ArtikelStop Paksa Papua! Indonesia Tidak Lestarikan Noken

Stop Paksa Papua! Indonesia Tidak Lestarikan Noken

Oleh: Titus Pekei)*
)* Penggagas Noken ke UNESCO, Peneliti Independen di Ecology Papua Institute (EPI)

Upaya paksa Papua bukan hal baru. Sudah lebih setengah abad berlangsung. Dalam catatan sejarah, ada rentetan peristiwa dan masalah di setiap masa kepemimpinan (penguasaan) presiden pertama Soekarno hingga hari ini bersama presiden ketujuh Joko Widodo di negara Republik Indonesia.

Tidak diuraikan secara detail, tetapi di sini secara gambaran umum saja untuk review tentang kapan dan mengapa pemerintah paksa Papua?

Saya kira ini akan memudahkan kita untuk ketahui benang kusut persoalan yang sampai sekarang pun sering timbul bahkan belum terurai.

Paksa Papua berawal dari bumi Mataram Yogyakarta, 1961. Dalang pertama, Soekarno (Irian Barat 1961), berlanjut Soeharto (Irian Jaya 1973), Habibie (Provinsi Irian Jaya Timur, Irian Jaya Tengah, dan Irian Jaya Barat, 1999), Gus Dur (mengembalikan nama Papua, 2000), Megawati (memberlakukan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, tetapi juga melemahkan dengan menerbitkan Inpres tentang pemekaran provinsi Irian Jaya Barat yang jadi masalah baru dalam rumah Otsus Papua), dan Soesilo Bambang Yudhoyono (melanjutkan dualisme hukum dan nama Otsus Papua 2001 versus Undang-Undang Pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat dengan mengubah provinsi Papua Barat). Inilah contoh kasus paksa Papua.

Mengapa Indonesia masih paksa Papua adalah masalah mendasar yang perlu ditelusuri lebih jauh melalui beberapa  fakta sejarah pada masa lalu dan kini. Paksa Papua mulai terjadi tahun 1961. Mendengar berdirinya negara Papua Barat (West Papua) pada 1 Desember 1961, dan setelah 18 hari muncul Trikora (Tri Komando Rakyat) dari Yogyakarta.

Tanggal 19 Desember 1961 presiden Soekarno ikrarkan Trikora berisi paksa Papua. Gagalkan Negara West Papua/Papua Barat boneka buatan Belanda, tindakan paksa Papua pertama. Kibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat ganti bendera negara West Papua Bintang Kejora di Papua, adalah paksa Papua kedua. Mobilisasi massa rakyat jelata Yogyakarta pergi kuasai dan duduki negara West Papua adalah paksa Papua jelas, jernih buat kabur ketiga.

Hal-hal pokok inilah yang terus dipertontonkan selama puluhan tahun tidak memisahkan dari kepemimpinan diri dan kekuatan alam gaib Mataram hingga gagalkan negara West Papua yang disebutnya negara boneka yang dimainkan seperti wayang selama ini sejak 19 Desember 1961.

Semestinya hal ini sudah selesai, namun mulai lagi 1 Mei 1963 yang tercatat sebagai hari aneksasi, dari siapa buat siapa, masih belum jelas sampai sekarang sejak negara Belanda, Indonesia, Amerika, tidak menghargai pemilik negeri leluhur di Tanah Papua.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Masalah antar negara mereka, namun korbankan West Papua. Status negara West Papua digantung oleh Belanda, Indonesia dan Amerika.

Masa konsesi bisnis politik global tambang tembaga, emas, perak pun paksa Papua oleh Amerika dengan kehadiran Freeport McMoRan, Belanda, Indonesia, mulai tanggal 7 April 1967. Ini pun cara paksa Papua menjadi Indonesia sebelum dua tahun PEPERA 1969. Jelas dilakukan sesuai syarat politik bisnis menjadi siasat awal untuk paksa Papua sejak April 1967 sampai kini, dijerat dalam pemerintah Indonesia melalui jalan rekayasa.

