Pro dan Kontra Pembangunan Bandar Antariksa di Biak (1/3)

0
1049

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — LAPAN menyatakan Pulau Biak salah satu alternatif kandidat utama yang akan dijadikan lokasi pembangunan Bandar Antariksa karena LAPAN sudah memiliki asset lahan seluas 100 hektar yang berada di desa Saukobye, Distrik Biak Utara, Kab. Biak Numfor. 

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Tim LAPAN dan Tim China Great Wall Industry Corporation (CGWIC) pada tahun 2015 menunjukkan bahwa Pulau Biak secara geografis sangat strategis untuk dibangun menjadi bandar antariksa karena berada di pinggir laut menghadap Lautan Pasifik yang berarti memiliki akses langsung ke laut, kemudahan transportasi, dan tidak ada pulau baik kecil maupun besar di dekatnya/disekitarnya sehingga sangat sesuai jika akan dibangun bandar antariksa.

Rencana pembangunan bandar antariksa sudah dimulai sejak tahun 2010, namun hingga tahun 2017 keputusan penetapan lokasi pembangunan bandar antariksa belum dilakukan. Dalam Rencana Induk Keantariksaan Nasional tahun 2016–2040 telah direncanakan bahwa tahun 2017 LAPAN harus sudah melakukan feasibility study.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko. (Mediaindonesia.com)

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum melakukan penetapan, tetapi ia mengakui Biak hanya salah satu kandidat.  Sebab selain Biak, di Morotai juga ada tanah LAPAN.

“Sebagai kandidat artinya dia [Biak] memenuhi persyaratan secara teknis seperti dekat ekuator, laut bebas yang menghadap ke timur, lahannya cukup keras sehingga bisa jadi pondasi yang kuat untuk peluncuran roket. Saya masih buka kemungkinan (daerah) lain. Kami belum memilih,” ungkapnya kepada Suara Papua pada 10 Desember lalu.

ads

Sekertaris umum LPAN, Prof. Erna Sri Adiningsih mengatakan Biak dipilih sebagai lokasi untuk melakukan kajian, apakah cocok untuk membangun Bandar antariksa atau tidak. Karena di Biak sudah ada Stasiun Bumi dan ground station untuk Telemetry, Tracking, and Command (TT&C).

“Jadi satelit sudah ada kerja sama di sana [Biak]. Kajian terkait bandar antariksa ini memang sudah dilakukan sejak tahun 2007. Lokasi itu tidak mudah, tidak hanya persyaratan teknis harus dipenuhi, tapi juga hal lain yang perlu jadi pertimbangan. Tidak hanya teknis kalau dibangun menjadi bandar, tapi juga lingkungan, kondisi sosial budaya dan sebagainya juga jadi pertimbangan,” jelasnya.

Dia membeberkan, Biak menjadi lokasi yang pertama kali dikaji karena sudah ada aktivitas terkait keantariksaan yaitu Stasiun Bumi untuk TT&C yang sampai saat ini masih beroperasi dan ke depan karena ada fasilitas yang dibangun, juga akan terus dilanjutkan.

Selain Biak, lanjut dia, LAPAN juga mengkaji di lokasi-lokasi lainnya yang memang (cocok) sebagai bandar antariksa ekuatorial atau dekat dengan ekuator [teknis peluncuran] sebab tidak semua lokasi/ pulau memenuhi syarat dengan berbekal kepada pengalaman mengoperasikan tempat peluncuran uji roket di Pameungpek, Garut, itu sebagai gambaran awal.

Itu sebagian dari lokasi-lokasi yang memang kemungkinan akan bisa ditetapkan. “Kami pada saat itu mengkaji kemudian menyusun rekomendasi. Hanya saja sampai saat ini pemerintah Indonesia belum menetapkan dari lokasi-lokasi yang sudah dikaji kelayakannya itu sebagai lokasi bandar antariksa,” katanya.

