Nasional & DuniaRUU DOB Papua Tak Sesuai Mekanisme Perumusan Perundang-undangan

RUU DOB Papua Tak Sesuai Mekanisme Perumusan Perundang-undangan

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Emanuel Gobai, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, menegaskan, perumusan rancangan undang-undang daerah otonom baru (RUU DOB) Papua oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tidak sesuai mekanisme perumusan perundang-undangan yang berlaku sah di negara Indonesia.

Tiga RUU DOB yang disetujui menjadi RUU inisiatif DPR pada Selasa (12/4/2022), yakni RUU tentang provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan Tengah.

“Presiden Joko Widodo segera perintahkan ketua DPR RI batalkan kebijakan Rancangan Undang-undang pemekaran provinsi-provinsi di Papua, sebab perumusannya tanpa mengakomodir aspirasi masyarakat Papua sesuai perintah Pasal 72 ayat (2) dan Pasal 76 ayat (5) Undang-undang nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 junto Pasal 18 huruf h Undang-undang nomor 15 tahun 2019,” ujarnya melalui press release pada Rabu (13/4/2022).

Desakan sama disampaikan kepada ketua DPR RI agar segera perintahkan Panja batalkan kebijakan RUU pemekaran provinsi-provinsi di Papua.

“Panja dan Baleg DPR RI Perumus RUU DOB Papua wajib menghargai dan menerima aspirasi penolakan RUU DOB Papua yang disampaikan masyarakat Papua menggunakan kewenangan Pasal 76 ayat (5) UU nomor 2 tahun 2021 yang dinyatakan melalui aksi demonstrasi tolak RUU DOB Papua,” tegas Emanuel.

LBH Papua juga mendesak ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) serta ketua DPR Papua dan DPR Papua Barat segera serahkan aspirasi rakyat Papua tentang penolakan RUU DOB Papua kepada presiden Republik Indonesia, ketua DPR RI dan Panja Perumus RUU DOB Papua.

Empat poin itu dikemukakan LBH Papua dengan menggunakan kewenangan terkait “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia” sebagaimana diatur pada Pasal 100 UU nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam rangka menegakkan perintah ketentuan pemekaran daerah ditujukan untuk mengangkat harkat dan martabat OAP sesuai ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf d PP nomor 106 tahun 2021 tentang kewenangan dan kelembagaan pelaksanaan kebijakan Otonomi Khusus Provinsi Papua.

Baca Juga:  Sidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?

“Baleg DPR RI gunakan hak inisiatif sahkan RUU DOB Papua, sementara rakyat Papua gunakan kewenangan melalui aspirasi masyarakat Papua sesuai Pasal 76 ayat (2) UU nomor 2 tahun 2021 junto Pasal 18 huruf h UU nomor 15 tahun 2019 yang menolak RUU DOB Papua,” katanya.

Dengan dasar RUU inisiatif DPR, ujar Emanuel, sesuai mekanisme pembuatan UU di DPR RI yang terdiri dari 15 tahapan perumusan RUU terhitung dari usulan RUU sampai disahkan menjadi UU, maka tahapan perumusan RUU DOB Papua baru ada di tahapan kedelapan yaitu Rapat Paripurna untuk memutuskan RUU usulan inisiatif DPR.

“Itu artinya hingga kini RUU tentang provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah belum sah menjadi undang-undang. Elit politik stop berjuang atas nama masyarakat,” ujarnya.

Atas asar hukum perumusan RUU DOB Papua oleh DPR yang berpatokan pada Pasal 76 ayat (5) UU nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, kata Gobai, selanjutnya akan dilihat efektivitas Baleg DPR implementasikan dalam perumusan RUU DOB Papua.

Baca Juga:  Paus Fransiskus Segera Kunjungi Indonesia, Pemerintah Siap Sambut

Pertama, berdasarkan kalimat “sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini” artinya mengarah pada UU nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, sehingga dalam perumusan RUU DOB Papua, Baleg DPR RI tidak bisa hanya berpatokan pada Pasal 76 ayat (2) UU nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua saja, namun wajib menerapkan ketentuan “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang” sebagaimana diatur pada Pasal 76 ayat (1) UU nomor 2 tahun 2021.

Kedua, dengan mengacu pada kalimat “ditetapkan dengan Undang-Undang” dalam Pasal 76 ayat (5) UU nomor 2 tahun 2021 tentang perubahan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua secara langsung mengarah pada “Tata cara pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang mengenai pembentukan daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan dan peraturan Dewan Perwakilan Rakyat tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat” sebagaimana diatur pada Pasal 96 ayat (3) Peraturan Pemerintah nomor 106 tahun 2021 tentang kewenangan dan kelembagaan pelaksanaan kebijakan Otonomi Khusus provinsi Papua.

Atas dasar kalimat “dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan” dalam Pasal 96 ayat (3) Peraturan Pemerintah nomor 106 tahun 2021 tentang kewenangan dan kelembagaan pelaksanaan kebijakan Otonomi Khusus provinsi Papua , maka jelas mengarah pada ketentuan Undang-undang nomor 15 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Baca Juga:  Pacific Network on Globalisation Desak Indonesia Izinkan Misi HAM PBB ke West Papua

“Dengan demikian, dalam perumusan RUU DOB Papua Baleg DPR RI wajib mengikuti mekanisme sesuai ketentuan Pasal 16 dan Pasal 18 Undang-undang nomor 15 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan,” ujarnya.

Direktur LBH Papua menyatakan, berlandaskan uraian tersebut, secara hukum dapat disimpulkan bahwa perumusan RUU DOB Papua dilakukan hanya berdasarkan inisiatif anggota DPR saja sesuai ketentuan pada Pasal 76 ayat (2) UU nomor 2 tahun 2021 dan mengabaikan aspirasi masyarakat Papua serta tidak berkoordinasi dengan MRP dan DPRP sesuai perintah Pasal 76 ayat (1) UU nomor 2 tahun 2021.

“Atas dasar fakta itu membuktikan bahwa Baleg DPR RI dalam merumuskan RUU tentang provinsi Papua Selatan, Papua Tengah dan Papua Pegunungan Tengah tidak sesuai dengan mekanisme perumusan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.”

Terkesan melanggar konstitusi dan tiadanya keterlibatan rakyat Papua dalam pengusulan hingga penetapan RUU tentang pemekaran DOB di Tanah Papua, sangat disesalkan Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia.

Usman menuding pemerintah dalam hal ini DPR RI tidak menghargai produk hukum yang dibuatnya sendiri yakni UU nomor 21 tahun 2001 yang kemudian secara sepihak dirubah menjadi UU nomor 2 tahun 2021.

Kebijakan pemekaran tanpa persetujuan MRP, kata Usman, merupakan satu pelanggaran terhadap Otsus Papua dan itu bukti kemunduran demokrasi di Indonesia di tengah gencarnya penolakan dari rakyat Papua melalui aksi demonstrasi di berbagai daerah.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.