JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Jose Franscisco Call Tzay, Pelapor khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam pembukaan Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI mengungkapkan sigma buruk, rasisme dan diskriminasi masih sering terjadi kepada masyarakat adat.
Menurut Jose, bukan hanya masyarakat adat nusantara saja diperhadapkan dengan situasi yang sulit tetapi masyarakat adat di seluruh penjuru dunia juga mengalami hal yang sama.
“Masyarakat adat di Asia dan di tempat lain di dunia masih diperhadapkan pada situasi yang sulit. Stigmatisasi, Rasisme yang sistematik dan diskriminasi rasial masih dihadapi oleh masyarakat adat,” ujar Jose Francisco Cali Tzay melalui saluran video pada pembukaan Kongres AMAN VI (24/10), dan disaksikan oleh 2449 komunitas adat se-nusantara, di Stadion Barnabas Youwe Sentani, Senin(26/10/2022).
Dia berharap masyarakat adat dapat diberikan otonomi untuk mengatur dirinya sendiri, dan mengatur pengelolaan sumber daya alamnya.
“Pertemuan ini juga dapat memberikan perspektif baru dan rekomendasi penting untuk memperluas kemandirian ekonomi masyarakat adat, yang tentunya akan berkontribusi bagi negara,” katanya Jose.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi kepada suarapapua.com menggatakan masyarakat adat telah terbukti mampu bertahan ketika terjadi pandemi covid-19.
Karena itu, jika dunia ingin bertahan dari ancaman krisis iklim, solusinya adalah semua negara harus berinvestasi dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat.
“Masyarakat yang sudah menjual tanahnya untuk perkebunan dan tambang, pasti akan sama dengan orang kota, akan terancam saat terjadi krisis. Tetapi masyarakat adat yang mempertahankan tanah adatnya dan hutannya, akan selamat dari krisis iklim,” tandasnya.
Rukka juga berharap kekerasan terhadap masyarakat adat tidak lagi terjadi di negara ini.
“Masyarakat adat adalah benteng terakhir bagi negara dalam menghadapi krisis iklim. Ketika hak-hak masyarakat adat tidak dilindungi negara, maka itu akan menjadi ancaman bagi negara,” tegas Rukka.
Pewarta: Reiner Brabar
Editor: Arnold Belau