Konflik di Tanah Papua Muncul dari Daerah Pemekaran Yang Kaya SDA

0
761

SORONG, SUARAPAPUA.com— Perwakilan Sinode GKI di Tanah Papua Pdt. Dora Balubun menyebutkan rencana pembentukan Daerah Otonom Baru (DOB) akan menghasilkan perpecahan bagi orang Papua.

Hal itu disampaikan Pendeta Dora dalam paparannya pada diskusi publik yang digelar KontraS, bertajuk “Menyoal Daerah Otonomi Baru: Benarkah untuk Menyelesaikan Masalah di Papua?” pada Senin (13/6/2022).

“Bagi saya, pemekaran hanya akan menghasilkan perpecahan bagi orang Papua dan kembali pada kesuku-sukuan yang ada sebelum Injil masuk. Otsus membuka wilayah-wilayah pemekaran baru dan pada Undang-Undang Otsus tahun 2001 sebelumnya sudah banyak daerah di Papua dimekarkan, tetapi justru menimbulkan situasi baru yakni konflik,” katanya.

Dalam pengamatan Pendeta Dora, saat ini konflik yang terjadi di Tanah Papua justru muncul dari daerah pemekaran

“Seperti Intan Jaya, Nduga, Maybrat, Pegunungan Bintang, dan Ilaga, itu semua daerah-daerah pemekaran yang kaya akan SDA-nya, dan karena pemekaran terjadi, maka terbukanya ketahanan masyarakat,” ujarnya.

ads

Kemudian, ia menyebutkan karena wilayah tersebut merupakan daerah pemekaran, makanya pemerintah mengirim aparat keamanan untuk mengisi daerah pemekaran baru tersebut.

“Kehadiran aparat keamanan baru ini kemudian menghadirkan konflik baru karena daerah pemekaran yang fasilitasnya belum disiapkan mengakibatkan fasilitas umum misalnya sekolah dan pemukiman, kemudian digunakan menjadi pusat komando aparat yang pada ujungnya mengorbankan masyarakat,” kata Balubun.

Ia mencontohkan misalnya di kabupaten Intan Jaya, fakta menunjukkan sekolah di sana menjadi tempat markas aparat TNI. Masalahnya sama, karena situasi keamanan yang tidak kondusif, sehingga masyarakat harus mengungsi ke luar.

Baca Juga:  Koalisi: Selidiki Penyiksaan Terhadap OAP dan Seret Pelakunya ke Pengadilan

“Oleh karena itu, akhirnya sejak 2019 itu anak-anak sudah tidak sekolah hingga saat ini. Fasilitas pendidikan terbengkalai, kemudian fasilitas kesehatan tidak berfungsi karena pekerjanya keluar dengan alasan keamanan, sehingga masyarakat juga keluar,” tambahnya.

Hingga saat ini, kata Dora, kondisi memprihatinkan tersebut masih terjadi di mana-mana, dan mayoritasnya adalah terjadi pada daerah pemekaran. Karena masyarakat di daerah tersebut dikontrol oleh aparat, ia menyebutkan masyarakat setempat dalam beraktivitas misalnya berkebun harus melapor ke aparat.

“Lalu terjadinya perlawanan dari masyarakat, karena saat ini rakyat merasa terancam apabila hadirnya aparat di daerah mereka. Konflik yang terus terjadi di Papua sampai saat ini belum teratasi, untuk itu pemekaran yang diusulkan oleh elit-elit politik akan mengakibatkan kontradiksi atau perlawanan,” tuturnya.

Dalam kesempatan itu, ia juga mempertanyakan alasan tergesa-gesanya pemerintah mendorong pemekaran Papua.

“Berapa banyak sih orang Papua saat ini? Dengan adanya pemekaran, maka orang Papua tidak akan mencukupi kebutuhan yang ada, sehingga muncul orang dari luar datang untuk mengisinya.”

Pendeta Dora menilai situasi itu akan menimbulkan persaingan yang kurang sehat, karena orang Papua belum dipersiapkan secara khusus untuk bagaimana menghadapi pemekaran wilayah.

“Pemekaran ini untuk siapa? Untuk orang Papua atau bukan?,” tanyanya.

