Nopelinus Sondegau, Korban Salah Tembak dalam Konflik Bersenjata di Intan Jaya

0
978
Kuburan Nopelinus Sondegau di komplek Gereja Katolik Waboagapa, kampung Wandoga, distrik Sugapa, kabupaten Intan Jaya, Papua. (Arnold Belau - Suara Papua)
adv
loading...

Laporan Redaksi Suara Papua pada tahun 2022

Latar Belakang

Pada bulan Mei 2019, Benny Wenda sebagai ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) mendeklarasikan lahirnya sebuah organisasi sayap militer yang berada di bawah naungan dan kontrolnya. Organisasi militer yang dibentuk dan dideklarasikan di perbatasan PNG dan Indonesia itu diberi nama West Papua Army (WPA).

West Papua Army (WPA) diklaim sebagai organisasi militer yang didirikan atas persetujuan sejumlah organisasi militer, diantaranya Tentara Nasional Papua (TNP), Tentara Nasional Pembebasan Papua Barat (TPNPB) dan Tentara Revolusi West Papua (TRWP). Sejumlah orang yang diklaim sebagai perwakilan dari organisasi militer ini hadir. Benny Wenda juga hadir dan deklarasikan WPA yang menurut klaim Benny, sebuah organisasi militer berdasarkan kesepakatan bersama untuk bersatu.

Masalah kemudian muncul. TPNPB sebagai organisasi sayap militer dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah pihak yang menentang deklarasi WPA yang dilakukan Benny Wenda di perbatasan Indonesia dan PNG. TPNPB menyatakan sikap menolak organisasi militer yang dibentuk dan dideklarasikan Benny Wenda.

ads

Sebagai bentuk protes, penolakan dan sikap menentang atas sikap Benny Wenda yang mendeklarasikan WPA, dua bulan kemudian TPNPB melakukan reunifikasi di Ilaga, kabupaten Puncak Papua pada 1 – 4 Agustus 2019. Reunifikasi ini kemudian dikenal dengan nama Reunifikasi Tegelobak.

Reunifikasi di Ilaga dihadiri oleh seluruh petinggi TPNPB dan perwakilan TPNPB yang ada di seluruh Tanah Papua. Sebagai pemimpin tertinggi Jenderal TPNPB Goliat Naaman Tabuni didampingi Komandan Operasi Umum TPNPB, Lekagak Telenggen hadir dan memberikan pernyataan sikap penolakan terhadap WPA, organisasi militer bentukan Benny Wenda.

Salah satu keputusan TPNPB dalam reunifikasi Tegelobak yang disampaikan kepada publik adalah penentuan wilayah operasi TPNPB serta menolak organisasi WPA yang dibentuk dan dideklarasikan di PNG. Wilayah Nduga dan seluruh areal PT Freeport ditetapkan sebagai wilayah operasi dan perang dengan aparat militer Indonesia. Keputusan ini merupakan salah satu dari sejumlah keputusan yang diumumkan ke publik.

Suara Papua melakukan wawancara dengan Kepala Staf TPNPB Kodap III Nemangkawi, almarhum Hengky Uwanmang. Dalam wawancara yang dilakukan pada minggu kedua Agustus 2019 itu, dia menjelaskan bahwa ratusan prajurit dan petinggi TPNPB yang hadir dalam reunifikasi Tegelobak mulai kembali ke markas masing-masing. Salah satu rencana yang akan dilakukan pada akhir tahun itu adalah melakukan penyerangan di seluruh areal PT Freeport. Pada tahun 2020, aparat gabungan TNI dan Polri tembak mati Hengky Uwanmang di Timika, Papua.

Pada 14 Agustus 2019, pasukan TPNPB dibawah komando Militer Murib tembak mati seorang anggota polisi (sniper) dari Polda Papua di Ilaga. Penembakan yang menewaskan anggota Polisi ini kemudian menjadi peristiwa awal dimulainya operasi militer yang dilakukan pasukan gabungan TNI/Polri pada Agustus – September 2019 di Puncak Papua. Pada operasi militer yang dimulai 24 Agustus 2019 dengan alasan mengejar pelaku penembakan terhadap anggota polisi pada 14 Agustus dalam laporan Suara Papua tercatat 4 orang warga sipil menjadi korban dan dilaporkan meninggal dunia. Juga terjadi gelombang pengungsian di kabupaten Puncak.

Berdasarkan Surat Perintah Operasi TPNPB pada 2017 dan keputusan reunifikasi Tegelobak, TPNPB punya rencana untuk melakukan penembakan di areal Freeport dengan tujuan melumpuhkan aktivitas PT Freeport. Pada Agustus, September dan Oktober, TPNPB dari setiap Kodap melakukan perjalanan rahasia menuju ke areal Freeport, terutama Tembagapura dan sekitarnya. Pada awal Oktober, Militer Murib dan sejumlah anggotanya melakukan perjalanan dari Ilaga menuju ke Intan Jaya lewat Beoga.

Rencana mobilisasi prajurit TPNPB ke areal Freeport diketahui militer Indonesia. Sehingga pada 11 November 2019, Komjen Pol Paulus Waterpauw mengeluarkan pernyataan bahwa ada indikasi TPNPB mengganggu kegiatan operasional di wilayah Freeport. Dengan indikasi tersebut, Polda Papua dan Freeport melakukan kerjasama pengamanan untuk meminimalisir gangguan di areal konsesi Freeport.

Pada 26 Okotber 2019, bertempat di kampung Soanggama (Pugisiga) berlangsung acara bakar batu sebagai bentuk penyambutan anggota TPNPB dari Puncak yang tiba di Intan Jaya. Kedatangan mereka adalah dalam rangka menuju ke Timika, areal Freeport melalui rute Intan Jaya. Pada saat itu juga tiga orang tukang ojek ditembak mati TPNPB. Mereka ditembak mati karena ketiga tukang ojek ini sampai di areal acara penyambutan berlangsung. Peristiwa ini menjadi cikal bakal terjadinya konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI/Polri di kabupaten Intan Jaya.

