Wawancara Eksklusif Daily Post: Indonesia Tidak Pernah Menjajah Papua Barat!

Malah Indonesia mengungkapkan bahwa adanya peningkatan perdagangan Indonesia-Vanuatu sejak 2022.

0
333
Duta Besar Indonesia untuk Vanuatu, Dr. Siswo Pramono (tengah) ketika wawancara eksklusif dengan Daily Post Vanuatu pada 28 Maret 2024. (Nicholas Mwai)
adv
loading...

Surat kabar Vanuatu Daily Post mengkritik Indonesia karena sikapnya yang kontradiktif terhadap isu-isu hak asasi manusia, khususnya mendukung kegiatan hak asasi manusia di Gaza namun mengabaikan situasi kontroversial yang sedang berlangsung di tanah Papua.

Indonesia telah sering mengutuk kekerasan dan menyerukan resolusi damai untuk konflik Israel-Palestina. Namun, Pemerintah Indonesia juga telah memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat Gaza.

Dalam sebuah wawancara eksklusif oleh Koordinator Pemberitaan Vanuatu Daily Post, Mavuku Tokona, dengan delegasi dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, yang dipimpin oleh Duta Besar Indonesia untuk Vanuatu, Dr Siswo Pramono, Vanuatu Daily Post mencap sikap Indonesia sebagai sikap yang munafik.

Tanggapan pemerintah Indonesia terhadap tuduhan ini memicu diskusi lebih lanjut mengenai kerumitan hubungan internasional dan advokasi hak asasi manusia serta isu Papua Barat, dengan mengatakan bahwa Papua Barat tidak pernah dijajah.

Namun Duta Besar Pramono mengatakan bahwa melabeli mereka dengan sebutan munafik tidaklah berguna, karena ia menguraikan rincian tentang kedua belah pihak dalam konflik dengan Papua Barat.

ads

“Anda menyebut saya munafik, tapi saya menyebut Anda salah informasi. Tidak ada gunanya menuduh seseorang seperti itu; kami memiliki laporan dari Universitas Gadjah Mada yang menyebutkan setiap detail korban dari kedua belah pihak yang berkonflik,” katanya.

“Data sangat penting karena saya tidak ingin berspekulasi. Ini adalah studi tahun 2022 oleh Universitas Gadjah Mada yang mengungkapkan bahwa sebagian besar kekerasan di Papua dilakukan oleh kelompok kriminal bersenjata antara tahun 2010 dan 2022.”

Menurut Dr Pramono, selama rentang waktu 12 tahun dari 2010 hingga 2022, 127 warga sipil, 61 personel militer, dan 27 polisi Indonesia diduga dibunuh oleh kelompok kriminal bersenjata Papua Barat, dan 104 warga sipil, 80 personel militer, dan 46 polisi terluka. Di sisi lain, 43 anggota kelompok kriminal bersenjata dari Papua Barat tewas, dan 14 lainnya luka-luka.

Ia mengatakan bahwa kelompok kriminal bersenjata tersebut juga melakukan kekerasan terhadap penduduk lokal, pekerja konstruksi yang membangun jembatan di Papua, dan orang asing, seperti penculikan seorang pilot Susi Air asal Selandia Baru,  (Kapten Philip Mehrtens).

Mehrtens diculik Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pada Februari 2023, setelah mendarat di wilayah terpencil Nduga. Kelompok pemberontak tersebut bersumpah tidak akan membebaskan pilot tersebut sampai Indonesia memberikan kemerdekaan kepada provinsi Papua.

Baca Juga:  Sidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?

Duta Besar Pramono menambahkan bahwa menurut laporan Universitas Gadjah Mada, enam sekolah, dua sekolah dasar, dan dua sekolah menengah atas juga telah dihancurkan oleh para pemberontak, bersama dengan kantor catatan sipil setempat dan 33 rumah warga sipil dan kompleks guru.

“Ini semua tercatat. Jadi Anda tidak bisa begitu saja mengatakan tidak ada kekerasan karena memang ada kekerasan, dan kelompok bersenjata itu sangat aktif. Anda tidak bisa membayangkan mengirim wartawan ke wilayah seperti itu,” kata Dr Pramono.

