BeritaPolhukamKetua Poksus DPRP: Pembentukan DOB di Saat Kapasitas Fiskal Daerah Belum Kuat

Ketua Poksus DPRP: Pembentukan DOB di Saat Kapasitas Fiskal Daerah Belum Kuat

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Kapasitas fiskal daerah merupakan salah satu syarat pemekaran daerah otonom baru (DOB). Tetapi, hal ini ternyata tidak dijadikan pertimbangan utama dalam rencana pemekaran provinsi di Tanah Papua yang sejak beberapa waktu lalu terus digodok DPR RI.

“Salah satu syarat pemekaran adalah kapasitas fiskal daerah. Kita harus objektif, bahwa sesuai data Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, kapasitas fiskal daerah di Papua dan Papua Barat belum mandiri,” beber John NR Gobai, ketua Kelompok Khusus (Poksus) DPRP, dalam artikelnya yang dikirim ke suarapapua.com.

John sepakat dengan pernyataan Prof. Melkias Hetaria, anggota Tim Kajian Pemekaran Provinsi Papua dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura, yang mempersoalkan pengabaian kapasitas fiskal sebagai salah satu syarat pemekaran sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.

“Pendapat Profesor Melkias bahwa ketergantungan pada pusat sangat tinggi di daerah-daerah yang akan dimekarkan. Jika dilihat dari sisi kapasitas fiskal daerah, menurut kajian beliau, Papua belum layak dimekarkan,” ujarnya.

Karena itu, kata John, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota diingatkan untuk fokus kerja yang baik dan benar agar semakin mandiri supaya tidak selalu berharap kepada pemerintah pusat.

Baca Juga:  Komnas HAM RI Didesak Selidiki Kasus Penyiksaan Warga Sipil Papua di Puncak

“Kerjanya masih belum maksimal buat mandiri. Kita semua, baik gubernur, bupati, anggota DPR RI, DPRP dan DPRD termasuk MRP, harus jujur akui. Satu rumah saja kita belum buat mandiri, masih hidup dari dana transfer pusat dana dana desa, sedangkan PAD kita masih dibawah 20% dari pendapatan daerah,” paparnya.

Di lain sisi, disinyalir bahwa pengaturan pemekaran yang dibuat standar ganda, dimana sekarang pemerintah pusat menggunakan dasar Pasal 76 ayat 2 dan 3 Undang-undang nomor 2 tahun 2021, yang isinya mengabaikan pengaturan tahapan persiapan sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2014.

“Bijaksananya kapasitas fiskal daerah harus menjadi pertimbangan utama, tetapi terkesan pertimbangannya sangat politis,” ujar John.

Meski realisasi transfer dana dari pusat ke daerah terus meningkat, tetapi pemerintah daerah belum seluruhnya mampu mengoptimalkan untuk meningkatkan daya fiskal dengan membuat kegiatan produktif demi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

“Dalam perspektif distribusi, struktur pendapatan daerah provinsi Papua dan Papua Barat dapat dikatakan sangat berbeda dengan kebanyakan daerah lain di Indonesia yang umumnya didominasi oleh besarnya kontribusi PAD ataupun dana perimbangan,” lanjutnya.

Dengan pemberlakuan Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua, urai John, pendapatan daerah provinsi Papua dan Papua Barat didominasi oleh besarnya kontribusi lain-lain pendapatan daerah yang sah yang dalam hal ini bersumber dari dana Otsus Papua yang dihitung sebesar dua persen dari DAU nasional serta dana tambahan infrastruktur dalam rangka Otsus Papua.

Baca Juga:  Freeport Indonesia Bangun Jembatan Hubungkan Kampung Banti 2 dan Banti 1

“Secara spasial menurut Bank Indonesia, pada tahun 2021, hanya terdapat tiga wilayah yang memiliki rasio kemandirian fiskal diatas 10%, yaitu provinsi Papua, kota Jayapura dan kabupaten Mimika. Sedangkan 21 kabupaten/kota memiliki rasio kemandirian fiskal dibawah 5%.”

Dilansir Kompas edisi 27 April 2022, Dirjen Bina Keuangan Daerah mengungkapkan, dari 34 provinsi, terdapat tiga daerah yang PADnya dibawah 20% dari pendapatan daerah, yaitu Papua Barat 7,47%, Papua 13, 84%, dan Aceh 19, 23%. Sementara, kapasitas fiskal daerah di 17 provinsi dari 34 provinsi masih sangat rendah.

“Data Kementerian Keuangan Republik Indonesia tahun 2021 menunjukkan bahwa Indeks Kemandirian Fiskal kita adalah 0.1330 untuk Papua, 0.0428 untuk Papua Barat. Ini artinya, belum mandiri,” tegasnya.

John menilai hal ini menunjukkan bahwa kesempatan untuk mengoptimalkan PAD baik melalui pajak ataupun retribusi masih harus dilakukan dan terbuka lebar.

“Upayanya baik melalui intensifikasi objek pajak ataupun mengoptimalkan objek-objek pajak yang ada melalui ekstensifikasi atau mengembangkan provinsi Papua guna mengundang investasi dan aktivitas ekonomi yang secara tidak langsung dalam jangka menengah bahkan jangka panjang dapat meningkatkan PAD,” kata John.

Baca Juga:  PAHAM Papua Desak Komnas HAM dan Pangdam XVII Investigasi Video Penganiayaan Warga Sipil Papua

Fakta selama ini masih terlalu besar belanja rutin untuk gaji pegawai, barang, dan jasa daripada belanja modal menyebabkan ketergantungan pemerintah daerah pada transfer pusat semakin besar.

“Pemekaran hanya akan menciptakan ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat dalam hal dana. Kondisi ini harus segera diatasi agar pemerintah daerah bisa menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang menyejahterakan rakyat dengan misalnya membentuk badan usaha milik daerah (BUMD),” tandasnya.

Ketergantungan daerah kepada dana pusat, imbuh John, tentu juga akan menciptakan tingginya utang negara.

“Apalagi jika daerah tidak diberikan kewenangan pengelolaan sumber daya alam, tetapi semua terpusat di Jakarta.”

John berharap, pemerintah pusat mesti memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya alam.

“Kewenangan ini tentu diikuti dengan pengakuan hak masyarakat adat sebagai pemilik tanah dan SDA,” ujarnya sembari berharap adanya ruang kelola sumber ekonomi bagi orang Papua untuk berusaha di bidang kayu, tambang dan lain-lain akan memberikan sumbangan bagi peningkatan PAD.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Ronald Kinho, aktivis muda Sorong, menyebut masyarakat nusantara atau non Papua seperti parasit untuk monopoli sumber rezeki warga pribumi atau orang...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.