Penembakan terhadap tiga tukang ojek pada 26 Oktober dan adanya indikasi gangguan keamanan di wilayah Freeport menjadi alasan operasi militer dilakukan di Intan Jaya. Operasi militer yang mulai dilakukan di Intan Jaya sejak pekan kedua Desember 2019 dibalut dengan kegiatan bakti sosial.

Peneliti dari Imparsial menyebut operasi militer yang dilakukan di Papua adalah ilegal karena tak sesuai dengan Pasal 7 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Benarkah demikian? Peneliti dari Imparsial, Hussein Ahmad, mengatakan, operasi militer yang dilakukan pasukan TNI merupakan tindakan ilegal karena tak sesuai dengan Pasal 7 ayat 3 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Operasi militer itu pun dinilai telah mendorong adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Tanah Papua. Hal tersebut dikatakan Hussein dalam acara diskusi Swarga Fest dengan tema “Kekerasan Bersenjata di Papua: Kapankah Akan Berakhir?”.

Pasal 7 ayat 3 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyebutkan bahwa operasi untuk perang maupun bukan harus berdasarkan keputusan politik negara. Oleh karena itu, menurut Hussein, dapat disimpulkan bahwa keputusan politik negara adalah ketetapan presiden setelah berkonsultasi dengan DPR. Pertanyaannya, kirim pasukan ke Intan Jaya dan buat pos di kampung-kampung Papua itu ada keputusan presidennya enggak? Sampai saat ini dasar hukum itu yang melandasi apakah operasi militer secara hukum boleh atau enggak, tidak ada sampai sekarang.

Kendati operasi militer yang dilakukan pasukan TNI di Papua tak sesuai undang-undang. Namun, pihak eksekutif maupun DPR-MPR tak pernah protes terkait operasi militer yang tak sejalan dengan Pasal 7 ayat 3 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Menurut Hussein, MPR dan DPR sebagai lembaga pengawas khususnya Komisi I tidak pernah protes. Kewenangan dia dilampaui dengan tiba-tiba adanya pengiriman pasukan yang kita tidak tahu jumlahnya berapa. Seharusnya itu semua dibuka. Sayangnya, anggota DPR maupun pemerintah tidak concern terhadap masalah ini. Tidak ada pengawasan terhadap hal itu.

Operasi Militer di Intan Jaya dengan ‘Jubah’ Bakti Sosial

Pada Desember 2019, pasukan gabungan TNI dan Polri merencanakan dan membuat satu operasi militer di Intan Jaya. Operasi militer ini dibalut dengan bakti sosial. Bakti sosial dan operasi militer dilakukan bersamaan. Bakti sosial direncanakan akan digelar di distrik Sugapa dan distrik Hitadipa, kabupaten Intan Jaya.

Disamping itu, aparat gabungan juga melakukan mobilisasi logistik dan pasukan secara massif pada 14 hingga 16 Desember 2019. Mobilisasi logistik dan pasukan dilakukan dari Timika, Nabire dan Paniai. Meski terbaca bahwa akan operasi militer secara massif, di media massa, Polda Papua membantah rencana operasi militer dan mengatakan mereka hanya melakukan bakti sosial.

Helikopter TNI jenis Super Puma saat hendak mendarat di bandara Soko Paki, Sugapa, Intan Jaya, 18/12/2019. (Supplied for SP)

Dalam rangka mobilisasi logistik dan pasukan, Polri menggunakan dua helikopter dengan jalur penerbangan Timika – Sugapa. Helikopter ini digunakan untuk mobilisasi pasukan Brimob Nemangkawi dari Timika. Sedangkan TNI menggunakan empat helikopter, diantaranya tiga helikopter serbu dan satu helikopter jenis Puma yang digunakan untuk mobilisasi logistik dengan jalur Timika – Sugapa dan sebaliknya. Dua helikopter milik Polri dan tiga helikopter serbu milik TNI diparkir di bandar udara Sokopaki dan helikopter jenis Puma melakukan penerbangan rutin Timika – Sugapa. Lima helikopter milik TNI dan Polri tersebut digunakan untuk mobilisasi prajurit. Sedangkan helikopter jenis Puma digunakan untuk mobilisasi logistik dan pasukan tambahan ke Sugapa.

Pada 17 Desember 2019, aparat melakukan penerbangan dengan helikopter ke distrik Hitadipa, menurunkan pasukan dan terjadi kontak tembak di kampung Kulapa, Sugapa Lama dan sekitarnya. Dalam peristiwa ini satu masyarakat sipil, Bertinusma Nggapaneringga Tabuni ditemukan meninggal pada 19 Desember. Dia meninggal bukan karena ditembak, tetapi meninggal karena jatuh ke jurang saat aparat melakukan penerbangan untuk melakukan operasi ke distrik Hitadipa pada 16 Desember.

Dua helikopter milik Polri dan tiga helikopter milik TNI saat parkir di bandara Soko Paki, Bilogai, 18/12/2019. (Supplied for SP)

Dalam rangka menyambut Natal tahun 2019, Bakti Sosial oleh Polri dilaksanakan pada 18 Desember di Sugapa. Bakti sosial yang dilakukan adalah membagikan buku kepada siswa dan melakukan pengobatan gratis. Kegiatan ini diselenggarakan di kampung Yokatapa, distrik Sugapa.

Suara Papua melaporkan bahwa ada mobilisasi aparat gabungan secara massif di Intan Jaya, Polda papua membantah dan menyatakan sedang melakukan bakti sosial. Faktanya memang terjadi pengerahan pasukan secara massif dengan tujuan operasi. Apalagi dengan kerahkan enam helikopter TNI dan Polri. Sementara Bakti Sosial di distrik Hitadipa baru dilakukan pada 18 Desember. Namun Polda Papua saat itu menyatakan bakti sosial di kedua distrik dilakukan bersamaan. Sehingga bakti sosial yang dilakukan Polri saat itu terkesan bertujuan untuk membaluti operasi militer yang dilakukan supaya tidak diketahui publik.

