BeritaHeadlineWawancara Eksklusif dengan Penggagas Noken: Tidak Peduli Papua Hingga Pemerintah Robek Pancasila

Wawancara Eksklusif dengan Penggagas Noken: Tidak Peduli Papua Hingga Pemerintah Robek Pancasila

PANIAI, SUARAPAPUA.com — Tiadanya upaya pelestarian Noken selama sepuluh tahun semenjak disahkan 4 Desember 2012 di Paris, Perancis, semakin diperparah dengan hadirnya daerah otonom baru (DOB) di Tanah Papua. Kebijakan pemekaran membuka peluang hancurnya kawasan konservasi Noken Papua.

UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization), badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bidang pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan, sahkan Noken sebagai warisan budaya takbenda yang membutuhkan perlindungan mendesak, dalam sidang terhormat yang disaksikan 640 orang perwakilan 148 negara anggota UNESCO. Sidang pengesahan berlangsung di ruang XII markas UNESCO dipimpin Arley Gill, ketua komite.

Penetapan dan pengesahannya terjadi berkat perjuangan keras Titus Pekei. Perjuangannya dimulai sejak 2008 silam.

Tiga provinsi baru akan hadir di kawasan konservasi Noken. Karena itu, hutan sumber bahan baku noken diprediksi bahal hancur seiring dengan proyek pengembangan kota, termasuk lokasi perkantoran pemerintahan.

Kata Titus, DOB akan turut menghancurkan eksistensi masyarakat adat terutama komunitas pengrajin Noken Papua. Sebab pemekaran daerah baru baik provinsi, kabupaten/kota hingga distrik pasti butuh lokasi dengan luasan yang cukup besar dan itu berdampak pada hancurnya kawasan konservasi.

Ia khawatirkan hal itu akan menambah derita kelompok pengrajin Noken dalam mendapatkan bahan mentah, sementara selama ini pemerintah masih “tutup mata” dengan upaya pelestarian Noken sebagai bukti kepatuhan pada rekomendasi UNESCO dengan berlandasarkan Konvensi 2003 yakni konvensi tentang warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage convention).

Sudah tiada perhatian semenjak Noken disahkan UNESCO ditambah lagi upaya penghancuran kawasan konservasi Noken menjadi satu kegelisahan tersendiri bagi peneliti yang juga akademisi ini.

Dalam wawancara eksklusif dengan Suara Papua (SP) awal pekan kemarin, Titus Pekei (TP) mengungkapkan kegelisahannya terhadap sikap pemerintah yang sekian lama lupa hargai eksistensi masyarakat adat Papua, termasuk soal Noken. Juga, dengan gencarnya pemekaran DOB yang terkesan mengesampingkan pelbagai persoalan mendasar yang mestinya lebih diseriusi.

Berikut kutipan wawancara selengkapnya:

SP: Noken sudah disahkan UNESCO 10 tahun lalu. Bisa diceritakan bagaimana perhatian pemerintah terhadap Noken?

TP: Saya perjuangkan Noken supaya ada keseriusan dari pemerintah, tetapi selama ini memang tidak ada perhatian sesuai rekomendasi UNESCO.

Komunitas kebudayaan dunia sudah akui Noken dan harus diselamatkan. Noken milik masyarakat Papua. Setiap suku bangsa di Tanah Papua punya Noken. Keberagamannya tidak hanya bentuk dan jenis, tetapi penyebutan nama juga. Noken rajut, Noken anyam, itu telah mempersatukan Noken Papua.

Multi sebutan dalam bahasa daerah turut mempererat makna filosofinya. Secara keseluruhan memang unik, khas, dan tidak tergantikan.

Noken setiap suku sudah menjadi warisan dari generasi ke generasi. Ini ada hanya di Tanah Papua. UNESCO terima dan tetapkan secara resmi. Terdaftar dalam warisan budaya tak benda yang membutuhkan perlindungan mendesak, menurut Konvensi 2003 supaya ada pelestarian. Tetapi jujur saj bahwa selama sepuluh tahun ini belum ada bukti perhatian dari pemerintah.

SP: Kenapa bisa begitu?

TP: Dulu saya bentuk Ecology Papua Institute (EPI) sebagai lembaga penelitian dan penerbitan yang berhasil daftarkan Noken di UNESCO. Saya dirikan EPI pada tanggal 19 September 2001. Perjuangan saya sangat panjang. Dan, puji Tuhan, akhirnya sudah berhasil daratkan Noken di tanah pijakan warisan budaya dunia ini.

