Oleh: Simon Banundi)*
)* Penulis adalah mahasiswa magister ilmu lingkungan universitas Papua, manokwari, Propinsi Papua Barat
Pemerintah Pusat akhirnya meresmikan groundbreaking proyek pembangunan pabrik pemurnian konsentrat tembaga atau smelter PT. Freeport Indonesia (PTFI), di Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur, pada 12 Oktober 2021. Pabrik Smelter dengan desain single line terbesar di dunia ini direncanakan untuk mampu mengolah 1,7 juta ton konsentrat dan 480 ribu logam tembaga. Pembangunan pabrik Smelter ini terjadi setelah lebih dari 45 tahun Freeport telah mengekstraksi tambang tembaga dari Papua lalu mengekspornya ke Smelter utama milik PTFI, Atlantic Copper (Huelva Spanyol) dan beberapa negara lain di Asia, seperti Jepang, Korea Selatan dan China.
Proses groundbreaking smelter di Gresik menurut pengamatan pribadi bermula dari kesepakatan antara pihak PT. Freeport Indonesia (FCX) dan Pemerintah Republik Indonesia, setelah adanya perubahan yang terjadi, akibat lahirnya undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan, mineral dan batu bara, menggantikan regulasi sebelumnya, Undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan.
Pada prinsipnya, perintah Undang – Undang Minerba (Undang-undang No. 4 tahun 2009) khususnya terkait hubungan antara korporasi PTFI dan Pemerintah RI antara lain, kewajiban mengubah kontrak karya menjadi IUPK (Ijin Usaha Pertambangan Khusus), divestasi saham 51% kepada pemerintah RI, dan keharusan membangun smelter di Indonesia. Keharusan – keharusan ini, sejak awal terjadi tarik ulur yang panjang dan mengalami deadlock, sebab pihak PTFI tidak bersedia sehingga nyaris mengalami dispute (sengketa) yang mungkin saja bakal berakhir di meja Arbitrase Internasional sebagaimana diungkapkan Chappy Hakim mantan Presiden Direktur PTFI dalam bukunya “Freeport catatan pribadi”.
Progres yang terjadi sampai saat ini, dapat dipastikan bahwa PTFI akhirnya mengalah dan tunduk pada kedaulatan Negara dan hukum di Indonesia. PTFI melalui situs web. ptfi.co.id menginformasikan bahwa “sejak Desember 2018, PTFI telah menerima Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari Pemerintah Indonesia yang memungkinkan PTFI untuk tetap beroperasi di wilayah pertambangan mineral Grasberg hingga 2031 dan memiliki hak perpanjangan operasi hingga 2041”. Saat ini PTFI mengoperasikan tambang bawah tanah, underground Grasberg yang meliputi block cave/big gozan, deep mill lever zone (DMLZ) dan deep ore zone (DOZ) di bawah kedalam yang mencapai lebih dari 1.200 meter. CEO Freeport, Richard D. Adkerson pernah mengakui bahwa tambang Grasberg merupakan salah satu tambang paling profitable di dunia setara dengan tambang Ok Teddy milik Rio Tinto Di North Fly District, Papua New Guinea.
Papua Dapat Apa ?
Saat ini, tepat tiga bulan yang lalu, DPR RI mengesahkan perpanjangan penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus untuk Papua dan Papua barat melalui revisi Undang-Undang Nomor 21 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus, revisi ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan kedua atas undang-undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Berdasarkan Undang – Undang ini, Papua dan Papua Barat selanjutnya menerima perpanjangan penerimaan dana Otonomi Khusus yang dinaikan dari 2% (dua persen) menjadi 2,25% dari plafon DAU Nasional, penerimaan dilaksanakan mulai dari tahun 2021 sampai dengan tahun 2041. Berdasarkan ketentuan pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua, penerimaan ini bersumber dari “bagi hasil sumber daya alam yang meliputi, kehutanan, perikanan, pertambangan umum, pertambangan minyak bumi dan pertambangan gas alam”.
Apa yang dilakukan pemerintah pusat tidak hanya soal perubahan penerimaan Otonomi Khusus diatas, sebelumnya April 2021, masyarakat Papua dikejutkan dengan wacana Kementrian Dalam Negri yang mengumumkan pemecahan Propinsi Papua menjadi empat Propinsi, yaitu Propinsi Papua Tengah, Propinsi Papua Selatan, Propinsi Pegunungan Tengah, Propinsi Tabi Saireri. Sementara itu Propinsi Papua Barat terpecah menjadi dua Propinsi masing-masing Propinsi Papua Barat dan Propinsi Papua Barat Daya. Inisiasi pemecahan Propinsi Papua dan Papua Barat menjadi enam Propinsi kemudian melahirkan tumpang tindih kebijakan di tingkat pusat, sebab kebijakan moratorium Daerah Otonom Baru (DOB) masih terus dilakukan pemerintah setelah muncul penilaian terhadap Daerah Otonom Baru yang ada saat ini membebankan kapasitas fiscal Negara dan juga dari Kementrian Keuangan baru-baru ini mengkonfirmasikan bahwa serapan anggaran Otonomi Khusus di kedua Propinsi (Papua dan Papua Barat) saat ini masih tersisa akibat lemahnya perencanaan dan tata kelolah.