Motif pasukan gabungan TNI dan Polri melakukan operasi militer di bulan Desember 2019 adalah untuk melakukan penindakan terhadap anggota TPNPB. Operasi ini direncanakan sejak Oktober setelah tiga tukang ojek ditembak mati di distrik Hitadipa. Dan untuk menghadang TPNPB dalam perjalanan mereka ke Timika melalui rute Intan Jaya.

Baca Juga:  Wawancara Eksklusif Daily Post: Indonesia Tidak Pernah Menjajah Papua Barat!

Upaya yang dilakukan TNI dan Polri ini sesuai dengan pernyataan Paulus Waterpauw, Kapolda Papua saat itu yang menyatakan pihaknya sedang melakukan upaya-upaya pencegahan di sekitar areal pertambangan Freeport di Grasberg – Port Site.

Operasi militer yang dilakukan pada Desember 2019 tidak hanya di distrik Hitadipa, tetapi juga di distrik Sugapa. Terutama di kampung Ndugusiga, Eknemba, Titigi dan sekitarnya. Akibat dari operasi ini, ratusan masyarakat dari kampung Ndugusiga, distrik Sugapa mengungsi ke Nabire melalui jalan darat dan udara. Sebelum mengungsi, masyarakat dari Ndugusiga sempat berlindung ke gereja Paroki Titigi. Gelombang masyarakat mulai meninggalkan kampung mereka di Ndugusiga setelah Natal 25 Desember 2019.

Beberapa kampung lain seperti Ugimba, Iguwagitapa dan Yoparu di distrik Sugapa juga menjadi sasaran aparat melakukan operasi. Sebagian masyarakat dari kampung-kampung ini mengungsi ke kampung-kampung terdekat. Akibat adanya operasi militer, rencana TNI untuk membuat Pos TNI di kampung Titigi berjalan mulus. Saat ini TNI mempunyai satu pos TNI di kampung Titigi.

Pada tahun 2019 sempat warga sipil menjadi korban. Tiga tukang ojek atas nama Rizal (31), Herianto (31)  dan La Soni (25) serta Nggapaneringga Tabuni (60).

2020 – 2021 Konflik Berlanjut: Pengungsian dan Korban Berjatuhan

Memasuki 2020, pada Januari 2020, tensi operasi militer berkurang. Karena saat itu TPNPB mengalihkan fokus operasi mereka di sepanjang areal pertambangan Freeport di Timika. Meski demikian, aparat gabungan terus melakukan operasi militer. Sejumlah anggota TPNPB dilaporkan tewas di Timika dalam operasi penyerangan ke areal Freeport.

Pada 18 Februari 2020, pasukan TNI melakukan penyerangan membabi buta pada subuh hingga pagi di kampung Yoparu. Akibat dari penyerangan ini, empat orang tertembak. Melki Tipagau siswa kelas VI SD YPPK Bilogai dan Kayus Sani, kepala suku di kampung Yoparu tewas setelah ditembak mati di dalam rumah mereka dan keduanya dimakamkan dalam satu liang di kampung Galunggama, distrik Sugapa. Sedangkan Elpina Sani (mama kandung dari Melki Tipagau), lalu dirujuk ke Puskesmas Yokatapa dan Martina Sani siswi SD YPPK Bilogai tertembak lalu dirujuk ke Timika untuk mendapat perawatan medis.

Kayus Sani (51) dan Melki Tipagau (11) setelah dimakamkan di kampung Galunggama, Yoparu. (Supplied for SP)

Pada tahun 2020, pemerintah kabupaten Intan Jaya melalui Tim Penanganan Konflik melaporkan bahwa korban meninggal dari kalangan sipil sebanyak 9 orang, dihilangkan secara paksa 2 orang, korban sipil yang ditembak dan luka-luka sebanyak 7 orang.

Suara Papua mendapatkan laporan, satu warga sipil asal kampung Puyagiya ditembak mati TPNPB, sehingga korban warga sipil yang meninggal dunia pada tahun 2020 menjadi 10 orang. Pelakunya adalah TNI/Polri dan TPNPB. Di pihak aparat gabungan, dilaporkan 4 anggota TNI meninggal dunia dan 3 anggota TNI luka-luka. Pelakunya adalah TPNPB.

Pada tahun 2020, anggota TNI telah menembak mati tiga orang tokoh agama. Pdt. Yeremia Zanambani ditembak mati di kampung Bomba, distrik Hitadipa pada September dan Pewarta (gembala) Rufinus Bagubau ditembak mati di kampung Jalai, distrik Sugapa pada Oktober. Selain itu, Agustinus Duwitau, pewarta (gembala) di gereja Katolik Stase Emondi ditembak anggota TNI di kampung Bilogai, distrik Sugapa.

Kasus penembakan terhadap Pdt. Yeremia Zanambani mendapat perhatian publik. Berbagai pihak mendesak agar pelaku diproses hukum agar keluarga korban mendapat keadilan. Namun proses hukum terhadap para pelaku yang menembak mati Pdt. Yeremia tidak terbuka. Bahkan sampai saat ini tidak jelas.

Sepanjang tahun 2021, di pihak TNI dan Polri, Suara Papua mencatat sebanyak 6 anggota TNI meninggal dunia dan 3 anggota TNI luka-luka, 2 anggota Polri luka-luka akibat ditembak anggota TPNPB. Sedangkan di pihak sipil, 1 orang dinyatakan hilang, 6 orang ditembak mati dan empat orang mengalami luka-luka akibat ditembak anggota TNI dan Polri. Sementara itu, pihak TPNPB sebanyak dua orang dilaporkan telah meninggal dunia dalam kontak tembak dengan pasukan TNI dan Polri. Total korban akibat konflik bersenjata yang melibatkan TNI dan Polri dengan TPNPB sepanjang tahun 2021 adalah 12 orang meninggal, 1 orang hilang, dan 10 orang luka-luka.