Baca Juga:  Mahkamah Agung Tolak Kasasi Suku Awyu, Hutan Adat Papua Kian Terancam

Masalahnya kemudian adalah pemerintah pusat dan daerah tidak memperhatikan rekomendasi UNESCO untuk konservasi Noken di tujuh wilayah adat Papua sebagai sasaran pijakan komunitas pengrajin Noken.

Harapan UNESCO, pemerintah turut dalam pelestarian Noken. Tetapi faktanya belum terlihat sampai hari ini.

SP: Oh ya?

TP: Ya, mau bagaimana lagi. Faktanya begitu.

Saya mau ceritakan sedikit. Dulu, pemerintah pusat pernah desak saya dirikan Yayasan Noken Papua sebagai lembaga pelestarian, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Setelah dirikan dan didukung ketua harian Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) di Kemendikbud Ristek, Prof. Arief Rachman, saat itu tahun 2014, harus ada Yayasan Noken Papua karena ekologi bukan Noken.

Saya tahu, selama ini tidak pernah didukung untuk pelestarian. Herannya, saat tiba susun laporan periodik ke UNESCO, mereka sebut nama lembaga EPI dan Yayasan Noken Papua. Pemerintah pusat lakukan itu tanpa dukungan nyata, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Sekalipun mereka pintar mengklaim untuk sampaikan laporan periodik ke UNESCO, semua itu tanpa sepengetahuan saya sebagai pencetus gagasan dan pejuang Noken ke UNESCO.

Tindakannya seakan mendukung kami, padahal tidak. Aneh, tetapi nyata. Mestinya tidak perlu ada pembohongan publik terhadap lembaga internasional seperti UNESCO.

Saya tegaskan bahwa stop manipulasi data warisan budaya dunia. Sebaiknya kembali berpikir awal perjuangan penggagas dan dukungan pemerintah Indonesia. Satu hal lagi, Noken Papua berbeda dengan Wayang dan Keris. Tidak mudah paksa menjadi sama. Berbeda tetap berbeda.

SP: Berarti selama ini sama sekali tidak ada perhatian?

TP: Ya, memang faktanya begitu. Komunitas Noken Papua masih menanti bukti perhatian. Tetapi tunggu sampai kapan pemerintah mau peduli? Ini yang kami selalu pertanyakan.

UNESCO tetapkan dalam daftar warisan budaya tak benda yang membutuhkan perlindungan mendesak, itu supaya Noken warisan budaya dunia tidak punah dari Tanah Papua.

Kami menilai ada berbagai upaya pemerintah pusat. Mayoritas masyarakat Papua telah menolak tegas itu. Pemerintah tetap paksa bersama menteri yang pernah dibesarkan dari Papua. Istilahnya kembali menindas tanah dan manusia Papua. Ini agak tidak logis, tetapi demi kursi kekuasaannya selalu akali. Masyarakat menilai presiden Joko Widodo juga mendukung punahnya Noken dari Tanah Papua.

Seharusnya ada satu bukti kepedulian. Tidak perlu lihat banyaknya suku pemilik Noken. Memang Noken ada banyak sesuai bahasa daerah, banyak nama menurut suku-suku asli Papua. Tetapi Noken pemersatu semua perbedaan itu. Dan itu sudah diakui oleh UNESCO.

Tetapi, jujur saja, sampai sampai hari ini masih terdengar ratapan kelompok pengrajin Noken Papua. Kaum perempuan, mama-mama di Tanah Papua, menanti perhatian. Ratapan dan jeritan mama-mama sama sekali tidak dihiraukan oleh pemerintah.

SP: Presiden borong Noken milik Mama-mama Papua jelang pembukaan PON di Jayapura?

TP: Benar, presiden Joko Widodo sempat mampir dan beli langsung Noken dari mama-mama sebelum buka PON XX di Stadion Papua Bangkit, kampung Harapan, Sentani.

Waktu itu, hari Jumat tanggal 1 Oktober 2021, presiden beli dua Noken dari mama-mama Papua di pinggir jalan raya Sentani. Satu Noken dikalungkan di leher dan satunya di pundak.

