BeritaEkonomiProteksi Tanah Milik Masyarakat Adat, John: DPRP Tetapkan Raperdasi Padiatapa

Proteksi Tanah Milik Masyarakat Adat, John: DPRP Tetapkan Raperdasi Padiatapa

ENAGOTADI, SUARAPAPUA.com — Gencarnya pemanfaatan lahan adat untuk berbagai kepentingan di bidang perkebunan, pertanian, pembangunan perkotaan maupun jenis usaha lainnya tak jarang menuai konflik lantaran mengorbankan hak-hak masyarakat setempat.

Menyikapi persoalan tersebut, perlu dibuat suatu regulasi yang mengatur tentang hak-hak masyarakat adat dalam pemanfaatan lahan baik oleh pihak swasta termasuk investor maupun pemerintah. Dalam hal ini Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa) dianggap sangat penting untuk diterapkan sebagai satu pedoman penting di provinsi Papua.

Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) cermat terhadap hal itu, akhirnya dalam rapat paripurna non APBD tahun 2022 telah menetapkan rancangan peraturan daerah provinsi (Raperdasi) tentang Padiatapa.

John NR Gobai, ketua Kelompok Khusus (Poksus) Otsus DPRP, mengatakan, Raperdasi ini kemudian ditindaklanjuti pembahasannya bersama pemerintah daerah sebelum disahkan.

“Setelah DPRP menetapkan Raperdasi tentang Padiatapa sebagai inisiatif DPRP, termasuk sejumlah Raperdasi dan Raperdasus, tentu harus dibahas bersama pihak Eksekutif agar dijadikan sebagai pedoman di provinsi Papua,” kata John.

Dalam telaah disebutkan bahwa Padiatapa atau Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) adalah hak yang dimiliki masyarakat adat dan masyarakat setempat lainnya untuk memberikan atau tidak memberikan persetujuan mereka atas setiap proyek yang berpotensi menimbulkan dampak terhadap lahan, mata pencaharian, dan lingkungan mereka.

“Padiatapa mengatur proses meminta persetujuan tanpa paksaan. Didasari penyampaian informasi awal, mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan, kemungkinan dampak yang ditimbulkan dan manfaat yang akan diperoleh dari pelaksanaan kegiatan itu,” jelasnya.

Baca Juga:  Pemprov PB Diminta Tinjau Izin Operasi PT SKR di Kabupaten Teluk Bintuni

Padiatapa juga merupakan panduan yang berguna bagi komunitas lokal lainnya, karena sebagian besar dari mereka memang tunduk pada hukum adat dan bergantung kepada sumber daya alam sebagai sumber mata pencaharian, kepercayaan dan budaya mereka.

Sebuah surat izin perolehan dan pemberian hak, sesuai regulasi yang ada, diterbitkan sesudah diperoleh kesepakatan dalam musyawarah antara para pihak yang memerlukan tanah dengan masyarakat adat.

“Itu artinya, masyarakat adat mesti dilibatkan dalam mekanisme pengelolaan tanah termasuk sumber daya alamnya,” ujar John.

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya alam skala besar oleh swasta, ada sejumlah bentuk manfaat yang diberikan. Antara lain, pajak diberikan pada pemerintah daerah; royalty diberikan kepada masyarakat adat yang terkait; sewa tanah diberikan kepada masyarakat adat sekitar dan masyarakat yang terkena dampak; kompensasi bagi masyarakat adat dan masyarakat yang terkena dampak.

Selain itu, bentuk manfaat lainnya adalah berupa saham diberikan kepada masyarakat adat dan juga pemerintah provinsi/kabupaten/kota; gaji diberikan kepada masyarakat sekitar; kontrak bisnis diberikan bagi masyarakat sekitar; serta donasi bentuk kompensasi lainnya.

“Penentuan atas bentuk dan besarnya kompensasi dan masa kontrak (lamanya kontrak) ini harus didiskusikan dalam musyawarah dan harus diputuskan berdasarkan kesepakatan dengan prinsip FPIC,” ujarnya.