Erna mengatakan, terbuka untuk calon lokasi yang lainnya. Kajian sangat detail karena tidak hanya mengkaji sekadar geografis sekitar ekuator, tapi juga drop zone dan sebagainya (bagaimana kondisi meterologis di tempat itu, kondisi di infrastruktur, kondisi sosbud dan ekonomi setempat).

Erna memaparkan, beberapa hal penting yang menjadi pertimbangan melakukan analisis terkait bandara antariksa adalah dapat dilihat dari aspek drop zone, kondisi meteorologi dan topografi setempat. Satu lagi yang menjadi pertimbangan dalam konteks bandar antariksa adalah ketika roket diluncurkan ada tingkat.

“Biak menjadi salah satu kandidat karena ini sudah di Timur, TT&C pertama masih bisa di wilayah di Papua, tapi untuk yang berikutnya harus ada TT&C di lokasi lainnya. Kalau dari kajian, tidak hanya teknis saja. Ketika teknis digabungkan dengan ekososbud itu akan menjadikan penilaian kelayakan berubah. Tidak sederhana ketika melakukan kajian. Tapi kembali lagi, ketika sudah ada kajian, ada rekomendasi, yang memutuskan adalah pemerintah di mana ditetapkan lokasi yang akan dibangun,” paparnya.

Kajian untuk Biak sudah selesai namun belum diputuskan oleh pemerintah. Setelah kajian, tahap selanjutnya adalah membuat masterplan dan studi amdal.  Selain itu, untuk membangun Bandar antariksa perlu waktu dan tahapan.

“Ini berlaku di seluruh dunia, tidak hanya di Biak. Kajian untuk Biak awalnya dilakukan pada tahun 2007 dan sudah diupdate pada tiga tahun lalu. Dalam kajian terakhir sudah ditambah dengan kajian social budaya.”

“Kajian dari segi teknis dan non teknis perlu dipertimbangkan. Untuk saat ini kajian sudah selesai untuk beberapa lokasi. Jadi kalau pemerintah memutuskan di man pun, harus diperbarui lagi datanya dan memuat masterplannya,” terang Erna.

Pro dan Kontra di Masyarakat

Rencana LAPAN untuk membangun Bandar antariksa di Biak secara langsung membuat masyarakat terpecah menjadi dua kelompok, yakni pro dan kontra. Kelompok yang menerima dan mendukung umumnya dari kalangan pemerintah dan masyarakat yang diduga sudah didekati secara personal dan bukan pemilik hak ulayat yang sesungguhnya.

Sementara suara-suara penolakan datang dari marga yang memiliki hak penuh atas lokasi yang rencananya akan dibangun Bandar antariksa dan para Mananwir sebagai pelindung adat dalam strata hidup orang Byak.

Kelompok pro beralasan bahwa Berdalil bahwa sudah ada tanda tangan untuk proses pembangunan Bandar antarksa pada tahun 1980. Pembicaraan untuk pembangunan Bandar antariksa sudah dibicarakan sejak lama sehingga bukan hal baru bagi pemilik lokasi.

Sedangkan kelompok yang kontra menyatakan penolakan pembangunan Bandar antariksa dengan alasan bahwa lokasinya adalah satu-satunya warisan leluhur dan nenek moyang yang sudah diwarisakan turun temurun. Dan pemilik lokasi tidak punya tempat di tempat lain lagi. Selain itu, adanya dugaan pemalsuan dan dugaan penipuan yang dilakukan pemerintah pada tahun 1980 saat bertemu dengan masyarakat.

Kelompok yang Pro

Kepala Distrik Biak Utara, Akwila Wabiser menyatakan Rencana pembangunan bandar antariksa sudah dibicarakan sejak tahun 1980 dengan para pemilik tempat. Selain itu dia juga berdalih bahwa ada tanda tangan pelepasan adat dengan para pemilik lokasi di Kampung Saukobye.