Suara Papua juga menemukan adanya korban tiga anak muda ditembak pada November 2021 di kampung Wandoga. Ketiga korban ditembak mati anggota TNI karena dicurigai sebagai anggota TPNPB. Melalui penelusuran, ketiga anak ini menjadi korban saat ketiga membawa logistik berupa rokok, gula dan kopi untuk anggota TPNPB yang saat itu sedang berada di antara kampung Wandoga dan kampung Bulagi, distrik Sugapa. Pada tahun 2022, satu anggota TPNPB atas nama Marthen Belau ditembak dan meninggal dunia di kampung Puyagiya, distrik Sugapa.

Gelombang masyarakat mengungsi ke Timika dan Nabire pun tak terhindarkan sejak konflik bersenjata secara massif terjadi antara TNI/Polri dan TPNPB. Gelombang pengungsian terjadi pertama kali sejak 25 dan 26 Desember 2019 semenjak operasi militer dilakukan. Masyarakat dari distrik Hitadipa, Sugapa, Agisiga dan Ugimba sebagian besar telah menungsi ke Nabire dan Timika. Sampai dengan tahun 2022, jumlah pengungsi mencapai ribuan orang. Sebagian besar pengungsi sampai saat ini berada di Nabire karena tidak ada jaminan keamanan untuk pulang ke kampung halaman, juga tidak ada upaya dari pemerintah daerah untuk pulangkan mereka ke kampung halaman mereka.

Laporan tentang jumlah korban konflik bersenjata dari Desember 2019 – November 2022 dapat dilihat pada tabel dengan klik link ini: Korban Konflik Bersenjata di Intan Jaya

Nopelinus Sondegau, Tertembak dalam Rumah

Nopelinus Sondegau berusia dua tahun menjadi korban termuda dari lima puluhan korban baik dari kalangan sipil, TNI/Polri maupun TPNPB. Nopelinus Sondegau tewas setelah peluru tajam merobek perutnya pada 26 Oktober 2021. Dia tertembak dan meninggal dunia saat sedang ada di dalam rumahnya bersama orang tuanya di dalam rumah di kampung Yokatapa, distrik Sugapa.

Beberapa saat setelah tertembak, Nopelinus sempat dibawa ke Puskesmas yang berada pada jarak 1,5 km dari rumahnya. Tetapi petugas medis saat itu tidak ada di tempat karena kontak tembak yang terjadi pada malam hari antara TNI/Polri dan TPNPB di sekitar Yokatapa. Akhirnya Nopelinus tidak tertolong dan meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan warga kampung Bajemba, Yokatapa dan Wandoga yang saat itu sedang mengungsi ke gereja Katolik Waboagapa untuk berlindung  dan menghindar dari kontak tembak yang terjadi sejak 26 Oktober hingga minggu kedua November 2021.

Jarak rumah korban dan Koramil Sugapa disertai keterangan. (Suara Papua)

Bersamaan dengan penembakan yang menewaskan Nopelinus Sondegau, satu anak SD, Bertinus Yoakim Majau turut menjadi korban. Dia tertembak peluru aparat. Yoakim kemudian dirujuk ke Timika untuk mengeluarkan proyektil peluru yang bersarang dalam tubuhnya.

  1. Kesaksian Ayah dan Ibu Nopelinus Sondegau

Suara Papua bertemu dengan Bertinus Sondegau dan Mama Janambani, orang tua kandung Nopelinus Sondegau, korban yang ditembak mati pada 26 Oktober 2021. Rumah mereka terletak di kampung Yokatapa, distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya.

Pada saat itu, Uskup Keuskupan Bandung tahbiskan tiga imam baru dari Keuskupan Timika. Pentahbisan diselenggarakan pada 12 Oktober. Tiga imam baru yang ditahbiskan Uskup Bandung saat itu adalah Pastor Frans Sondegau, Pr, Pastor Yeskiel Belau, Pr dan Pastor Yosep Bunai, Pr. Tanggal 27 Oktober adalah hari dimana pastor Frans Sondegau akan memimpin perayaan misa perdana di gereja Katolik Waboagapa.

Saat peristiwan penembakan terjadi, Suara Papua berhasil mendapat penjelasan dan keterangan dari Ayub Sondegau, seorang tokoh pemuda di kampung Yokatapa. Meski rumah tidak berdekatan, pada saat kejadian, Ayub Sondegau adalah salah satu orang yang menggendong Nopelinus Sondegau ke Puskesmas karena saat itu Nopelinus masih bernafas dengan luka tembak.

Nopelinus Sondegau (2), korban tertembak dalam kontak tembak antara TNI/Polri dengan TPNPB pada 26 Oktober malam. Korban telah meninggal dunia. (Supplied for Suara Papua)

Ayub membenarkan bahwa korban yang tertembak adalah anak berusia dua tahun. Anak dari Bertinus Sondegau. Namun upaya yang ia lakukan untuk mencari jalan agar nyawa Nopelinus terselamatkan tidak berhasil. Karena saat itu tidak ada petugas di Puskesmas, tetapi yang ada saat itu adalah anggota yang bersiaga sambil mengeluarkan tembakan.

“Ada anak balita dapat tembak, anak dari Bertinus Sondegau. Saya sedang bawa ke Puskemas. Tapi tidak ada petugas jadi kami ada bawa kembali ke rumah. Saat kami pulang ke rumah baru anak Nopelinus meninggal,” kata Ayub melalui telepon selulernya kepada suarapapua.com pada 26 Oktober malam.

Bertinus Sondegau dan Mama Janambani bersedia untuk memberikan keterangan saat Suara Papua sambangi kediaman mereka di kampung Yokatapa pada Agustus 2022.