Baca Juga:  Akomodir Aspirasi OAP Melalui John NR Gobai, Jokowi Revisi PP 96/2021

Dalam musyawarah dengan prinsip FPIC, kata John, keputusan mesti dicapai dengan proses saling menghormati kepentingan masing-masing pihak tanpa ada intimidasi, ancaman, penyuapan, pemaksaan, juga tak boleh ada hasil yang bersifat pura-pura atau tipuan.

“Pada prinsipnya, setiap negosiasi harus berlangsung sebelum pemerintah atau investor memutuskan kegiatan apa yang akan mereka laksanakan. Kemudian, menginformasikan rencana investasi atau proyek kepada masyarakat agar ada waktu untuk dipelajari dan didiskusikan sebelum disepakati. Setiap keputusan atau kesepakatan yang dicapai harus dilakukan melalui sebuah proses terbuka dan bertahap dengan tetap menghormati hukum adat dan otoritas-otoritas masyarakat adat,” bebernya.

Anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRP ini mengungkapkan salah satu contoh kasus adalah antara PT Nabire Baru dan Suku Yerisiam di kampung Sima, distrik Yaur, kabupaten Nabire.

Masyarakat adat Yerisiam adukan perusahaan kelapa sawit itu ke PTUN Jayapura hingga berlanjut ke Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang kemudian meminta pihak investor melakukan musyawarah dengan suku Yerisiam.

“Saya menyaksikan konflik ini. Proses musyawarahnya berlangsung panjang, diikuti pembuatan pemetaan tanah adat dan pada akhirnya dibuat kesepakatan antara kedua belah pihak,” jelas John.

Raperdasi Padiatapa merupakan satu dari 13 Raperdasi dan 6 Raperdasus usulan inisiatif DPRP yang dibahas dan ditetapkan dalam rapat paripurna non APBD baru-baru ini di Kota Jayapura.

Baca Juga:  Media Sangat Penting, Beginilah Tembakan Pertama Asosiasi Wartawan Papua

Partisipasi masyarakat adat di Tanah Papua dalam banyak hal termasuk kegiatan investasi diakui banyak pihak bahwa sangat kurang bahkan tidak dilibatkan sebelum maupun setelah tanah adat dikelola untuk suatu proyek tertentu.

Rencana eksplorasi tambang emas Blok Wabu di kabupaten Intan Jaya, misalnya, Usman Hamid, direktur eksekutif Amnesty International Indonesia, bahkan menyingkap tiadanya persetujuan atau kesepakatan dari masyarakat setempat terutama pemilik ulayat di lokasi penyimpan deposit emas terbesar itu.

Usman khawatirkan potensi dampak dari pertambangan di Blok Wabu terhadap hak asasi manusia, ditambah dengan resiko konflik di kabupaten Intan Jaya selama tiga tahun terakhir.

“Apalagi rencana eksplorasinya masih belum mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (Padiatapa),” ujar Usman.

Karena itulah Amnesty menyarankan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi Papua bekerja sama dalam memastikan bahwa rencana penambangan itu benar-benar telah diinformasikan, dikonsultasikan, dan dimintai persetujuan dari masyarakat asli Papua terutama di kabupaten Intan Jaya.

Data dari Tim Advokasi Hak Masyarakat Adat Intan Jaya Papua (Tivamaipa), masyarakat adat Intan Jaya telah menyatakan menolak rencana eksplorasi Blok Wabu itu pada 5 Oktober 2020. Sikap tegas disampaikan menanggapi pengiriman pasukan militer yang diduga akan mengamankan investasi Blok Wabu oleh PT Mining and Industry Indonesia (MIn Id) melalui PT Aneka Tambang (AnTam).

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

61 Tahun Aneksasi Bangsa Papua Telah Melahirkan Penindasan Secara Sistematis

0
“Kami mendesak tarik militer organik dan non organik dari tanah Papua dan hentikan operasi militer di atas tanah Papua. Cabut undang-undang Omnibus law, buka akses jurnalis asing dan nasional seluas-luasnya ke tanah Papua,” pungkasnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.