“Pembangunan bandar antariksa ini bukan hal baru [khususnya] di Korem. Bukan baru dibicarakan atau direncanakan, tapi sudah dari dahulu. Orang tua yang punya tempat, lokasi, tanah sudah melakukan berita acara dan udah tanda tangan untuk proses pembangunan bandar antariksa. Kalau tidak salah dari 1980,” jelasnya.

Akwila Wabiser, Kepala Distrik Biak Utara di Rumahnya Kampung Korem Biak Utara, Rabu, 15/12/2021. (Atamus Kepno – Suara Papua)

Akwila mengakui bahwa pemerintah Kabupaten Biak Numfor saat ini sedang ada upaya untuk membicarakan rencana pembangunannya dengan pemerintah pusat di Jakarta. Sehigga sebagai Kepala distrik, yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah ia mendukung untuk bandar antariksa dibangun di Biak.

Sejumlah alasan pendukung pun diutarakan Akwila. Diantaranya, ia berdalih bahwa tahapan pengkajian sudah dilakukan dan sudah ada tanda tangan berita acara pelepasan tanah adat dari para pemilik lokasi

“Apa yang pemerintah lakukan, ya, tetap dibangun. Di Pemerintahan ada hierarki kerja, ada atasan-atasan. Kalau sudah lalu beberapa tahapan seperti tanda tangan pelepasan adat dari pemilik hak ulayat, dan ada kajiannya. Sehingga selaku pemerintah, saya mendukung agar proses pembangunan itu tetap dilaksanakan,” terangnya.

Akwila juga mengatakan, pemerintah tingkat distrik sudah lakukan pendekatan secara dinas atau keluarga pemilik hak ulayat yaitu marga Abrauw. Pemerintah distrik sampaikan penyampaian-penyampaian supaya hal ini tidak terjadi gesekan-gesekan keluarga, adat, dan pemerintah. Bahkan ia mengabaikan penolakan dari pemilik hak ulayat dan mengatakan bahwa penolakan itu hal biasa yang tidak perlu ditanggapi secara serius.

“Saya pikir penolakan atau tidak [di mana-mana] itu hal biasa. Penolakan-penolakan, demo, itu hal yang sudah lumrah, sudah biasa di berbagai tempat. Bukan di Biak saja,” katanya.

Para pihak yang belum berhasil diwawancarai dalam liputan ini adalah Bupati Kabupaten Biak Numfor dan para pihak yang diduga orang-orang yang didedekati secara personal oleh pemerintah serta orang-orang yang diduga bukan pemilik hak ulayat sebenarnya.

Kelompok yang Kontra

Marthen Abrauw, Mananwir Keret Abrauw kepada suarapapua.com menegaskan, tanah leluhurnya yang sudah diwarisakan secara turun temurun tidak akan pernah diberikan kepada pihak mana pun. Sebab lokasi itulah satu-satunya tempat yang mereka miliki.

“Moyang kami yang hidup di atas tanah ini. Maka itu kami tetap mempertahankannya. Ini adalah satu warisan nenek moyang diwariskan kepada kami. Jadi kami akan tetap mempertahankan tanah adat kami sampai saat ini,” ujar Marten kepada suarapapua.com di Kampung Warbon, Biak Numfor pada 14 Desember 2021 lalu.

Marthen Abrauw, Mananwir Keret Abrauw. (Atamus Kepno – Suara Papua)

Marthen bilang, tanah yang mereka punya itu adalah aset dimana keret Abrauw mencari makan, bercocok tanam dan hidup.

“Kalau sudah diambil orang lain, kami tidak bisa hidup. Karena tanah ini memberikan sumber kehidupan kepada kami. Ini satu-satunya yang kami punya unntuk hidup dari moyang kami sampai saat ini,” tegasnya.

Mananwir Marthen bilang dia memiliki dokumen sebagai bukti bahwa pihaknya adalah satu-satunya pemilik hak atas tanah itu. Dia mengungkapkan, secara administrasi, Kampung Korim terdapat enam kampung dan 9 keret, diantaranya Abrauw, Rumander, Dimara, Kapitarauw, Wabiser, Rumaran, Obinaru, Oibus dan Apnil.