Kepada suarapapua.com, Bertinus Sondegau mengakui bahwa pada 26 Oktober dia tidak berada di rumah. Karena saat itu sedang berada di gereja dalam rangka melakukan persiapan bersama panitia misa perdana. Dimana besoknya (27 Oktober) Pastor Frans Sondegau akan memimpin misa perdana di gereja Stase Waboagapa.

“Saya waktu itu tidak ada di rumah. Waktu itu saya ada di gereja untuk persiapan bersama panitia misa perdana. Jadi, saya tidak tahu apa yang terjadi pada 26 Oktober malam. Dari gereja saya mendapat informasi bahwa anak saya (Nopelinus Sondegau) tertembak dan meninggal dunia,” jelas Bertinus kepada suarapapua.com.

Baca Juga:  Mahasiswa Papua Minta Presiden Jokowi Copot Jabatan Pangdam XVII/Cenderawasih

Karena ia tidak mengetahui banyak tentang apa yang terjadi saat anaknya tewas setelah tertembak, dia mempersilahkan Suara Papua bicara dan bertanya kepada istrinya, mama Janambani. Dan Mama Janambani bersedia untuk menceritakan apa yang ia alami saat peristiwa terjadi.

Mama Janambani bercerita, 26 Oktober malam, dia mendengar bunyi tembakan tidak jauh dari rumahanya. Mendengar bunyi tembakan itu, dia membawa anak-anaknya masuk ke dalam rumah bantuan sosial yang dibangun pemerintah untuk melindungi diri bersama anak-anaknya.

“Ada bunyi tembakan di dekat rumah. Tidak tahu siapa yang tembak dan tembak siapa. Jadi, saya waktu itu bawa anak-anak ke dalam rumah ini [sambil menunjuk rumah yang saat kejadian ia dan anak-anaknya berlindung di dalamnya],” kata mama Janambani sambil menunjuk rumah dan mengajak Suara Papua masuk ke dalam rumah.

Di dalam rumah, Suara Papua melihat sejumlah bekas tembakan yang menembus papan dan masuk ke dalam rumah. Ada lima bekas peluru tembus dan masuk ke dalam rumah.

Satu dari lima bekas peluru yang tembus papan. Nopelinus Sondegau kena peluru yang tembus papan. (Dok. Suara Papua)

Saat mendengar bunyi tembakan lebih dari tiga kali pertama kali itu, yang ada di pikirannya adalah menyelamatkan diri dan anak-anak untuk berlindung dalam rumah. Rumah mereka hanya dilapisi satu lembar papan berukuran 3cm dari luar dan  selembar tripleks setebal 1cm.

“Saya dan anak-anak sembunyi dan berlindung di tempat ini,” kata mama Janambani sambil menjukkan kamar yang ia dan anak-anaknya sembunyi.

Di dalam rumah, dia menempatkan anak-anak di kamar paling belakang dan memerintahkan untuk semua tiarap dan diam. Mama Janambani berpikir bahwa rumah yang ditutup dengan papan yang lebarnya 3cm dari luar dan selembar tripleks dari dalam itu bisa melindunginya dan anak-anaknya.

Tidak sampai satu menit setelah tembakan pertama, rentetan tembakan peluru diarahkan ke segala arah di sekitar rumah. Rumah yang mama Janambani dari anak-anaknya berlindung di dalamnya tidak luput dari rentetan tembakan itu.

Mama Janambani bilang, rentetan tembakan yang dia dengar setelah bunyi tembakan pertama adalah dari arah Koramil. Rentetan tembakan dari arah Koramil itulah yang mengenai rumah dimana mereka sedang bersembunyi dan berlindung. Rentetan tembakan kedua itu merupakan tembakan balasan dari tembakan pertama yang mama Janambani ungkap bahwa bunyinya tidak jauh dari rumah mereka.

“Tidak lama setelah tembakan pertama, saya mendengar rentetan tembakan dari arah Koramil. Tembakan dari arah Koramil itu kena seng dan rumah ini,” kata mama Janambani.

Di dalam situasi rentetan tembakan itu, anak-anaknya menangis ketakutan di dalam rumah. Mama Janambani mengaku, dalam rentetan tembakan itu dia minta untuk anak-anaknya tiarap di lantai.

Setelahnya, karena anak-anak lebih dari empat orang, maka ia menggendong anaknya yang kecil ke arah kamar belakang dekat kamar mandi untuk amankan dan sembunyikan di sana. Saat itulah Nopelinus yang melihat mamanya dan adiknya ke belakang berdiri persis di belakang mamanya dengan tujuan mengikut mamanya. Di saat itulah peluru yang kena rumah tembus papan dan tripleks lalu menghantam tubuhnya dan ia jatuh di antara kamar tengah dan kamar paling belakang.

“Tidak hanya anak-anak saya. Tapi ada beberapa anak-anak yang saat itu ada di sekitar halaman rumah saya bawa masuk ke dalam rumah untuk berlindung. Kami semua ada di dalam kamar tengah. Saya minta anak-anak tiarap. Tapi karena anak-anak banyak, saya bawa anak kecil adiknya Nopelinus ke belakang. Saat saya ke belakang itulah Nopelinus berdiri dan ikut kami. Lalu peluru yang ditembak dari arah Koramil tembus papan, tripleks dan kena Nopelinus di bagian perut dan dia jatuh,” ungkap mama Janambani sambil menunjukkan kamar tengah dan kamar belakang.

Mama Janambani juga tunjukkan tempat ia menggendong anaknya saat tertembak dan jatuh persis di belakangnya. Dia meyakini bahwa tembakan itu berasal dari Koramil. Karena Nopelinus kena tembakan dari rentetan tembakan dari arah Koramil yang dia dengar.