“Di wilayah konflik manapun, biasanya otoritas akan memberlakukan beberapa batasan, tidak hanya di Indonesia tapi di mana-mana, jadi situasi hak asasi manusia – inilah kenyataannya. Namun, kami membangun kembali apa yang telah dihancurkan, dan kami mengganti guru-guru yang telah mengungsi atau terbunuh dengan yang baru.”

Vanuatu Daily Post juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan terkait lainnya mengenai isu Papua Barat, yang kemudian ditanggapi oleh delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Duta Besar Pramono Anung. Pertanyaan dan tanggapan ini dibagikan kepada para pembaca kami di sini:

Vanuatu sangat vokal dalam menyuarakan konflik Papua Barat. Apa dampaknya, jika ada, terhadap hubungan perdagangan antara Port Vila dan Jakarta?
Hubungan perdagangannya bagus. Angka-angka berbicara sendiri, dan Anda bisa memeriksanya di Internet. Saya tidak akan menipu Anda. Selama dua tahun terakhir, perdagangan antara Vanuatu dan Indonesia telah meningkat dari 5,7 juta dolar AS pada tahun 2022 menjadi 8,7 juta dolar AS pada tahun 2023.

Jadi, dalam hal perdagangan, banyak hal yang membaik di antara kedua negara. Inilah demokrasi. Kami menghargai pendapat Anda, dan Anda juga harus menghargai pendapat kami. Namun, kenyataannya adalah bahwa bisnis berkembang pesat di antara kedua negara.

Karena kehadiran Indonesia di Papua Barat, negara-negara Eropa telah memberlakukan larangan terhadap produk-produk Indonesia. Karena Vanuatu tidak mengikutinya, apakah ini berarti Port Vila tidak bisa kehilangan Jakarta sebagai mitra dagang?
Saya belum pernah mendengar tentang negara-negara Eropa yang memberlakukan larangan karena masalah Papua. Anda harus memberikan bukti untuk klaim tersebut. Sejauh yang saya tahu, tidak ada larangan terhadap produk Indonesia karena Papua Barat, mungkin karena minyak kelapa sawit, tapi itu tidak terkait dengan Papua Barat.

Baca Juga:  Pasukan Keamanan Prancis di Nouméa Menjelang Dua Aksi yang Berlawanan

Faktanya, negara-negara Eropa semakin banyak berinvestasi di Papua. Minyak bumi adalah industri utama dengan investasi besar dari Eropa, dan investasi asing di Papua meningkat 30%, termasuk dari Australia.

Mengapa Indonesia menawarkan bantuan kepada Vanuatu?
Ada beberapa alasan. Pertama, kami ingin menciptakan kawasan yang lebih stabil karena kami adalah bagian dari Pasifik. Stabilitas di kawasan ini sangat penting, oleh karena itu kami tidak hanya bekerja sama dengan Vanuatu, tetapi juga dengan Melanesian Spearhead Group (MSG) secara keseluruhan dan negara-negara Pasifik lainnya.

Kedua, kami percaya pada globalisasi. Jelas sekali bahwa tidak ada yang terisolasi lagi; semua orang terhubung. Jika terjadi krisis ekonomi di satu tempat, hal itu akan berdampak pada daerah lain. Oleh karena itu, memastikan stabilitas ekonomi di Pasifik sangat penting. Kami menyebut hal ini sebagai peningkatan Pasifik – meningkatkan stabilitas dan kesejahteraan ekonomi di kawasan ini.

Dalam hal kerja sama pembangunan, kami memberikan dukungan ke Pasifik. Pertama, kepada MSG, dan kedua, kepada negara-negara merdeka seperti Vanuatu.

Kami menawarkan hibah sebesar 13 juta dolar AS kepada MSG dan juga memberikan kontribusi sukarela dengan total sekitar 100.000 dolar AS, semuanya untuk membantu stabilitas regional.