Untuk itu, ia meminta agar pemerintah pikirkan orang-orang Papua yang belum dipersiapkan menghadapi pemekaran.

“Solusinya mudah saja, pemerintah harus sadar bahwa dengan elit politik yang ke Jakarta dan mengusulkan ini dan itu, tetapi harus paham bahwa itu elit politik yang telah menikmati kekuasaan,” ujar Dora.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

Para elit politik yang ke Jakarta dan mengusulkan ke pemerintah pusat untuk pemekaran segera dilakukan, imbuhnya, kebanyakan para pimpinan daerah yang akan segera habis masa jabatannya.

DOB untuk melemahkan Papua

Haris Azhar, direktur eksekutif Lokataru, mengatakan, sebelum carut marut DOB, bahwasanya perubahan Undang-Undang Otsus pun sempat menjadi bahan perdebatan dan berujung pada penolakan oleh masyarakat Papua, hingga MRP masih melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Secara legislasi ini sudah lucu, karena sebetulnya Undang-Undang yang ada juga tidak mengakomodir pemerintah pula, dan masih banyak ambiguitas pada regulasi kita,” kata Haris.

Haris kemudian mempertanyakan apakah tatanan provinsi dalam kepemerintahan dikenal oleh pranata masyarakat adat di Tanah Papua.

Dengan adanya kontradiksi antar Undang-undang, lanjut dia, malah bukan diselesaikan tetapi justru dipaksakan untuk melancarkan pemekaran Papua sesuai agenda Jakarta.

“Lalu, dari sisi sosiologis, mari kita lihat apa yang terjadi di Papua. Ada parade kekerasan yang tidak pernah berhenti, dan di balik kekerasan tersebut tidak adanya parade penegakan hukum,” kata Haris.

Ia melihat selama ini penegakan hukum menjadi judul dalam praktik kekerasan di Tanah Papua, sehingga ia menilai penegakan hukum yang ada sebetulnya tidak ada dan kalaupun ada pastinya diskriminatif bagi orang Papua, terutama yang secara antropologis disebut sebagai orang Papua.

Baca Juga:  Dewan Pers Membentuk Tim Seleksi Komite Perpres Publisher Rights

“Sampai di situ, saya ingin menyatakan bahwa DOB itu tidak patut, bahkan sebetulnya hanya menggambarkan keinginan Jakarta untuk terus memaksakan dan memperpanjang monopoli terhadap Papua,” sambungnya.

Mestinya, kata Haris, energi yang dimiliki negara dapat memenuhi tugas untuk menghentikan praktik-praktik kekerasan serta memulihkan para korban, lalu memperbaiki kualitas orang asli Papua (OAP).

“Saya menunggu sebetulnya, Undang-undang untuk pemulihan martabat orang Papua. Itu yang saya tunggu,” ujarnya.

Haris menuding, agenda besar di balik DOB Papua adalah cara untuk melemahkan Papua karena akan muncul beberapa provinsi baru, dan dari situ akan ada banyak kebutuhan di dalam struktur pemerintahan daerah yang diyakininya kapasitas dari sisi kuantitas dan kualitas tidak akan terlihat.

“Karena kita akan melihat yang nantinya akan mengisi provinsi baru, tentu bukan orang asli Papua (OAP),” yakinnya.

Meskipun demikian, Haris mengatakan keuntungan dengan adanya DOB Papua ialah kesempatan orang Papua untuk menjadi Gubernur akan lebih terbuka.

“Tetapi itu tidak akan seimbang dengan ketidaksiapan dan kerusakan yang mungkin terjadi dalam praktik provinsi-provinsi yang baru.”

Haris menyarankan agar pemerintah tidak langsung memekarkan tiga provinsi sekaligus, tetapi satu provinsi dulu.

Ia juga menilai apabila ada yang menyebutkan DOB untuk mensejahterakan, memperpendek rentang kendali, dan memajukan Papua itu hanya omong kosong belaka.

“Saya pikir masih ada prioritas yang lebih penting, dan saya mendorong Undang-undang pemulihan Papua, itu jauh lebih penting,” pintanya.

Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaKeluarga Korban Wasior Berdarah Mengaku Diintimidasi
Artikel berikutnyaPerlu Penguatan Lembaga Pelopor Pendidikan di Papua