Mama Janambani juga membenarkan bahwa sempat berupaya untuk membawa Nopelinus ke Puskesmas. Setelah bunyi tembakan reda, dia berteriak bahwa anaknya dapat tembak. Saat itu beberapa pemuda kumpul dan gendong ke Puskesmas.

“Saya lihat anak saya tertembak. Jadi saya peluk anak yang sudah tidak berdaya dan menangis. Lalu tetangga kumpul di rumah sini karena saya menangis, dan anak-anak yang ada di dalam rumah juga menangis. Sempat digendong dan bawa ke Puskesmas, tapi tidak ada petugas jadi kami pulang. Nopelinus bertahan kurang dari satu jam, lalu meninggal di pangkuan saya,” tutur mama Janambani.

Pada malam setelah kejadian jenazah disemayamkan dalam rumah. 27 Oktober pagi dibawa ke halaman gereja atas permintaan gereja, lalu dimakamkan di dekat gereja.

“Malam setelah kejadian kami masih di rumah. Tapi besok paginya kami bawa ke gereja. Setelah didoakan, kami makamkan di dekat gereja,” kata mama Janambani.

Bertinus Sondegau, ayah dari Nopelinus mengatakan, dia tidak tahu apa yang terjadi. Namun setelah kejadian itu jenazah anaknya dibawa ke gereja, lalu dimakamkan di dekat gereja.

“Saya tidak tahu, seperti yang saya bilang di awal. Tapi setelah kejadian itu kami bawa ke gereja atas permintaan pihak gereja. Sebab saat itu semua masyarakat diarahkan untuk mengungsi dan berlindung di gereja. Lalu kami makamkan di halaman gereja,” tambah Bertinus.

  1. Nopelinus Tertembak dalam Tembakan Balasan ke TPNPB

Berdasarkan penjelasan dari ibu kandung Nopelinus yang menyebutkan ada penembakan awal yang ia dengar dari sekitar rumah, dan tembakan kedua dari arah Kormil, Suara Papua menelusuri apa yang terjadi sebelum penembakan terhadap Nopelinus terjadi.

Seorang pemuda dari Yokatapa, yang lokasi rumahnya berjarak 1km dengan rumah orang tua Nopelinus, dan berjarak 3km dari Koramil bersedia untuk menjelaskan apa yang ia alami dan lihat di rumahnya, tetapi ia menolak untuk menyebutkan namanya dalam laporan ini.

Pemuda ini mengatakan, sekitar pukul 18.30 ia pulang dari gereja ke rumahnya usai melakukan persiapan untuk misa perdana dari pastor Frans Sondegau yang dijawalkan akan diselenggarakan pada 27 Oktober. Sesampainya di rumah, ia mendapati tiga pemuda yang tidak kenal dengan senjata laras panjang.

“Sepulang dari gereja, saya lihat ada tiga pemuda di halaman rumah. Saya salam dan sapa, lalu masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, saya dengar salah satu dari mereka diperintahkan untuk pantau situasi di jalan. Saat itu juga dia pergi,” jelasnya.

Sedangkan dua pemuda lainnya, ia mendengar ada komunikasi lewat telepon seluler. Waktu itu, saya mendengar suara orang pendatang di telepon. Sedangkan dua pemuda yang ada di halaman rumahnya adalah orang Papua. Dia sempat mencurigai dengan komunikasi itu. Tidak lama setelah komunikasi lewat telepon genggam, dua pemuda itu pergi meninggalkan halaman rumahnya.

“Dengar komunikasi mereka di telepon saya jadi curiga. Apalagi sebelumnya sudah perintahkan salah satu dari antara mereka untuk memantau situasi di jalan. Setelah mereka keluar dari halaman rumah saya, ada kejadian penembakan. Jadi kecurigaan saya itu terjawab dengan adanya penembakan yang tewaskan Nopelinus Sondegau,” katanya.

Dia menduga, tiga pemuda dengan senjata yang datang dan berada di halaman rumah pada 26 Oktober malam itu melakukan pengaturan dengan pihak tertentu untuk kepentingan tertentu.

“Saya duga seperti itu karena penembakan di belakang Koramil terjadi tidak lama setelah tiga pemuda yang saya tidak kenal itu tinggalkan rumah saya,” katanya.

Keterangan yang Suara Papua dapatkan dari ibu kandung Nopelinus dan keterangan dari narasumber yang tidak ingin namanya disebutkan ini menguatkan kami untuk menyebutkan bahwa Nopelinus adalah korban salah tembak dari TNI. Sasaran TNI dari Koramil adalah menembak anggota TPNPB yang melakukan tembakan ke arah Koramil dari belakang Koramil. Lokasi penembakan pertama merupakan lokasi di sekitar rumah orang tua Nopelinus.

  1. Pasrah karena Pesimis untuk Dapat Keadilan

Ayah dari Nopelinus, Bertinus Sondegau kepada Suara Papua di kediamannya mengaku pasrah atas kematian anaknya. Menurut dia, anaknya Nopelinus menjadi korban karena konflik bersenjata yang dilatarbelakangi perbedaan ideologi  yang melibatkan dua kekuatan bersenjata.

Bertinus mengaku pesimis untuk mendapatkan keadilan. Karena anaknya bukan merupakan satu-satunya korban konflik bersenjata di Intan Jaya.

“Saya mau bicara apa? Kami mau menuntut pertanggungjawaban kepada siapa? Kami tidak bisa tuntut siapa-siapa. Karena kalau kami mau tuntut dan minta proses hukum juga, yang jadi korban bukan hanya anak kami. Banyak orang jadi korban yang juga tidak mendapat keadilan. Saya sendiri pesimis kalau kami akan dapat keadilan ketika kami menuntut keadilan,” kata Bertinus.

Lebih lanjut, Bertinus bilang, sebagai orang tua dengan melihat anak ditembak seperti itu ada rasa emosi, jengkel dan tidak terima. Tetapi, perasaan seperti itu tidak akan menghasilkan apa-apa, keadilan sekalipun.