Manipulasi suara hasil PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969 adalah kuncinya. Sampai hari ini rakyat Papua masih belum terima karena hasilnya cacat. Demokrasi noken tidak terjadi, terperangkap dalam demokrasi otoriter rekayasa paksa Papua mencapai ambisi Melayu di kawasan Melanesia. Orang Papua hingga sekarang belum mengakui, masih terus protes.

Pada 31 Desember 1999 dialog Gus Dur Guru Papua bersama masyarakat Papua, ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay minta pengakuan kemerdekaan West Papua. Negara sudah berdiri, namun Indonesia gagalkan, lalu paksa Papua menjadi Irian, Irian Barat.

Hasil Dialog, nama Papua dikembalikan oleh Presiden RI ke-4 K.H. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pada tanggal 1 Januari 2000. Dulu dikenal dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat resmikan perusahaan tambang tembaga dan emas PT Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi hingga tahun 2002. Nama provinsi Papua secara formal diganti menjadi Papua sesuai Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Gagasan Irian Jaya menjadi Papua oleh Gus Dur hingga Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Papua, yang kemudian ditetapkan Presiden Megawati Soekarnoputri. Namun mengapa tidak hargai rumah Otsus Papua? Presiden Megawati bertindak tidak sadar, untuk mendorong pemekaran provinsi Irian Jaya Barat. Presiden Megawati merusak eksistensi UU Otsus Papua. UU pemekaran provinsi Irian Jaya Timur, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat di masa Presiden B.J. Habibie, tidak berlaku setelah adanya Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Tanggal 31 Desember 1999, tokoh masyarakat adat Papua berdialog dengan Presiden Gus Dur di Jayapura mendengar aspirasi masyarakat minta kembalikan nama Papua, hingga dikembalikan dan wakil presiden Megawati Soekarnoputri masih tersinggung dan lengserkan presiden. Setelah menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia, mulai merusak rumah otonomi khusus Papua. Sekalipun ada Otsus Papua mengatur, tetapi masih gunakan nama provinsi Irian Jaya Barat.

Di era kolonial Belanda, daerah ini disebut Nugini Belanda (Dutch New Guinea). Tindakannya meniru bapak biologis yang pernah ganti Papua Barat menjadi Irian Barat (19 Desember 1961). Hingga sekarang masih mengganggu Papua. Sekarang bukan masanya untuk terus mengganggu dengan siluman atau alam gaib atau apapun bentuk kuasa gelap di tanah ini. Segera pemulihan agar menjadi berkat bagi orang banyak di planet bumi, dunia ini.

Tahun 1973 nama Irian Barat sampai adanya Otsus Papua berlaku November 2001 hingga November 2021. Masyarakat adat Papua pada tahun 2005 oleh Dewan Adat Papua di Manokwari dari Sanggeng kembalikan Otonomi Khusus Papua, dengan tulisan di peti dibungkus kain hitam: “Otsus Papua Mati”. Peti itu kirim kepada pemerintah Indonesia. Ini terjadi pada masa presiden Megawati Soekarnoputri.

Pandangan masyarakat Papua, anak presiden Indonesia pertama itu pernah melakukan kesalahan fatal.  Ayahnya ganti West Papua dengan nama Irian Barat. Sejak mendengar West Papua berdiri pada 1 Desember 1961 dan batalkan 19 Desember 1961, selisihnya 18 hari. Hingga kini pun masyarakat Papua masih belum terima segala rekayasa sekalipun alam gaib karena benda, siluman demikian juga alur pikir alam sadar di masa lalu, dan kini.

Indonesia paksa Papua menjadi hal biasa. Ketika apapun dilakukan sewenang-wenang terpusat di Jakarta tanpa mendengarkan aspirasi masyarakat Papua. Aspirasi orang Papua disiapkan oleh pihak terkait yang buta paham bagi Papua. Setiap isu tentang Papua selalu bias sasaran, dilakukan sesuka penguasa pemerintah Indonesia. Semestinya ada kesadaran untuk memahami Papua sesuai keadaan tanpa sepelekan sedikitpun.

