Berita24 Tahun Tragedi Biak Berdarah, Korban Tagih Komitmen Presiden Jokowi

24 Tahun Tragedi Biak Berdarah, Korban Tagih Komitmen Presiden Jokowi

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sudah 24 tahun Tragedi Biak Berdarah 6 Juli 1998 dibiarkan tanpa ada proses hukum. Janji presiden Joko Widodo akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua tidak pernah terealisasi. Hingga kini keluarga korban masih menanti kapan komitmen pemerintah akan diwujudkan.

Tineke Rumkabu, koordinator Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) menyatakan masih terus menunggu pemerintahan Jokowi merealisasikan janji politiknya menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua termasuk tragedi Biak Berdarah.

“Para korban tragedi Biak Berdarah menagih komitmen presiden Joko Widodo menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua termasuk tragedi Biak Berdarah 6 Juli 1998,” ujar Tineke Rumkabu saat jumpa pers di kantor Elsham Papua, Rabu (6/7/2022).

Jumpa pers diadakan dalam rangka peringatan 24 tahun Tragedi Biak Berdarah.

Tineke Rumkabu sebagai korban pelanggaran HAM dalam tragedi Biak Berdarah, mengaku sangat kesal karena hingga 24 tahun berlalu juga belum ada pelaku yang diadili. Negara menurutnya masih memelihara pelaku pelanggaran HAM.

“Sudah lama sekali kasus ini tidak disentuh sedikitpun. Kami menuntut presiden Jokowi, Polri, Komnas HAM dan pemerintah daerah segera selesaikan kasus pelanggaran HAM Biak Berdarah,” ujarnya.

Tineke menilai tidak ada itikad baik dari negara untuk memproses kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, termasuk peristiwa Biak Berdarah. Menurutnya, negara tak berhasil mengungkap para pelaku dalam tragedi Biak Berdarah, juga pelaku kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di Tanah Papua.

Baca Juga:  KPU Tambrauw Resmi Tutup Pleno Tingkat Kabupaten

Berbagai kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua pasca tragedi Biak Berdarah adalah Wamena Berdarah (2000 dan 2003), Wasior Berdarah (2001), Uncen Berdarah (2006), Nabire Berdarah (2012), Paniai Berdarah (2014), Nduga Berdarah (2017 dan 2018), Intan Jaya Berdarah (2019), Fakfak Berdarah (2019), dan tragedi berdarah lainnya yang hingga kini belum pernah ditangani.

“Negara Indonesia membiarkan korban begitu saja. Korban diterlantarkan begitu saja. Banyak yang meninggal dunia, hilang, diperkosa, disiksa, dibunuh, tetapi mana tanggung jawab negara? Kami sebagai korban menilai negara ini tidak bertanggungjawab atas berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua, karena tidak memberikan rasa keadilan bagi para korban, lagi pula tidak pernah mengadili para pelakunya,” tutur Rumkabu.

Tineke Rumkabu berpendapat, apabila kasus tersebut tidak melalui pengadilan dan hanya diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tidak akan memberikan rasa keadilan bagi para korban.

Sebagai korban, Tineke Rumkabu mendesak pemerintah membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili para pelaku.

Baca Juga:  ULMWP Mengutuk Tindakan TNI Tak Berperikemanusiaan di Puncak Papua

Hasil investigasi Elsham HAM berjudul “Papua Tanpa Nama, Nama Tanpa Pusara” yang diterbitkan Juli 1999 menyebutkan, tragedi Biak Berdarah menyebabkan delapan orang meninggal dunia, tiga orang hilang, empat orang luka berat, 33 orang luka ringan, dan 150 orang ditangkap dan disiksa.

Pasca peristiwa tragis itu, 32 jenazah ditemukan di perairan dan pantai Biak. Seperti di pantai Bosnik, bahkan hingga terdampar di pesisir wilayah PNG.

Dalam laporan Elsham Papua, para pelaku disebutkan berasal dari berbagai satuan ABRI yang diduga kuat menyerang warga pengunjuk rasa di sekitar tower Biak, 6 Juli 1998.

Tineke Rumkabu yang juga koordinator organisasi korban pelanggaran HAM itu menilai jika pemerintah terus menunda proses hukum terhadap kasus Biak Berdarah, pengungkapannya akan semakin sulit.

“Pelaku tidak diadili karena ada yang sudah tua, ada yang telah meninggal dunia, ada yang sudah pensiun, sehingga kasus pelanggaran HAM ini tidak dapat diungkapkan dan semakin kabur,” ucapnya.

Seharusnya, kata Tineke, pemerintah Indonesia memberikan pemulihan untuk mengatasi rasa trauma korban tragedi Biak Berdarah. Ia juga berharap pemerintah memberikan akses bagi Tim Independen untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Baca Juga:  Hindari Jatuhnya Korban, JDP Minta Jokowi Keluarkan Perpres Penyelesaian Konflik di Tanah Papua

“Kami meminta juga kepada pemerintah Indonesia membuka akses bagi jurnalis internasional untuk berkunjung ke Papua. Kami juga meminta pemerintah serius dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua,” ujar Tineke.

Terpisah, Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, menyatakan, kemauan negara untuk mengadili berbagai kasus pelanggaran HAM, salah satunya peristiwa Biak Berdarah yang terjadi 24 tahun lalu belum juga terlihat.

Karena itu, ia minta DPR RI menekan pemerintah untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Biak Berdarah. Proses penyelidikan, penyidikan, dan mengadili pihak yang diduga sebagai pelaku dalam peristiwa Biak Berdarah dapat dilakukan demi penegakan hukum dan HAM di negara Indonesia.

Emanuel menjelaskan, kasus Biak Berdarah terjadi sebelum Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia disahkan, maka dibutuhkan proses politik oleh DPR RI untuk menekan pemerintah agar menjalankan proses hukum atas dugaan pelanggaran HAM berat itu.

Selain jumpa pers, peringatan 24 tahun tragedi Biak Berdarah diwarnai beberapa kegiatan seperti nonton bersama video tragedi Biak Berdarah, orasi-orasi dari para korban, serta membacakan kembali hasil investigasi Elsham Papua. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

61 Tahun Aneksasi Bangsa Papua Telah Melahirkan Penindasan Secara Sistematis

0
“Kami mendesak tarik militer organik dan non organik dari tanah Papua dan hentikan operasi militer di atas tanah Papua. Cabut undang-undang Omnibus law, buka akses jurnalis asing dan nasional seluas-luasnya ke tanah Papua,” pungkasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.