Dengan tegas Mananwir Marthen mengatakan, untuk Antariksa Keret Abrauw tidak setuju. “Untuk LAPAN, kami memang tidak setuju. Kami menolak karena tempat kami akan habis. Kami tahu bahwa itu membutuhkan lapangan/lahan yang luas,” tegasnya.

Tokoh Pemuda Keret Abrauw, Alex Abrauw mengutarakan hal yang sama. Dia menegaskan agar tanah yang sudah diklaim sebagai milik LAPAN itu dikembalikan kepada Keret Abrauw. Bahkan pemerintah tidak pernah duduk bicara dengan Keret Abrauw tetapi bicara dengan Keret lain yang tidak punya hak.

Menurutnya, yang dilawan adalah berita acara gati rugi tanaman kenapa sebesar 15 juta pada tahun 1980-an dipakai buat sertifikat tanah.

“Kami tidak jual tanah, apa yang mereka bilang itu itu klaim sepihak. Itulah sebabnya  sampai saat ini kami pertanyakan pihak LAPAN. Pihak Lapan juga balik Tanya kami. Dalam kasus ini sama sekali tidak tahu. Kalau sertifikat itu atas nama LAPAN berarti LAPAN yang harus bertanggungjawab. Kami sebagai Generasi berikutnya untuk menjaga tanah adat kami tetap lawan dan kami minta kembali tanah itu. Ini tanah adat dan bukan tanah pemerintah,” tegas Alex memperkuat pernyataan Mananwir Marthen Abrauw.

Dalam catatan Alex maupun Mananwir Marthen yang disampaikan kepada Suara Papua, Keret Abrauw telah melepaskan sebagian besar tanah mereka untuk dibangun berbagai fasilitas, dan hibahkan kepada pemerintah. Diantaranya lepaskan lahan untuk bangun sekolah, Koramil, Kantor Distrik dan Polsek.

Alex Abrauw (anak muda) dan Marthen Abrauw, Mananwir Keret Abrauw. (Atamus Kepno – Suara Papua)

Alex menyatakan, penolakan terhadap pembangunan LAPAN di atas tanah adat mereka sudah dilakukan berulang kali.  Dari 2014 Keret Abrauw sudah melakukan protes dengan halangi dorang [LAPAN] berkali-kali di lokasi saat mereka survey didampingi anggota TNI dari Koramil dan polisi dari Polsek.

“Iya, kami kan halangi mereka kemudian kita kasih penjelasan mengenai tanah itu ini Tanah adat. Yang kami tahu uang 15 juta itu saya kembali tegaskan bahwa itu hanya untuk ganti rugi tanaman. Itu untuk ganti rugi tanaman itu saja. Dari Keret kami tidak ada yang pernah jual tanah ke LAPAN,” tegasnya.

Yubelina Abrauw, Perwakilan Perempuan Pemilik Hak Ulayat lokasi pembangunan Bandar antariksa menyatakan dia tolak Bangun Bandar Antariksa di Kampung Saukobye distrik Biak Utara Kabupaten Biak Numfor itu. Dia menilai pembangunan Bandar antariksa itu akan membuat para pemilik hak ulayat kehilangan tempat tinggal dan tempat mencari makan.

“Itulah yang kami sangat harapkan untuk jangan membangun antariksa itu. kami keluarga besar Abrauw dan kami sebagai perempuan juga berusaha dengan sekeras mungkin untuk menolak pembangunan antariksa,” katanya.

Yubelina mengaku belum tahu dan belum memahami lebih banyak tentang dampak dari pembangunan Bandar antariksa, dan dampak dari barang itu kalau benar-benar dibangun.

“Kami sering dengar kalau dampaknya kecil. Tapi kami juga caritahu banyak tentang dampak. Belum ada penjelasan detail dari pihak terkati.  Yang pasti dia akan berdampak kepada lingkungan, lahan kebun, laut tempat mencari ikan dan tempat tinggal kami,” katanya.

