PolhukamHAMKeluarga Korban Wasior Berdarah Mengaku Diintimidasi

Keluarga Korban Wasior Berdarah Mengaku Diintimidasi

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Korban dan keluarga korban serta pendamping kasus Wasior Berdarah 13 Juni 2001 mengaku sering ditekan untuk tidak melaksanakan aktivitas termasuk merayakan peringatannya. Oknum aparat keamanan juga meminta lupakan peristiwa Wasior Berdarah.

Pengakuan tersebut dibeberkan dalam siaran pers tentang update korban Wasior Berdarah yang dirilis pada Minggu (12/6/2022).

Koordinator Korban Wasior Berdarah mempertanyakan proses penanganan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sejak 19 tahun silam itu.

“Korban dan keluarga korban menanyakan sejauhmana penanganan kasus Wasior Berdarah 13 Juni 2001. Sementara kasus Paniai Berdarah 8 Desember 2014 sudah ditangani dan dalam tahap proses persidangan. Kami juga rakyat Indonesia yang sama, mengapa para pelaku pembunuhan, penghilangan paksa, pembakaran rumah, dan pemerkosaan pada 13 Juni 2001 belum diproses?. Kami mempertanyakan ini kepada bapak Presiden Indonesia dan Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Pendekatan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, apakah kami korban tidak penting untuk hak-hak kami sebagai makhluk ciptaan yang mulia terus diabaikan? Sementara infrastruktur yang diutamakan?” bebernya dalam update terkini Korban Wasior Berdarah 13 Juni 2001.

Baca Juga:  Direpresif Aparat Kepolisian, Sejumlah Massa Aksi di Nabire Terluka

Lanjut ditulis, “Negara dalam hal ini para oknum intelijen baik polisi maupun tentara sering mendatangi kami korban, dan mengatakan bahwa korban harus melupakan kasus dan jangan lagi mengungkit kasus Wasior Berdarah.”

Tidak hanya itu, Koordinator Korban Wasior Berdarah juga mengakui bahwa “Korban dan Pendamping sering mendapat intimidasi untuk tidak melaksanakan aktivitas apalagi peringatan peristiwa Wasior Berdarah.”

Dampak dari peristiwa berdarah tersebut, “Teman-teman kami, korban yang lain sudah meninggal akibat penganiayaan dan penyiksaan yang dialami baik fisik maupun mental. Antara lain Frans Samberi (Koordinator BUK-Wasior), Yan Piet Torey, Yulius Ayomi, Yosafat Yoteni, Yous Yoweni, Adam Arumisore, Simon Manupapami, Hermanus Sawaki, Ibu Rumsayor Saba, Mama Yemima Wosiri Urbon, Ellu Auri, Sefnat Wosiri, Frans Ramar, Tornado Bokwai, Maurids Marani, Paulina Kubiari dan yang lainnya. Apakah ini cara untuk pemusnahan orang Papua secara perlahan?.”

Kasus Terbaru

Koordinator Korban Wasior Berdarah juga mengungkapkan adanya kejadian yang menimpa warga setempat setelah tragedi 13 Juni 2001.

Baca Juga:  Panglima TNI Didesak Tangkap dan Adili Prajurit Pelaku Penyiksa Warga Sipil Papua

“Kasus pelanggaran HAM Wasior Berdarah 13 Juni 2001 belum diselesaikan, muncul lagi pemukulan oleh oknum polisi dari Polsek Wasior Kabupaten Teluk Wondama, yaitu Seluk Auparai pada tanggal 7 Juni 2022 terhadap saudara Ruben Urio dan Boas Urio (Suku Toro) yang adalah masyarakat pemilik tanah adat di wilayah Wosimo, Kampung Undurara, Distrik Naikere.”

Dibeberkan kronologisnya pada saat Ruben dan Boas memberi kode cat di lokasi yang di dalamnya ada kearifan-kearifan lokal (Masoi dan kulit lawang) dengan maksud perusahaan PT Kurnia Tama Sejahtera (KTS) yang beroperasi sekarang di areal PT Darma Mukti Persada (DMP) atau lokasi hak ulayat itu tidak boleh ada aktivitas karena terdapat tanaman yang akan dikelola untuk peningkatan ekonomi masyarakat di wilayah tersebut.

“Kedua adik kami ini diajak oleh manager PT KTS dari lokasi tersebut ke kota Wasior tepatnya di mess perusahaan, lalu dengan diam-diam pihak perusahaan menelepon Polisi Seluk Auparai datang ke mess perusahaan KTS di belakang Bandara Wasior, kemudian terjadi pemukulan terhadap kedua adik ini,” jelasnya.

Baca Juga:  Satgas ODC Tembak Dua Pasukan Elit TPNPB di Yahukimo

Kasus terbaru itu diakui terjadi jelang peringatan 21 tahun Wasior Berdarah.

“Apakah ini cara atau strategi untuk membuka ruang konflik kedua di Wasior, karena ini terjadi menjelang peringatan 13 Juni 2001 kasus Wasior Berdarah yang sudah 21 tahun tidak ada niat baik dari negara ini?.”

Pihaknya juga meminta kepada Presiden Republik Indonesia agar memerintahkan Kapolda Papua Barat dan Kapolres Teluk Wondama untuk memproses oknum anggotanya yang terlibat main hakim sendiri itu.

“Oknum Polisi seperti ini harus diberi sanksi sesuai aturan yang berlaku,” tegasnya di akhir pernyataan.

Pada peringsatan 20 tahun Wasior Berdarah, Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) Untuk Papua sempat mendesak negara memenuhi rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban kasus Wasior.

SOS mencatat tragedi Wasior Berdarah merupakan kasus pelanggaran HAM Berat yang masih belum mampu memberikan hak atas keadilan kepada korban dan keluarga korban. Negara bahkan dinilai terus mengabaikan peristiwa berdarah itu karena tidak ada upaya penyelesaian hukum.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

0
SORONG, SUARAPAPUA.com --- Forum Komunikasi Lintas Suku Asli Tambrauw mengingatkan pengurus partai politik di kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, untuk transparan dalam tahapan pendaftaran...

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.