BeritaKetua Poksus DPRP Desak Sahkan RUU Masyarakat Hukum Adat

Ketua Poksus DPRP Desak Sahkan RUU Masyarakat Hukum Adat

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — John NR Gobai, ketua Kelompok Khusus (Poksus) DPR Papua, menyatakan mendukung desakan berbagai pihak kepada pemerintah pusat bersama lembaga legislatif menggelar pembahasan untuk pengesahan rancangan undang-undang tentang masyarakat hukum adat (RUU MHA).

“Poksus DPRP mendesak pemerintah dan DPR RI segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat, seperti secepat kilat membahas dan mengesahkan RUU DOB Papua,” kata John dalam artikelnya yang dikirim ke suarapapua.com, Senin (7/11/2022).

John sebelumnya menyampaikan pendapat sama saat berbicara pada sarasehan (Yo Riya) 1 bertajuk “Implikasi Otonomi Khusus dan DOB terhadap Masyarakat Adat, Wilayah Adat, dan Lingkungan Hidup Papua” di Obhe (rumah adat) kampung Ayapo, distrik Sentani Timur, kabupaten Jayapura, Papua, Selasa (25/10/2022).

Dalam sarasehan yang juga bagian dari Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI di Tanah Tabi selama sepekan hingga 30 Oktober sejak dibuka Senin (24/10/2022) ditandai dengan seremonial pembukaan di Stadion Barnabas Youwe Sentani, kabupaten Jayapura, John menyatakan, negara harus menghargai keberadaan masyarakat adat sebagai satu kekuatan besar eksisnya Nusantara ini.

“Bukti pengakuan masyarakat adat dan haknya sesuai Pasal 18b ayat 2 Undang-undang Dasar 1945, diperlukan adanya Undang-undang khusus masyarakat adat di Indonesia,” ujarnya.

John memberi catatan terhadap RUU Masyarakat Adat dalam kaitan dengan kebijakan untuk masyarakat adat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa demi pengakuan masyarakat adat dan haknya, pemerintah harus cukup mencatat dan meregister kesatuan masyarakat adat yang ada dan telah jelas keberadaan wilayah adatnya, dan mengecek keberadaan masih ada atau tidaknya masyarakat adat.

Kata John, Papua tidak terlepas dari perjalanan penguasaan hak masyarakat adat oleh pemerintah Belanda yang kemudian dinasionalisasi aset Belanda hampir tidak banyak terjadi seperti halnya di Indonesia bagian barat.

John menyebutkan ada dua cara pengakuan masyarakat adat yang perlu diatur dalam RUU Masyarakat Adat.

“Pertama, mencatat dan meregister kesatuan masyarakat adat yang ada dan telah jelas keberadaan wilayah adatnya.”

Yang kedua, mengecek keberadaan, masih ada atau tidaknya masyarakat adat dan memberikan pengakuan.

“Wajib mencatat dan meregister kesatuan masyarakat adat yang ada dan telah jelas keberadaan wilayah, memberikan pengakuan dan penghormatan kepada masyarakat adat,” lanjutnya.

Karena itu, siapapun yang menjadi eksekutif dan legislatif di Tanah Papua harus membuat regulasi yang melindungi, berpihak dan memberdayakan masyarakat adat.

“Jangan pernah ragu membuat regulasi untuk melindungi masyarakat adat dan harus diperjuangkan untuk secepatnya dapat diberikan penomoran dan diberlakukan, serta yang paling penting adalah melaksanakannya.”

Sebelum melanggeng ke gedung DPRP dari jalur pengangkatan, John sehari-harinya berkutat dengan urusan masyarakat adat di kabupaten Paniai. Selain ketua Dewan Adat Daerah Paniai, juga sebagai pengurus di Dewan Adat Papua (DAP).

John juga usul, dalam RUU MHA harus diatur mengenai kementerian adat dalam kabinet pemerintah Republik Indonesia yang diikuti dengan adanya badan urusan masyarakat adat di provinsi dan kabupaten/kota.