“Saya sebagai orang tua tentu sakit hati, marah, jengel dan tidak terima. Tetapi saya juga sadar, dengan pikiran seperti ini mau dapat apa, apakah akan mendapat keadilan, tidak! Kami serahkan kepada Emo (Tuhan) supaya Emo yang berperkara dan menghukum pelakunya,” ujar Bertinus.

Bertinus mengatakan, usai kejadian yang menewaskan anaknya tersebut aparat kepolisian pernah sambangi kedua orangtua dari Nopelinus, selain itu tidak ada satu pun pihak yang bertanya tentang kematian anaknya.

Baca Juga:  ULMWP Kutuk Penembakan Dua Anak di Intan Jaya

“Satu kali saja polisi datang baru mau tanya-tanya tentang anak yang meninggal. Tapi kami tidak memberikan keterangan apa pun. Karena kami tahu hasil pertemuan itu tidak akan mengubah apa pun. Selain itu tidak pernah ada yang ketemu kami,” katanya.

Sikap dan Desakan Berbagai Pihak Atas Penembakan Nopelinus

Penembakan yang menewaskan Nopelianus Sondegau mendapat beragam tanggapan dari berbagai pihak. Dalam pemberitaan awal, Suara Papua memberitakan dua anak tertembak dalam rumah ketika terjadi kontak senjata antara aparat keamanan dan TPNPB.

Kepolisian Republik Indonesia melalui Polda Papua dalam pernyataan yang dikeluarkan pada 27 November 2021 menyatakan bahwa seorang balita meninggal dan menjadi korban dalam kontak senjata. Kombespol Ahmad Kamal, Kabid Humas Polda Papua mengatakan, kedua anak yang menjadi korban tembak tersebut saat aparat melakukan tembakan balasan terhadap tembakan yang dilakukan TPNPB ke arah Koramil dan Polsek Sugapa.

Tanpa investigasi, saat itu Polda Papua menuding kedua anak tersebut menjadi sasaran kelompok bersenjata.

“Pada saat terjadinya kontak yembak, dua anak sedang dengan orang tuanya beraktivitas di sekitar rumah, sehingga menjadi sasaran Kelompok Kriminal Bersenjata,”  kata Kamal saat itu.

Pernyataan Polda Papua melalui Kamal terkesan sebagai upaya melindungi aparat yang berada di Sugapa dan melakukan tembakan balasan.

Selain itu, dalam catatan akhir tahunnya Komnas HAM menuduh dan menempatkan TPNPB sebagai pelaku yang menembak Nopelinus Sondegau. Menurut Komnas HAM, peristiwa penembakan terhadap Nopelinus merupakan perisitiwa kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia Papua yang diduga dilakukan oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Berdasarkan pemantauan lapangan langsung pada 9 – 14 November 2021, terdapat korban jiwa masyarakat sipil yaitu Nopelinus Sondegau (2 tahun) dan Yoakim Majau (7 tahun).

Menurut ibu kandung dari alm. Nopelinus Sondegau, anaknya tertembak di dalam rumah saat berlindung bersamanya. Dia juga mengatakan, anaknya tertembak dari tembakan balasan dari arah Koramil ke arah rumah mereka. Dimana pada tembakan awal kelompok bersenjata mengeluarkan tembakan ke arah Koramil dari sekitar rumah ayah dan ibu dari Nopelianus. Sehingga ia meyakini bahwa anaknya tertembak peluru aparat dari Koramil.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menanggapi peristiwa penembakan dan kontak tembak yang terjadi pada Oktober 2021 menyatakan, peristiwa tertembaknya dua orang anak tersebut sekaligus membuktikan bahwa kontak senjata yang terjadi di Papua antara TPNPB dengan TNI/Polri hanya akan memakan korban berikutnya.

“Kami mengecam keras seluruh tindakan kekerasan yang dilakukan selama ini, sebab telah terbukti memakan korban masyarakat sipil, terkhusus anak sebagai generasi penerus bangsa. Kami mendesak agar peristiwa ini dapat diusut secara tuntas dan berkeadilan dengan memperhatikan prinsip terbaik bagi anak. Seluruh pelaku penembakan harus diseret ke muka pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya melalui mekanisme peradilan pidana,” tulis KontraS dalam pernyataan sikapnya.

Emanuel Gobay, direktur LBH Papua mengatakan, perlindungan anak dalam situasi konflik bersenjata merupakan tanggung jawab Negara. Hal ini juga sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (4), Konvensi tentang Hak-hak Anak yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia ke dalam Keppres Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Konvensi Tentang Hak-Hak Anak.

LBH Papua mendesak Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan pengawasan dan pelaporan perlindungan serta pemenuhan hak anak dalam situasi konflik bersenjata di Papua, khususnya Intan Jaya. Selain itu, Emanuel mendorong Komnas HAM untuk memberikan laporan kepada pihak berwajib soal penembakan yang menyebabkan kematian warga sipil.

“Ketua Komnas HAM segera lakukan tugas penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak hidup Nopelinus Sondegau (usia 2 tahun) sesuai perintah pasal 89 ayat (3) huruf b, Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” kata Emanuel.

Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy mendesak agar Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) segera melakukan tindakan untuk mengirim tim investigasi ke Sugapa, kabupaten Intan Jaya, provinsi Papua, guna melakukan penyelidikan (investigasi) dugaan pelanggaran HAM atas peristiwa penembakan yang menewaskan korban anak bernama Nopelinus Sondegau (2) dan melukai korban lainnya, Yoakim Majau (6).

Tidak Ada Upaya Proses Hukum

Bertinus Sondegau, ayah kandung Nopelinus mengaku pesimis untuk meminta pertanggugjawaban hukum terhadap pelaku yang menewaskan anaknya pada 26 Oktober 2021 malam. Dia menjelaskan, alasan yang mendasari pernyataan tersebut adalah karena sampai saat ini belum ada pihak yang mengakui dan menyatakan siap bertanggugjawab. Dimana menyoal kasus ini, TPNPB menuding TNI/Polri sebagai pelaku, dan sebaliknya TNI/Polri menuding TPNPB sebagai pelaku.