Solusi terbaik adalah mesti buka lebar akses media independen dari dalam negeri dan media internasional. Agar bisa liput dan siarkan ke seluruh dunia supaya pahami dengan baik keadaan sebenarnya masyarakat Papua.

Wilayah Adat Papua, Wilayah Konservasi Noken

Tanggal 4 Desember 2021 sudah genap 9 tahun nominasi Noken Papua ke UNESCO.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Ketika itu dihadiri 184 negara anggota UNESCO, dibahas selama beberapa hari hingga akhirnya Noken ditetapkan dalam Daftar Membutuhkan Perlindungan Mendesak, karena noken sedang punah. Penetapan oleh UNESCO pada tanggal 4 Desember 2012 supaya Indonesia selamatkan Noken dari Tanah Papua.

Judul nominasi ke UNESCO adalah “Noken Multifungsi Tas Rajutan atau Anyaman Kerajinan Tangan Masyarakat Papua”. Sejalan dengan penelitian Tim Nasional Noken UNESCO. Lokasi 7 wilayah adat Papua. Melakukan penelitian, verifikasi dan menyusun draft proposal Noken warisan budaya tak benda secara objektif. Berkas nominasi Noken dikirim ke UNESCO Paris Prancis.

Sesuai tugas dan tanggung jawab Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia telah selesai susun dari Tim Nominasi Noken sampaikan final dan mendapatkan surat rekomendasi dukungan dari Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, kini Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia. Menko Kesra kirim draft proposal nominasi Noken ke UNESCO pada Maret 2011.

Setelah diterima, Dewan Pakar (Konsultatif) UNESCO pada awal 2012 mengirim surat ke pemerintah Indonesia. Isi surat, minta area (wilayah) persebaran noken multifungsi tas rajutan dan anyaman kerajinan tangan masyarakat adat Papua.

Pemerintah merespons, dan mengirim peta Papua yakni 7 wilayah adat Papua dari DAP (Dewan Adat Papua), lembaga payung adat Papua. Pada masa presiden kelima muncul Lembaga Masyarakat Adat (LMA), yang oleh masyarakat Papua sebut tandingan DAP. Jakarta tidak mau Papua damai. Mengapa LMA di Papua formalkan dengan SK (surat keputusan)? Adalah upaya paksa Papua, hingga akhirnya DAP tampak dualisme seakan paksa dan tunduk ikut LMA bentukan Jakarta ketika masyarakat adat Papua taat kongres rakyat Papua, dimana DAP adalah wadah adatnya.

Bukan persoalan adat kelompok ini atau itu, tetapi sejauhmana Indonesia berkontribusi dalam upaya pelestarian Noken Papua warisan budaya tak benda atau warisan dunia ini?

UNESCO tetapkan Noken Papua dalam 7 wilayah adat Papua sebagai wilayah konservasi Noken UNESCO. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mesti paham dan sadar tanpa merusak wilayah konservasi Noken UNESCO.

Sebagai penggagas dan penggali Noken Papua menilai Presiden Joko Widodo kalau mendukung adanya DOB Papua, maka ia pelaku utama dalam meniadakan Warisan Budaya Tak Benda di Tanah Papua. Boleh dikatakan berbeda tetap beda antara Melayu dan Melanesia memang berbeda. Stop paksa Papua!. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Aktivitas Belajar Mengajar Mandek, Butuh Perhatian Pemda Sorong dan PT Petrogas

0
“Jika kelas jauh ini tidak aktif maka anak-anak harus menyeberang lautan ke distrik Salawati Tengah dengan perahu. Yang jelas tetap kami laporkan masalah ini sehingga anak-anak di kampung Sakarum tidak menjadi korban,” pungkasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.