Baca Juga:  Festival Angkat Sampah di Lembah Emereuw, Bentuk Kritik Terhadap Pemerintah

“Kementerian adat dan badan urusan adat dipimpin oleh pimpinan adat dan bagian-bagiannya diisi oleh pimpinan adat atau orang yang telah berpengalaman minimal 20 tahun bekerja untuk masyarakat adat, hanya sekretariatnya yang diduduki oleh aparat negara (ASN),” usulnya.

Pada bagian-bagian imbuh Gobai, ada bagian yang mengatur pengakuan dan registrasi masyarakat adat, pemetaan, pemetaan wilayah ada, peradilan adat, perlindungan hak masyarakat adat, perlindungan aset-aset masyarakat adat, dan lain-lain.

“Dalam pelaksanaannya di daerah, dalam APBD di pos anggaran pemerintah daerah dan DPRD, terdapat anggaran dialog atau audiensi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Sudah sewajarnya tiap tahun diadakan pertemuan akbar antara pemerintah dengan masyarakat adat yang diwakili oleh dewan-dewat adat suku dari seluruh provinsi maupun di kabupaten/kota agar pimpinan adat langsung menyampaikan masalah-masalah yang dihadapi sekaligus juga memberikan masukan-masukan kepada pemerintah,” bebernya.

Jika itu diakomodir, ia berharap, pimpinan daerah datang dengan pakaian adatnya hadir dalam pertemuan adat tersebut.

Berbicara dalam sarasehan di kampung Ayapo, John akui kondisi selama ini masyarakat adat terjepit diantara kebijakan negara di tengah gempuran koorporasi dan investasi.

“Kita bisa lihat itu di sini di Papua. Masyarakat adat selalu berada di pihak yang dirugikan.”

Mandek Satu Dekade

Sudah 12 tahun RUU MHA mandek di Senayan, Jakarta. Belum juga disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sedangkan, pengesahan RUU pemekaran DOB di Tanah Papua tidak butuh waktu lama.

Dua kondisi ini memperlihatkan dengan jelas sikap DPR RI. Kinerjanya dipertanyakan bahkan tidak sedikit kalangan sesalkan karena lebih cenderung pro kepentingan negara ketimbang rakyatnya yang adalah warga negaranya sendiri.

Terbukti DPR lebih cepat menggodok hingga mensahkan UU DOB ketimbang RUU MHA yang sudah lebih satu dekade belum juga sahkan demi kepentingan masyarakat adat Nusantara.

Selama ini suara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) hingga gelombang aksi tidak bikin DPR bergeming sedikitpun. Draft RUU MHA belum juga disentuh wakil rakyat di gedung parlemen.

Sejatinya, RUU MHA sangat penting jika disahkan sebagai landasan hukum dalam memenuhi aspek perlindungan, pemenuhan dan perhormatan masyarakat yang ada di penjuru republik ini. Sisi lain, regulasi tersebut bisa menjembatani masyarakat adat dengan negara.

Desakan agar RUU MHA segera disahkan kembali bergema di KMAN VI.

Seperti ditegaskan Barnabas Suebu, mantan gubernur Papua, pengesahan RUU MHA harus dilakukan secepatnya sebelum presiden Joko Widodo turun dari jabatan, John pun mengaminkan hal itu demi penghormatan negara terhadap masyarakat adat Nusantara.

Tiadanya kebijakan negara yang jelas hingga tercipta kondisi tragis menimpa masyarakat adat, diyakini sudah dan sedang terjadi di hampir semua komunitas yang ada di Indonesia. Tak terkecuali di Tanah Papua.

Kata John, dalam banyak hal, termasuk hak adat, hak terhadap hutan dan segala kekayaan, tidak diberi ruang yang bebas untuk bisa kelola sendiri hasil alam, dan lain sebagainya, benar-benar meminggirkan hak kesulungan masyarakat adat atas tanah, hutan, laut dan sumber daya alam.