“Saya mau bicara apa? Kami mau menuntut pertanggungjawaban kepada siapa? Kami tidak bisa tuntut siapa-siapa. Karena kalau kami mau tuntut dan minta proses hukum juga, yang jadi korban bukan hanya anak kami. Banyak orang jadi korban yang juga tidak mendapat keadilan. Saya sendiri pesimis kalau kami akan dapat keadilan ketika kami menuntut keadilan,” kata Bertinus.

Alasan kedua, menurut Bertinus, anaknya menjadi korban konflik bersenjata antara TPNPB dan TNI/Polri akan menjadi martir bagi keluarganya dan bagi bangsanya.

KontraS menilai penembakan terhadap Nopelinus Sondegau merupakan bukti negara gagal memberikan perlindungan terhadap hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan bebas dari kekerasan serta diskriminasi. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menjamin bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk tindakan kekerasan.

Juga, Pasal 19 ayat (1) Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah memandatkan agar negara pihak harus mengambil seluruh tindakan untuk melindungi anak dari seluruh bentuk kekerasan fisik dan menta.

Pendekatan kekerasan yang terus dilakukan selama ini di Papua tentu kontraproduktif dengan mandat instrumen hak anak baik di level nasional maupun internasional. Peristiwa tertembaknya dua orang anak tersebut sekaligus membuktikan bahwa kontak senjata yang terjadi di Papua antara TPNPB dengan TNI/Polri hanya akan memakan korban berikutnya.

Selanjutnya, korban yang berasal dari kalangan masyarakat sipil, tak terkecuali anak-anak berpotensi besar kembali menjadi korban jika akar konflik tidak segera diselesaikan secara utuh.

KontraS mendesak agar negara mengusut tuntas dan berkeadilan peristiwa tertembaknya dua orang korban anak dan menjamin hak atas rasa aman warga setempat.

Konflik bersenjata di Intan Jaya sejak terjadi pada Desember 2019 hingga 2022 tidak ada penyelesaian. Minimal meminta pertanggungjawaban kepada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, diantaranya pasukan gabungan TNI dan Polri, serta TPNPB. Kehadiran kedua pihak ini telah menciptakan ketakutan dan trauma di tengah masyarakat. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang mengungsi ke Nabire dan Timika. Sebagian dari mereka belum pulang ke kampung halaman mereka.

Terdapat tiga kasus yang mendapat melibatkan TNI diproses hukum di internal TNI. Diantaranya penembakan terhadap Pdt. Yeremia Zanambani 19 September 2020, pembunuhan dan penyiksaan serta penghilangan paksa terhadap Apinus Zanambani dan Luther Zanambani pada 21 April 2020 di Sugapa, serta penghilangan paksa terhadap Sem Kobogau pada 5 Oktober 2021 di Sugapa.

Kasus penembakan terhadap pendeta Yeremia Zanambani di kampung Bomba, distrik Hitadipa pada September 2022 proses hukumnya tidak terbuka dan tidak optimal meskipun ada upaya proses hukum terhadap beberapa anggota TNI yang dinyatakan terlibat. Proses hukum yang tidak terbuka ini tidak memberikan rasa keadilan kepada keluarga korban.

Sembilan orang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi tersangka karena membakar dua jenazah warga Hitadipa, kabupaten Intan Jaya, yakni Luther Zanambani dan Apinus Zanambani. Kedua korban memiliki marga sama dengan Pendeta Yeremia Zanambani, yang meninggal diduga lantaran ditembak tentara.

Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat Letnan Jenderal TNI Dodik Widjanarko mengatakan, tindakan membakar jenazah itu demi menghilangkan jejak. Proses hukum terhadap sembilan anggota TNI sebagai pelaku tidak terbuka dan tidak jelas.

Sedangkan penculikan dan penghilangan paksa terhadap Sem Kobogau juga diproses hukum. Namun tidak terbuka juga sampai saat ini.

Selain tiga kasus ini, kasus-kasus lain yang terjadi dengan melibatkan TNI/Polri maupun TPNPB tidak mendapat perhatian untuk diselesaikan melalui jalur hukum. Sejumlah anggota TPNPB telah ditangkap dan diproses hukum di Jayapura dan Nabire. Sebagian dari mereka dijatuhi hukuman penjara.

Ibu kandung Nopelinus Sondegau, bocah berusia dua tahun yang meninggal setelah peluru menghantam tubuhnya meyakini bahwa Nopelinus adalah korban salah tembak. Dia juga meyakini peluru yang mengenai anaknya dalam rumah adalah peluru milik aparat yang melepaskan tembakan balasan ke arah anggota TPNPB yang melakukan tembakan ke arah Koramil dari sekitar rumahnya.

Dalam liputan ini Suara Papua mendata seluruh korban, baik TNI/Polri, TPNPB dan masyarakat sipil yang menjadi korban dalam konflik bersenjata yang terjadi di Intan Jaya dalam kurun waktu Desember 2019 hingga November 2022 telah mengorbankan 57 orang. Dari data ini, terdapat 36 orang meninggal dunia dan 21 orang luka-luka. Pelakunya adalah TNI/Polri, TPNPB dan OTK.

TPNPB dan TNI menjadi pelaku dominan yang terlibat dalam penembakan, penculikan dan pembunuhan terhadap warga sipil di kabupaten Intan Jaya. (*)

Laporan Indepth Report Suara Papua tahun 2022

Artikel sebelumnyaIllegal Mining Makin Marak, Komitmen Polres Tambrauw Dipertanyakan
Artikel berikutnyaKNPB Yahukimo Rayakan Hut Bangsa Papua Dengan Ibadah