Kainkain karkara Byak, Apolos Sroyer mengatakan berdasarkan laporan dan hasil investigasi, proses pengambilalihan tanah pada tahun 1980-an terjadi saat beberapa wilayah seperti Biak Utara dan Biak Barat sedang dalam kondisi Daerah Operasi Militer. Jadi tidak benar kalau ada kesepakatan untuk melepaskan tanah adat kepada LAPAN.

Dalam sebuah musyawarah Adat di Biak Timur para Mananwir berkumpul di Kampung Anggopi bersepakat atas laporan dari pada Mananwir dari Napa terkait dengan tanah yang saat ini menjadi masalah, dibawa ke dalam sidang dari dalam sidang itu secara bulat para Mananwir memutuskan untuk tidak memberikan sebidang tanah pun kepada siapa pun.

“Bahkan kami tindaklanjuti pertemuan ini dengan mengadakan pleno khusus di Sorido KPS unutk lebih memperkuat keputusan sidang kami dan disitu kami umumkan melalui media tentang tanah yang diklaim oleh LAPAN itu uang ganti rugi sebesar 15 juta akan dikembalikan kepada LAPAN,” ungkapnya.

Sebagai Mananwir, Apolos dan Mananwir yang lain bertanggungjawab untuk menjaga hak-hak masyarakat, secaha khusus dalam persoalan sengketa tanah. Apabila ada pihak-pihak yang mau menggunakan tanah maka dia harus melalui mekanisme yang ada di Kain-Kain Karkara Byak (KKB) Dewan Adat sehingga masyarakat harus diposisikan sebagai pemilik.

Apolos Sroyer, Ketua Dewan Adat Kainkain Karkara Byak. (Atamus Kepno – Suara Papua)

 

Apolos bilang mereka sudah membentuk tim Advokasi untuk membantu mengadvokasi masyarakat jika ada hal yang harus diadvokasi ke lembaga-lembaga hukum. “Kami sudah berikan kuasa hukum kepada Gustaf Kawer sebagai kuasa hukum. Kalau ada hal-hal yang mengancam masyarakat terkait dengan tanah Warbon yang ada di Biak Utara itu [Korem] kami sudah punya kuasa hukum dia akan membantu akan mewakili kami untuk itu,” ujarnya.

Kainkain karkara Byak, kata Apolos, pada prinsipnya mendukung bersama masyarakat pemilk hak ulayat dan menolak LAPAN mengambil tanah adat Keret Abrawu di Biak Utara.

“Jadi kami tetap tolak karena dia [LAPAN] berpotensi menghancurkan ekosistem kehidupan kami masyarakat Adat. saya selalu bilang kami tidak pernah makan satelit baru kami hidup dari dulu moyang kami sampai kami dan  anak cucu kami, kami akan pakai makan anak-anak kami dari hasil dari alami tanah kami,” tegasnya.

Pendekatan Tidak Tepat Sasaran 

Pada 21 Oktober, Kepala BRIN, Handoko Tri Laksono,  bersama Sekertaris Utama LAPAN, Erna Sri Adiningsi datang ke Biak lalu mengadakan pertemuan dengan Bupati dan Tokoh adat.  Tujuan ke Biak adalah untuk melihat dari dekat karena harus merencanakan program penerbangan dan antariksa nasional.

Pendekatan yang sudah dibangun sejauh ini menurut Tri Laksana adalah sejak awal bangun komunikasi  pemda Kab. Biak Numfor.

“Karena Pemda penguasa daerah Biak,  kami perlu tahu juga ini status lahan punya siapa dan sebagainya, siapa saja yang terkait di situ dan seterusnya. Jadi, selalu dengan pemda dan pemangku adat karena tanah di Biak Utara adalah tanah ulayat. Dan yang saya pahami Pemda dan pemangku adat sudah menyepakati,” katanya.

