PolhukamHAMSelama Tiga Tahun, SORAKPATOK: Papua Darurat Militer dan Darurat Kemanusiaan

Selama Tiga Tahun, SORAKPATOK: Papua Darurat Militer dan Darurat Kemanusiaan

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Solidaritas Rakyat Papua Tolak Kekerasan Negara (SORAKPATOK) membeberkan rangkaian fakta tragis sejak Soekarno kumandangkan Trikora (Tri Komando Rakyat) tanggal 19 Desember 1961 hingga kini tak kunjung selesai kekerasan militer terhadap warga sipil dan perang antara TPNPB OPM dan TNI/Polri.

Nyory Yarinap, koordinator SORAKPATOK, mengemukakan hal itu dalam konferensi pers menanggapi situasi konflik Papua, yang digelar Senin (8/11/2021) di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua.

Fakta kasus berdarah di Tanah Papua selama puluhan tahun, menurut Yarinap, dilatarbelakangi misi utama ekonomi dan politik. Pihaknya menilai target negara mencaplok dan menganeksasi West Papua dari Sorong sampai Merauke hanya karena kepentingan investasi kekayaan alam.

“Papua dibungkus dengan pendekatan kekerasan militer yang bertujuan untuk melindungi semua bentuk kepentingan ekonomi dan politik Indonesia,” ujarnya.

Senada, Ones Suhuniap, juru bicara nasional KNPB Pusat, mengatakan, selama ini Papua dijadikan lahan bisnis militer sambil melindungi kaum kapitalis dan imperialis global yang memiliki modal untuk terus menerus mengeksploitasi sumber daya alam di Tanah Papua.

“Indonesia mengadakan New York Agreement 15 Agustus 1962 dan Roma Agreement 30 September 1962 yang melegitimasi proses ilegal Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, kemudian berbagai operasi kejahatan militer digencarkan di seluruh Papua. Mulai dari operasi Wisnu Murti I dan II, operasi Barathayudha, operasi Gagak, operasi Kasuari, hingga operasi Rajawali,” tutur Ones.

Operasi militer berganti nama pada periode tertentu, kata Ones, sampai dengan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Pegunungan Bintang, dan Maybrat yang saat ini masih berlangsung.

Baca Juga:  Perda Pengakuan dan Perlindungan MHA di PBD Belum Diterapkan

“Papua dijadikan wilayah operasi militer, untuk mencaplok masuk ke Indonesia, juga karena mereka sudah lihat kekayaan luar biasa ada di sini. Itu semua akibat dominasi militer sejak masa lalu,” tegasnya.

Ones mencatat, darurat kemanusiaan dan darurat militer memuncak pada tahun 2021 dengan lokus di enam kabupaten terjadi perang antara TPNPB dan TNI/Polri. Akibatnya, jumlah korban dan pengungsian terus meningkat.

“Masih dalam pengungsian sebanyak 13.687 jiwa, sementara 64 orang dinyatakan meninggal, baik sipil, TPNPB dan TNI/Polri. Enam orang hilang hingga sekarang. Ditambah lagi dengan data dari Ndugama sejak 2018-2021, jumlah dari lima kabupaten sebanyak 50.687 jiwa yang masih dalam pengungsian saat ini, sedangkan yang meninggal 307 jiwa,” bebernya.

Dari data yang diperoleh KNPB, lanjut Ones, jumlah pasukan militer sejak melakukan pengamanan di wilayah perang TPN-PB versus TNI/Polri di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Pegunungan Bintang, Yahukimo, dan Maybrat, terus bertambah.

“Jumlahnya 24.000 anggota militer. Ditambah lagi dengan pengamanan PON XX sebanyak 23.261 aparat. Kalau dihitung seluruhnya, jumlah militer di Tanah Papua saat ini mencapai 47.261 aparat yang sedang beroperasi atas nama keamanan nasional Indonesia,” kata Suhuniap.

