perubahan kedua Undang-undang Otsus Papua belum berbanding lurus dan tidak sesuai dengan harapan dan kebutuhan pemerintah daerah dan rakyat Papua.

Rifai juga menyoroti aspek politik, hukum, dan HAM yang dinilai tidak mendapat porsi dalam perubahan Undang-undang tersebut. Padahal, kata dia, desakan atas penyelesaian masalah politik hukum dan HAM rutin disuarakan oleh berbagai kalangan dan merupakan hal yang urgen dan krusial.

Pewarta: Agus Pabika
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

61 Tahun Aneksasi Bangsa Papua Telah Melahirkan Penindasan Secara Sistematis

0
“Kami mendesak tarik militer organik dan non organik dari tanah Papua dan hentikan operasi militer di atas tanah Papua. Cabut undang-undang Omnibus law, buka akses jurnalis asing dan nasional seluas-luasnya ke tanah Papua,” pungkasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.