Wacana pemekaran dan revisi Undang-Undang Otonomi khusus diatas ini kemudian menampilkan secara transparan motif pengambil kebijakan di Jakarta yang sesungguhnya keliru dalam menangani Papua, mengapa, sebab baik revisi Otonomi Khusus maupun pemekaran wilayah kedua hal ini sangat eksplisit tertuang dalam Undang-undang Otonomi khusus Papua, dimana usulan pemekaran wilayah termasuk revisi (perubahan) Undang-undang Otonomi khusus, merujuk pada pasal 76 dan 77 Undang-Undang Otsus Papua, semestinya berbasis pada persetujuan MRP dan DPRP di Papua dan Papua Barat. Jikalau institusi lokal seperti halnya Dewan Perwakilan Rakyat Papua juga tidak dilibatkan dalam revisi Otonomi Khusus, tentu rakyat Papua tidak terlibat sama sekali terhadap inisiatif pemerintah pusat.
Menghindari resiko ini, pemerintah pusat kemudian merevisi (menambah satu ayat) dalam pasal 76 Undang-Undang Otsus Papua, yaitu ayat (2) sehingga berbunyi “Pemerintah dan Dewan Perwakilan rakyat dapat melakukan pemekaran daerah Provinsi dan kabupaten/Kota menjadi daerah Otonom baru untuk mempercepat pemerataan pembangunan…dan seterusnya”, padahal sebelumnya tidak pernah ada ayat ini dalam Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Smelter Gresik
Berbasis pada berbagai referensi, pemilihan lokasi pembangunan pabrik smelter PT. Freeport Indonesia di Gresik, Pemerintah Pusat sangat mungkin merujuk pada Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Penetapan Kabupaten Gresik sebagai KEK dilakukan pada, 28 Juni 2021 melalui Peraturan Pemerintah No. 71 tahun 2021 di atas lahan seluas 2.167. Ha, Berlokasi Di wilayah Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Lahan Kawasan ekonomi khusus Gresik lebih luas hampir tiga kali dibanding lahan Kawasan Ekonomi Khusus Kabupaten Sorong. Lahan yang diresmikan pada 11 Oktober 2019 ini ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 2006 dengan ketersediaan lokasi seluas, 523,7 Ha, yang diperuntukan bagi industri pengolahan Nikel, Kelapa Sawit dan hasil hutan lainnya.
Perbandingannya, Kawasan Ekonomi Khusus Gresik di bangun oleh PT Chiyoda International Indonesia di Kawasan industri Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE) sehingga sangat memungkinkan untuk mengikutsertakan industri lainnya seperti gypsum dan cooper slag sebagai bahan baku industri semen, serta sulfuric acid bahan baku pabrik pupuk NPK dan industri turunan tembaga lainnya. Luasan cakupan industri di Gresik memungkinkan serapan tenaga kerja yang berlebihan di pulau jawa, sementara itu di Papua, PTFI sendiri sejak 2017 sudah mem-PHK ribuan karyawannya tanpa membayar hak-haknya, Dinas Tenaga Kerja Provinsi Papua mencatat 8000 karyawan dilakukan Pemutusan hubungan Kerja secara sepihak oleh PTFI, ironisnya pembangunan smelter di Gresik bakal menyerap 40.000 tenaga kerja yang diambil dari Kabupaten Gresik dan sekitarnya.
Smelter Gresik, Papua dapat apa, adalah pertanyaan yang serius, yang bisa diabaikan atau diterima oleh Pemerintah untuk membangun Papua dari apa yang sebenarnya merupakan hak dari pada entitas Papua itu sendiri. Hak-hak dasar Papua tidak bisa dibungkam dengan kebijakan -kebijakan instan seperti pembangunan sarana-sarana, Pemekaran Daerah Otonom Baru. Tulisan ini tidak untuk membangun opini negative Pemerintah, tentu tidak harus demikian sebab Pemerintah Pusat pasti lebih paham dan menyadari pertanyaan “Papua dapat apa”. Keputusan pemerintah yang terlanjur sudah dilaksankan harus ada imbal balik yang seimbang bagi Papua, agar masyarakat Papua tidak merasa menjadi objek dalam investasi dan ekstraksi sumber daya alam Papua. Pemerintah Pusat juga wajib mengingat bahwa persoalan Papua termasuk mencakup suatu relasi mulai dari politik, ekonomi, sosial, lingkungan sehingga perlu ada pendekatan yang lebih bermartabat dan berkeadilan untuk menata Papua lebih dari sekedar menata pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam Papua. Untuk itu pemerintah Pusat layak mengkaji dan memperkuat Kawasan Ekonomi Khusus di Tanah Papua agar proses hilirisasi sumber daya alam dapat juga dilakukan dari tanah Papua, besar harapan Pemerintah dan PTFI juga perlu mengevaluasi kembali nasib 8000 karyawan yang mengalami PHK sehingga mereka dapat terserap untuk bekerja lagi. Torang Bisa..!
[i] .