Rilis PersTapol Menyebut Kasus Mutilasi Empat Warga Nduga di Timika Mendapat Perhatian PBB

Tapol Menyebut Kasus Mutilasi Empat Warga Nduga di Timika Mendapat Perhatian PBB

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Tapol menyatakan, kasus pembunuhan yang baru saja terjadi di Papua, terutama terkait mutilasi empat warga Nduga di Timika pada 20 Agustus 2022 mendapat perhatian PBB, dan mengarah pada memburuknya situasi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di tanah Papua.

Pernyataan Tapol yang disampaikan pada 21 Oktober 2022 melalui siaran persnya merupakan sebuah keprihatinan yang disampaikan oleh Nada Al-Nashir, Pejabat Komisaris Tinggi PBB untuk HAM pada pembukaan Sidang ke-51 Dewan HAM PBB di Jenewa belum lama ini.

“Sorotinya West Papua oleh Nada Al-Nashif menunjukkan pengakuan lebih lanjut atas memburuknya situasi hak asasi manusia di lapangan oleh PBB,” kata Tapol.

“Laporan kekerasan yang semakin intensif … berakibat pada jatuhnya korban dan kematian sipil serta pengungsi internal dalam jumlah yang tidak diketahui” dan terkejut pada “laporan tentang ditemukannya potongan jasad empat warga sipil asli Papua di Timika, Provinsi Papua, tanggal 22 Agustus.” Demikian pernyataan Tapol sebagaimana disampaikan Nada Al-Nashif.

Baca Juga:  Pertamina Patra Niaga Regional Papua Maluku Lakukan Sidak ke Sejumlah SPBU Sorong

Tapol juga menyatakan, kontribusi mereka pada siklus ke-4 Universal Periodic Review (UPR), Indonesia menyoroti aspek kebebasan berekspresi dan berkumpul. Menurut pihaknya bahwa kemungkinan bagi orang West Papua untuk menentang implementasi UU Otsus telah sangat direpresi oleh aparat keamanan yang melakukan penangkapan dan mengkriminalisasi aksi-aksi protes.

Hal tersebut menurut Tapol telah ditunjukkan pada laporan Tapol tahun 2021 tentang, “West Papua yang berjudul ‘Laporan Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Berkumpul”.

Di mana situasi yang memburuk ini terjadi seiring dengan merosotnya kondisi kebebasan berekspresi dan berkumpul di West Papua dan isu-isu terkait West Papua pada tahun 2021, ketika para aktivis menjadi sasaran kriminalisasi dan aparat keamanan terlibat kolusi dengan aktor-aktor non-negara.

Baca Juga:  Freeport Setor Rp3,35 Triliun Bagian Daerah atas Keuntungan Bersih 2023

Ketua Tapol Steve Alston mengatakan: “Aparat keamanan telah melakukan penangkapan sebanyak 45,9% secara sewenang-wenang – lebih banyak dibandingkan tahun 2020, dengan total 671 orang yang ditangkap, hanya 17 orang di antaranya berada di luar West Papua.

Aparat keamanan menangkap lebih banyak orang dengan berbagai alasan. Mereka menutup ruang berekspresi di ruang publik, di mana tempat orang Papua dan Indonesia seharusnya tidak merasa bahwa mereka beresiko diperlakukan sebagai penjahat ketika menggunakan hak-hak mereka.”

Dalam laporan tersebut mencatat rekam jejak represi aparat keamanan terhadap mereka yang lantang mendukung hak penentuan nasib sendiri West Papua, serta menentang perlakuan Pemerintah Indonesia terhadap rakyat West Papua, termasuk pembubaran sewenang-wenang, penangkapan sewenang-wenang, teror dan intimidasi, serta pemadaman internet dan serangan digital.

Baca Juga:  Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Tanda Kehormatan Kepada Jenderal Terduga Penjahat Kemanusiaan

Seperti yang dicatat dalam laporan tersebut, catatan tahun 2021 mengalami hal serupa dan, dalam kasus-kasus tertentu, intensifikasi, serangan terhadap hak-hak rakyat West Papua dan Indonesia untuk berkumpul dan mengekspresikan pendapat represi.

Pihak berwenang masih menggunakan pandemi Covid-19 sebagai alasan untuk membatasi kebebasan berekspresi. Membungkam demonstrasi yang tidak mereka setujui. Pemerintah tetap menyatakan bahwa “separatisme”, yang mereka definisikan secara sewenang-wenang tidak mendapat jaminan perlindungan kebebasan berkumpul, dan militer telah melabeli perlawanan bersenjata sebagai ‘teroris’ dengan mengklaim bahwa di dalamnya ada keterlibatan warga sipil.

 

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.