Dari pertemuan itu untuk kasus Biak Pemda dan pemangku adat  sangat bersemangat karena. “Mereka merasa itu bagian dari upaya membantu mengentaskan (masalah) ekonomi mereka juga. Bahkan datang ke kantor saya, Bupati dan pemangku adat/ketua marga, bulan Oktober. Ada 10 oranglah,” ungkapnya.

Terpisah, Kepala Distrik Biak Utara, Akwila Wabiser kepada Suara Papua mengatakan, sosialisasi kepada masyarakat tentang dampak positif dan negatif dari LAPAN sudah dilakukan sebanyak empat kali antara tahun 2017 dan 2018.

“Sudah disampaikan ke masyarakat dan sudah menggelar sosialisasi empat kali,  di kantor camat, kantor balai kampung Andei, kampung  Saukobye dan besar-besaran di Biak Numfor tentang dampak kepada masyarakat sehingga tidak terjadi hal-hal yang terjadi seperti cekcok dan sebagainya,” ungkapnya.

Pernyataan berbeda disampaikan Ketua Dewan Adat Kainkain Karkara Byak, Apolos Sroyer. Menurut dia LAPAN tidak pernah ketemu dengan masyarakat adat dan pemilik hak ulayat.  “Saya tidak tahu. Mungkin pertemuan antara LAPAN dengan pemerintah daerah ada. Tetapi tidak pernah pertemuan dengan kami tidak,” ungkap Sroyer.

Kata Apolos, Dewan Adat Kainkain Karkara Byak akan memamggil LAPAN untuk menjelaskan kepada masyarakat adat.

“Kalaupun dia [LAPAN] tidak datang juga ya, bukan ko punya tanah juga. Itu kami punya tanah. Ko yang datang mau pakai, Jangan balik logika ini. Ini tanah kami kau datang minta sama kami tapi cara minta dan cara bawah tanah itu tidak wajar,” tegas Apolos.

Lokasi yang sedang diincar untuk membangun Bandar antariksa di Biak adalah milik marga Abrauw, marga terkecil yang hanya ada di Saukobye. “Jadi ini akan mengancam kehidupan mereka. Karena tidak ada tempat di kampung-kampung seluruh Biak. Mereka hanya ada di kampung itu saja,” terangnya.

Marthen Abrauw, Tokoh Adat Keret Abrauw menegaskan, mereka memang tidak setuju untuk bangun Bandar antariksa di atas tanah ulayat mereka. Alasannya, karena LAPAN akan membutuhkan lahan yang sangat besar dan dipastikan Keret Abruw tidak akan punya warinsa moyang lagi kalau benar-benar dibangun.

Untuk pendekatan yang selama ini dilakukan pemerintah, tidak pernah pemerintah dan LAPAN datang bertemu langsung.

“Bapa Bupati dorang sudah berkalli-kali pertemuan dengan pihak LAPAN tapi kami banyak yang ditantan tapi kami abaikan. Kami juga kembali melihat sejarah dan kita mempertahankan kami punya sejarah atau tanah leluhur kami,” tambahnya.

Sekertaris Dewan Adat Kainkain Karkara Byak, Gerard Kafiar mengatakan, meskipun pembangunan berskala besar atau berskala kecil seperti yang disampaikan Kepala Distrik Biak Utara, yang terpenting adalah penghormatan terhadap masyarakat adat pemilik hak ulayatlah yang paling penting.

“Penghormatan harga diri kami sebagai masyarakat pribumi yang kami tuntut, bukan masalah skala pembangunannya. Sebagai Sekjen Dewan Adat Kainkain Karkara Byak saya kecewa dengan pola pola pikirnya pemerintah daerah kami,” ungkap Kafiar.

 

Pewarta: Atamus Kepno
Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaVanuatu Kembali Mendapatkan Hak Suaranya di PBB
Artikel berikutnyaMenLHK RI Cabut 48 Izin Perusahaan di Papua dan Papua Barat