Baca Juga:  KPU Papua Terpaksa Ambil Alih Pleno Tingkat Kota Jayapura

“Sampai hari ini masih banyak persoalan mendasar yang terus menerus dihadapi masyarakat adat. Dalam kondisi seperti begitu, mestinya ada kebijakan baik dari pemerintah. Salah satunya dengan mengesahkan RUU Masyarakat Hukum Adat menjadi Undang-undang, sebagai satu angin segar yang melegahkan,” ujarnya.

Pengesahan RUU MHA menurut John, sedang dinanti-nantikan oleh seluruh komponan masyarakat Indonesia termasuk di Tanah Papua sejak satu dekade silam. Nasibnya tidak justru secepat kilat sahkan RUU DOB yang sejatinya sudah ditolak berkali-kali oleh masyarakt adat di Tanah Papua.

Gobai menyatakan, pembentukan DOB bukan solusi terbaik bagi penyelesaian berbagai konflik di Tanah Papua. Sebaliknya, kebijakan tersebut bisa berdampak buruk terutama bagi masyarakat adat yang selama ini selalu merasakan langsung berbagai masalah krusial.

“Wajarlah kalau rakyat Papua ribut soal pemekaran provinsi baru. Tanpa mendengar sedikitpun suara rakyat, DPR secepat kilat langsung sahkan jadi Undang-Undang. Lalu, RUU Masyarakat Adat kapan mau sahkan? Ini sudah lebih dari 10 tahun tidak ada kabar, mungkin jadi penghias di Senayan. Seharusnya parlemen terhormat punya komitmen yang jelas demi kepentingan masyarakat adat Nusantara,” tandasnya.

John berpendapat, pembentukan DOB tidak sebagai sesuatu yang urgen bagi masyarakat adat di Tanah Papua. Kebijakan tersebut tidak bakalan menyelesaikan berbagai persoalan, bahkan justru akan menambah persoalan lagi dari yang sudah berlangsung sekian tahun sebelumnya.

“Tidak salah kalau rakyat persoalkan sampai berkali-kali protes dan tolak DOB. Banyak persoalan yang dihadapi belum pernah tuntas, ditambah dengan adanya provinsi baru bisa saja akan menambah persoalan lain dan korbannya rakyat akar rumput. Kebijakan DOB justru akan melanjutkan konflik tanah dan sumber daya alam. Khawatirnya, intensitas persoalannya semakin bertambah dan tidak selesai-selesai. Kalau kondisinya demikian, kebijakannya harus jelas untuk selesaikan persoalan yang ada, bukan justru menambah persoalan lagi,” sorotnya.

Sebagai bagian dari masyarakat adat yang cukup lama berkecimpung di Dewan Adat Papua, John NR Gobai yang kini Anggota DPRP mengaku sangat heran dengan DPR yang terkesan tidak perduli dengan kondisi riil yang dihadapi Masyarakat Adat Nusantara.

Sebab, John berkesimpulan, hampir semua daerah di Indonesia mengalami situasi buruk yang sama ketika hutan adat dijarah investor, tanah adat dikuasai tanpa sedikitpun menghargai pemilik, dan banyak persoalan lainnya.

“Termasuk di Papua ini terlalu banyak masalah dengan tanah dan sumber kekayaan yang ada. Keberpihakan negara harus jelas. Masyarakat adat jangan selalu jadi korban. Saya sangat mendukung, RUU Masyarakat Adat harus segera disahkan,” ujar John sembari menyebut tahun 2017 RUU tersebut telah diagendakan dalam Prolegnas prioritas.

Kisah kelam masih berpeluang berlanjut selama negara belum tetapkan regulasi bagi masyarakat adat. Karena itu, solusinya menurut Kaka Bas, sapaan akrab Barnabas Suebu, RUU MHA harus disahkan secepatnya.

Baca Juga:  Seruan dan Himbauan ULMWP, Markus Haluk: Tidak Benar!

Untuk itulah seluruh masyarakat adat Nusantara diminta tetap pegang komitmen untuk mendesak negara percepat pengesahan RUU MHA.