Tetapi pertanyaannya, apa pesan filosofis Noken, kalau presiden gantungkan Noken di tubuhnya termasuk juga gantungkan semua persoalan yang terjadi di Tanah Papua sebagai tanggungjawabnya? Ini harus dijawab, dibuktikan.

Baca Juga:  BREAKING NEWS: Kantor Redaksi Jubi Dilempari Dua Bom Molotov, Dua Mobil Terbakar

Kami harap itu tidak dilihat hanya sebatas cenderamata, tetapi bagaimana pengakuan kearifan lokal Papua itu penting.

Publik menilai itu hanya seremonial belaka, bahkan dianggap sebagai bagian dari pencitraan saja. Ya, secara psikologis, tanpa pemberdayaan bagi pengrajin itu namanya menindas.

SP: Lantas, apa yang harus dilakukan?

TP: Saya kira jelas bahwa komunitas Noken Papua tidak bisa menunggu tanpa ada upaya nyata. Kami minta perhatian. Mama Noken di Tanah Papua menuntut dengan segala keterbatasannya. Presiden mesti memikirkan solusi demi pelestarian budaya dunia di Tanah Papua.

Hal ini sangat penting. Karena aktivitasnya jelas, komunitasnya jelas dan lembaga payung seperti Yayasan Ekologi Papua dan Yayasan Noken Papua pun jelas ada di Tanah Papua.

SP: Nasib Noken setelah adanya pemekaran provinsi baru di Tanah Papua?

TP: Dalam hal pembentukan DOB itu pun presiden berdiam diri, arinya mendukung pemekaran. Kalau kebijakannya sudah begini, identik dengan merobek Noken yang utuh. Bukannya ada upaya pelestarian, justru presiden merestui untuk merobek Pancasila. Ini cara pemerintah membiarkan Papua tetap dalam masalah dengan berbagai rekayasa akal-akalan tanpa mau membangun dengan hati ke arah yang lebih baik.

Seharusnya ada upaya penyelamatan atau pelestarian tanpa menjadikan proyek pemusnahan kehidupan ekologis Noken. Tidak perlu ada kebijakan yang nantinya menciptakan atau mengundang masalah baru, seperti pemekaran wilayah terkecil hingga provinsi karena hanya akan menambah beban masalah baru.

Logis dengan pendapat masyarakat bahwa pemekaran DOB di tujuh wilayah adat Papua hanya membawa masalah baru. Padahal sudah ditetapkan oleh UNESCO bahwa tujuh wilayah adat Papua merupakan kawasan konservasi Noken warisan dunia.

SP: Kebijakan pemerintah selama ini?

TP: Dalam banyak hal negara ini membawa dampak buruk terutama bagi masyarakat adat Papua. Kita simak beberapa kebijakan yang ikut menghancurkan sumber bahan pembuatan Noken.

Kebijakan pemerintah pasca pengakuan dunia terhadap Noken Papua, justru berbanding terbalik dengan harapan pengembangan dan perlindungannya di tujuh wilayah adat Papua.

Pada masa kepemimpinan Soesilo Bambang Yudhoyono menghendaki kehadiran perusahaan kelapa sawit di seluruh Papua. Hingga meniadakan hutan alam tropis pusat bahan noken hilang sia-sia atas kebijakan itu.

Sama halnya, presiden Joko Widodo pun canangkan proyek pembangunan jalan nasional di pegunungan Papua menghancurkan hutan sumber bahan pembuatan noken.

Selama ini kebijakan negara merubah keadaan alam Papua tanpa memperhitungkan berbagai aspek lain yang berdampak negatif bagi masyarakat adat Papua jelas memperlihatkan wajah pemerintah sesungguhnya.

SP: Maksudnya?

TP: Semua sudah ketahui bahwa Mendagri dan Menko Polhukam gencar mendorong pemekaran provinsi, kabupaten/kota di tujuh wilayah adat Papua. Itu sama saja mereka dua merendahkan wibawa presiden selaku kepala negara yang dianggap tidak taat Konvensi UNESCO 2003. Karena wilayah yang mau dimekarkan itu masuk dalam kawasan konservasi Noken warisan budaya dunia di Tanah Papua.

SP: Dari pemerintah daerah, ada perhatian?

TP: Menurut saya tidak ada. Kami harus jujur bahwa baik pemerintah pusat maupun daerah tidak peduli terhadap Noken. Ini terlihat dalam perayaan hari ulang tahun (HUT) ke-9 pada tanggal 4 Desember 2021 lalu.