Indonesia juga memberikan kontribusi tahunan kepada MSG, sekitar 217.000 dolar AS sejak menjadi anggota asosiasi. Selain itu, kami telah memasok dua kendaraan operasional, keduanya diproduksi di Indonesia dan dikenal sebagai Toyota Indonesia, yang berkontribusi pada hubungan positif kami dengan MSG.

Selain itu, kami telah memberikan bantuan kemanusiaan sebesar 20.800 dolar AS dan menginvestasikan sekitar dua juta dolar AS untuk merenovasi ruang tunggu VIP di Bandara Internasional Port Vila.

Apakah Indonesia mendukung upaya Papua Barat untuk menjadi anggota penuh MSG?
Ketika membahas Papua Barat dan provinsi-provinsi Melanesia lainnya di Indonesia, penting untuk membedakan antara Papua Barat dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Jika kita berbicara tentang Papua Barat dan provinsi-provinsi Melanesia lainnya di Indonesia, kita sudah menjadi anggota MSG. Papua Barat dan Maluku merupakan salah satu dari sembilan provinsi di Indonesia yang dihuni oleh sekitar 13 juta orang Melanesia, yang membuat mereka sudah menjadi bagian dari MSG.

Baca Juga:  Jawaban Anggota DPRP Saat Terima Aspirasi FMRPAM di Gapura Uncen

Vanuatu meyakini bahwa Indonesia bertanggung jawab atas serangan siber besar-besaran yang melumpuhkan Internet pemerintah selama empat bulan pada tahun 2022 dan menyebabkan gangguan yang signifikan. Apakah Indonesia bertanggung jawab atas hal ini?
Tidak, Indonesia tidak bertanggung jawab atas hal itu. Faktanya, baik Indonesia maupun Vanuatu sama-sama menderita akibat serangan siber. Pada tahun 2023 saja, Indonesia menghadapi 361.000.000 serangan siber, yang sangat berdampak pada perekonomian kita.

Salah satu pendiri Kemerdekaan Vanuatu, Pastor Walter Lini, membuat pernyataan yang beresonansi di setiap generasi, yang menyatakan bahwa jika satu negara Melanesia tidak bebas dari negara lain, maka tidak ada dari kita yang benar-benar bebas. Pernyataan ini sering dikaitkan dengan Papua Barat dan Indonesia, khususnya mengenai upaya ULMWP. Apa pendapat Anda tentang komentar ini?

Mengingat komitmen kami terhadap dekolonisasi, penting untuk dicatat bahwa Papua Barat tidak pernah menjadi anggota Komite Khusus PBB untuk Dekolonisasi (C-24), yang berarti Papua Barat tidak dijajah.

Meskipun sentimen Pater Walter Lini mungkin ada benarnya, penting untuk dipahami bahwa komentarnya tidak berlaku untuk Papua, karena Papua telah menjadi bagian dari proses dekolonisasi Indonesia. Integrasi Papua ke dalam Indonesia telah sesuai dengan hukum internasional pada saat itu.

Mengingat bahwa kita semua pernah dijajah oleh Belanda, dari Aceh hingga Papua, kita mewarisi warisan kolonial setelah meraih kemerdekaan, dengan berpegang pada prinsip ‘uti possidetis juris’ (sebagaimana yang Anda miliki menurut hukum).

Prinsip ini berlaku di berbagai wilayah di seluruh dunia, termasuk di Afrika dan Amerika Latin. Oleh karena itu, ketika membahas Papua Barat dalam konteks visi Walter Lini, penting untuk memahami konteks historis ini.

Meskipun Indonesia mungkin tidak terlibat langsung dalam masalah ini, kami percaya bahwa kami mendukung negara atau wilayah Pasifik manapun yang membutuhkan dekolonisasi, terutama yang berada dalam kerangka C-24 sistem PBB.

Sebagai anggota Piagam PBB, baik Indonesia maupun Vanuatu berkomitmen untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip tatanan berbasis aturan. (*)

SUMBERVanuatu Daily Post
Artikel sebelumnyaSidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?
Artikel berikutnyaPelaku Penyiksaan Harus Diadili, Desakan Copot Pangdam Cenderawasih Terus Disuarakan