Emanuel Gobay, direktur LBH Papua, mengatakan, hak hidup, hak untuk aktivitas apapuan merupakan hak konstitusional warga negara. Sesuai pasal 28 ayat 4 UUD 1945 tentang perlindungan, penghormatan dan penegakan serta kemajuan hak asasi manusia, adalah tugas pemerintah.

Baca Juga:  Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

“Warga negara yang memiliki hak rasa aman, hak hidup, hak untuk beraktivitas, dan hak lainnya itu terenggut, dan fakta membuktikan bahwa negara tidak hadir. Negara melalui pemerintah tidak hadir ke sana,” ujarnya.

Kehadiran TNI/Polri sebagai reprentasi pemerintah, imbuh Emanuel, bukannya memberi rasa aman bagi masyarakat tetap di rumah masing-masing. Sebaliknya, mereka tinggalkan rumah dan mengungsi ke hutan,  kampung terdekat, bahkan hingga tiba di kabupaten tetangga. Sebagian warga memilih berlindung di Gereja.

“Yang sangat miris kemudian di tempat pengungsian juga tidak nyaman. Ada juga pengungsi lari ke PNG. Fakta menunjukan bahwa di Papua dengan adanya pendekatan militer yang kemudian melahirkan konflik bersenjata, mengakibatkan terjadinya pengungsian dari rumah,” urainya.

Menanggapi fakta menyedihkan selama setahun sejak Januari hingga November 2021, SORAKPATOK dalam konferensi pers menyampaikan pernyataan sikap.

  1. Segera hentikan semua operasi militer di wilayah perang dan seluruh Tanah Papua, yang hanya menguntungkan investor, oligarki, kaum pemodal, dan imperialis global. Sedangkan di saat bersamaan telah membuat 50.687 jiwa rakyat Papua mengungsi dari tanah air mereka, menderita, lapar, hidup dalam trauma dan ketakutan, bahkan hingga meninggal dunia.
  2. Mendesak pemerintah Indonesia segera mencabut semua izin eksplorasi, rencana pembangunan dan eksploitasi di wilayah Blok A Mimika, Blok B Wabu Intan Jaya, Blok C Pegunungan Bintang, dan Blok D Yahukimo. Serta segala bentuk investasi baik perizinan perkebunan sawit, food estate di Merauke dan Yahukimo, illegal logging di Maybrat dan Mimika, serta illegal mining dan ilegal fishing, Bandara Antariksa di Byak, yang merupakan dalang krisis kemanusiaan di Tanah Papua selama ini.
  3. Segera buka akses bagi jurnalis independen baik nasional maupun internasional untuk datang dan menginvestigasi situasi kemanusiaan di Tanah Papua.
  4. Mendesak Komisioner Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan lembaga HAM independen nasional dan internasional untuk datang ke Papua, secara khusus ke wilayah yang terkena dampak operasi militer, seperti Nduga, Intan Jaya, Puncak, Maybrat, dan Pegunungan Bintang.
  5. Mengajak seluruh pihak di Tanah Papua, baik Gereja, Adat, pemerintah, LSM, mahasiswa, pemuda, serta seluruh masyarakat Papua dari Sorong sampai Merauke, untuk bersama-sama mengawal krisis kemanusiaan yang terjadi di wilayah perang: Nduga, Intan Jaya, Puncak, Maybrat, dan Pegunungan Bintang. Karena masalah mereka adalah masalah kita bersama: Papua!
  6. Tolak Otonomi Khusus (Otsus), serta bebaskan Victor Yeimo dan semua tahanan politik (Tapol) Papua tanpa syarat!
  7. Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua untuk mengakhiri krisis kemanusiaan dan darurat militer, sekaligus ancaman perubahan iklim akibat eksploitasi kapitalisme dan imperialisme global atas sumber daya alam di Tanah Papua.
Baca Juga:  Yakobus Dumupa Nyatakan Siap Maju di Pemilihan Gubernur Papua Tengah

Pewarta: Atamus Kepno
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.