Baca Juga:  Koalisi Menyebut Teror Bom di Kantor Jubi Bukan Perkara Sepele

Meski kecewa dengan sikap cuek pemerintah terhadap momentum bersejarah itu, masyarakat Papua tetap merayakannya walaupun secara tidak pantas. Seperti yang dirayakan mama-mama Papua di gedung Karel Gobay, Nabire, pada hari Sabtu (4/12/2021). Kegiatan difasilitasi oleh Komunitas Asosiasi Pedagang Asli Papua (APAP), mama-mama Papua menggelar hasil karya tangan di halaman maupun dalam gedung meski minim pembeli.

Saat itu saya luangkan waktu hadir di tengah mama-mama Papua untuk menghargai Noken. Saya juga sampaikan ucapan selamat merayakan ulang tahun yang kesembilan.

Memang hari Noken tidak meriah dirayakan ya, seperti halnya penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XX di Tanah Papua 1-15 Oktober 2021.

Pemerintah pusat dan daerah di seluruh Tanah Papua, satu pun tidak merayakan hari Noken se-dunia, tidak semeriah PON XX.

Pada hari Noken, pusat pemerintahan kota, kabupaten dan provinsi se-Tanah Papua tampak sunyi. Tidak dirayakan. Mestinya terbuka sampaikan kepada para pengrajin Noken yang ada di seluruh Tanah Papua tentang alasan mengapa pemerintah membisu. Kami menilai ini bukti tidak menghargai Noken Papua. Pantas tidak rayakan tanpa keberpihakan terhadap pengrajin Noken di tujuh wilayah adat Papua.

SP: Apakah dengan demikian, Noken akan punah dari tanah ini?

TP: Tidak. Biarpun pemerintah pusat dan daerah tidak memiliki keberpihakan, yang pasti bahwa Noken Papua tetap bersama pemiliknya dari sejak zaman nenek moyang hingga telah terdaftar di UNESCO.

Sampai selamanya Noken tetap ada. Noken adalah identitas orang asli Papua. Dengan identitas jelas bisa melindungi diri dan siap menghadapi perubahan dunia di segala aspek.

Kami berprinsip bahwa atas dasar Noken hasil keringat pengrajin Papua itulah yang mempertahankan eksistensi kita atas jati diri dan identitas manusia Papua.

SP: Artinya, sekarang tidak perlu banyak berharap?

TP: Ya. Noken milik masyarakat Papua di tujuh wilayah adat. Di sini, falsafah Noken mesti dimaknai dengan hati. Pemaknaannya tentu perlu dibuktikan dengan upaya pelestariannya sebagaimana rekomendasi UNESCO. Kata perlindungan mendesak itu menurut Konvensi 2003 supaya ada pelestarian. Tugas pemerintah agar ada kebijakan pelestarian. Tetapi jujur saja, selama sembilan tahun ini belum ada perhatian. Sekalipun begitu, komunitas pengrajin Noken tetap eksis dengan upaya pelestarian dengan caranya sendiri.

Sampai hari ini pemaknaan itulah yang sudah dibuktikan oleh komunitas pengrajin Noken di tujuh wilayah adat Papua. Seharusnya itu perlu diperhatikan oleh pemerintah dengan upaya pelestarian Noken. Tetapi sudahlah. Ini sudah mau sepuluh tahun pada dua bulan mendatang, tidak ada bukti perhatian juga.

SP: Mungkin ada tambahan lagi?

TP: Selama ini kami banyak omong, dan rasanya sudah bosan juga. Hanya sekarang mau ingatkan saja bahwa pemerintah Indonesia harus patuh pada komitmen UNESCO mendukung pelestarian sebagai satu solusinya. Dan tetap taati Konvensi 2003.

Sudah berulangkali sebenarnya kami bicara soal ini, sampaikan bahwa perlu kebijakan pemerintah. Tetapi selama sepuluh tahun tinggal beberapa hari lagi sejak UNESCO sahkan, pemerintah sepertinya sudah tidak perduli, tidak hargai Noken beserta lembaga dan aktivitasnya.

Disahkan oleh UNESCO itu artinya sudah diakui oleh komunitas kebudayaan dunia. Pemerintah harus patuh dengan ada kebijakan jelas tanpa embel-embel lagi. Ya, itu juga kalau mereka masih ada kesadaran. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.