Saat acara dialog umum pada pembukaan KMAN VI di Stadion Barnabas Youwe, Kaka Bas bahkan menyatakan siap maju bersama Masyarakat Adat Nusantara untuk mendesak pemerintah pusat segera sahkan RUU MHA.

“Untuk masyarakat adat, saya siap di garda terdepan. Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat harus secepatnya disahkan,” ujarnya di hadapan ribuan Masyarakat Adat Nusantara.

Lanjut Kaka Bas dengan suara lantang, “Saya siap untuk menghadap lima fraksi di DPR RI, bahkan presiden Jokowi. Sebelum Jokowi turun dari jabatannya sebagai presiden, Undang-undang Masyarakat Hukum Adat harus disahkan.”

Draft RUU MHA diparipurnakan 12 tahun lalu. Tetapi, saat itu belum ditandatangani ketua DPR RI.

Mandeknya RUU tersebut diakui Willy Aditya, wakil ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI.

Kata Willy, RUU MHA tinggal selangkah lagi disahkan.

“Sudah 10 tahun RUU ini menjadi insiatif DPR. Hal ini tinggal kita paripurnakan,” katanya.

Legislator Partai Nasdem itu menyatakan sikap DPR untuk segera sahkan RUU MHA menjadi Undang-undang.

“Tentunya kami tetap berkomitmen agar bisa segera disahkan hak inisiatif DPR, kemudian diparipurnakan dan kita bahas dengan pemerintah,” ujar Willy.

Menjawab wartawan usai pembukaan KMAN VI, Rukka Sombolinggi, sekretaris jenderal AMAN, menyatakan, hingga hari ini Masyarakat Adat Nusantara sedang menunggu kepastian dari negara.

Pengesahan RUU MHA merupakan satu kerinduan terbesar yang terus dinanti-nantikan untuk memberi kepastian hukum atas wilayah adat sebagai hak yang sangat fundamental dalam keseluruhan hak-hak masyarakat adat.

“Masyarakat adat memiliki sejumlah hak dari sekian banyak hak dan kepastian hak atas tanah adalah dasar dari sejumlah hak tersebut,” kata Rukka.

Kepastian dengan adanya regulasi dalam bentuk Undang-undang MHA, tegas Rukka, menjawab kerinduan lama meski harus bersabar menanti selama lebih satu dekade.

“Hak atas wilayah adat itu yang pertama dulu diakui, itu juga yang disebut dengan hak kolektif masyarakat adat dan itu diakui oleh Undang-undang Dasar, karena itu harus segera diwujudkan dalam bentuk Undang-undang Masyarakat Adat,” ujarnya.

Ia memastikan di hampir semua daerah selalu tak luput dari berbagai persoalan mendasar. Masalah-masalah krusial yang selalu dihadapi masyarakat adat itu dibahas dalam sesi serasehan di KMAN VI.

Dalam sambutan pada pembukaan KMAN VI, Rukka menyerukan, “Sudah saatnya sekarang pemerintah mensahkan RUU Masyarakat Hukum Adat.”

Rukka Sombolinggi berharap upaya mengawal hak-hak masyarakat adat tidak boleh terputus sedikpun meski masih akan diperhadapkan dengan berbagai kendala dan tantangan seperti sudah dilalui selama ini.

Aktivis di Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat (JAPHAMA), salah satu kelompok inti penggagas kongres pertama Masyarakat Adat Indonesia, yang kemudian bergabung dengan AMAN pada tahun 1999 hingga terpilih sebagai Sekjen AMAN periode 2017-2022 itu mengajak seluruh masyarakat adat Nusantara tetap harus lanjutkan perjuangannya.

Pewarta: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pemkab Yahukimo Belum Seriusi Kebutuhan Penerangan di Kota Dekai

0
“Pemerintah kita gagal dalam mengatasi layanan penerangan di Dekai. Yang kedua itu pendidikan, dan sumber air dari PDAM. Hal-hal mendasar yang seharusnya diutamakan oleh pemerintah, tetapi dari pemimpin ke pemimpin termasuk bupati yang hari ini juga agenda utama masuk dalam visi dan misi itu tidak dilakukan,” kata Elius Pase.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.