SORONG, SUARAPAPUA.com — Pembayaran maskawin untuk perempuan Aifat, Mare, dan Miyah (AMM) menggunakan kain Timur adalah budaya salah yang diwariskan puluhan tahun dan harus dirubah atau bila perlu ditiadakan karena kain Timur bukan hasil karya perempuan Papua.
Pendapat tersebut dikemukakan Samuel Asse Bless, antropolog Papua lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam sebuah diskusi terbatas merayakan 10 tahun Noken disahkan UNESCO, Minggu (4/12/20202) di Seminari Petrus Van Diepen, Aimas, kabupaten Sorong, Papua Barat.
“Noken merupakan hasil karya ekspresi jiwa perempuan Papua yang harus dijadikan mahar untuk pembayaran maskawin dan diberikan nilai yang setinggi-tingginya. Bukan lagi kain Timur yang nota bene bukan budaya asli kita,” ujarnya.
Noken dalam bahasa Aifat, Mare dan Miyah adalah ‘Eyu’ atau ‘Yu’.
Berbicara tentang hari noken yang jatuh pada setiap tanggal empat Desember tersebut merupakan diskusi yang berbeda dan sangat terbatas karena khusus untuk perempuan AMM dengan topik melihat filosofi noken dan relasinya dengan perempuan AMM.
Samuel memaparkan fakta mengenai kain Timur dan manik-manik sebagai suatu peninggalan dari Portugal pada perang dunia kedua. Saat itu terjadi pertukaran barang-barang antar orang Portugal dan Papua. Orang Portugal menukar kain Timur dan manik-manik untuk bisa mendapatakan pala, burung Cenderawasih, dan lainnya.
Dari fakta sejarah itu, Samuel menyatakan, kian Timur dan manik-manik bukan produk perempuan Papua atau orang asli Papua. Karena itu, masyarakat AMM sebaiknya tidak lagi wariskan budaya dari luar, tetapi mesti lestarikan hasil karya mama-mama Papua.
Menurutnya, hasil karya mama-mama Papua seperti Noken adalah gambaran ekspresi alam, hidupnya, dan perasaannya yang harus digunakan untuk bayar maskawin serta diberikan nilai setinggi-tingginya.
“Masyarakat adat kita masyarakat konsumtif yang artinya manusia yang hanya suka memakai dan tidak memproduksi sendiri, sehingga masyarakat adat kita terjadi pergeseran budaya atau suka menerima budaya orang luar. Kain Timur dan manik-manik bukan hasil produk mama-mama Papua. Kita pakai kain Timur dari Timor, Flores, sedangkan kita sendiri tidak produksi sendiri. Noken adalah hasil karya mama-mama AMM dan Papua secara umum yang merupakan gambaran ekspresi alam, gunung, air, tumbuhan, hewan, serta perasaan, hidup, dan lainnya. Itulah produk yang harus dipakai untuk bayar maskawin dan diberikan nilai setinggi-tingginya, bukan lagi kain Timur,” tuturnya.
Tokoh intelektual kebanggaan masyarakat AMM dari kampung Seya distrik Mare, kabupaten Maybrat, itu menjelaskan, perempuan Papua dan noken adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kata Samuel, ada noken, maka ada perempuan. Dalam noken ada harapan hidup, sedangkan dalam perempuan ada sumber kehidupan.
Samuel sangat setuju, noken adalah ekspresi identitas dan eksistensi perempuan AMM. Karya kehidupan perempuan Papua. Ia melihat setiap noken yang dibuat oleh perempuan AMM mempunyai fungsi, ekspresi, dan pesan moralnya berbeda-beda.
Ia mencontohkan, Eyu Abat Fur, hasil karya perempuan Miyah di kabupaten Tambrauw menggambarkan keindahan alam gunung Weskiek, Petik Bintang, Sisos, dan lainnya. Sementara, Yu Taa adalah jenis noken mirip seperti noken dari wilayah Meepago dan Laapago adalah gambarakan perempuan Papua yang ekpresif, sederhana, dan terbuka.
Semakin indah dan rumit suatu hasil karya noken, menurutnya, menggambarkan semakin cerdas, kreatif dan terstruktur cara berpikir perempuan AMM dan Papua umumnya.
Asse Bless juga persoalkan masih suburnya cerita mitos mengenai kain timur di wilayah Kepala Burung yang terus dikembangkan untuk melegitimasinya sebagai hasil budaya di wilayah adat Domberay. Menurutnya, itu tidak dapat dibenarkan. Sebab, mitos seputar kain timur yang kerap dikisahkan hanyalah cerita khayalan untuk menenggelamkan budaya luhur suku bangsa terutama AMM.
“Noken adalah identitas, ekspresi, dan gambaran eksistensi perempuan AMM dan Papua secara umum. Semakin indah dan rumit suatu noken, maka itu gambaran kecerdasan, kreativitas, dan terstrukturnya cara berpikir perempuan AMM dan Papua umumnya. Setiap hasil noken punya fungsi yang berbeda-beda dan mempunyai pesan moral yang berbeda pula. Ada noken khusus untuk simpan barang pemali. Ada noken yang menggambarkan keterbukaan dan kesederhanaan orang Papua. Ada noken yang digunakan untuk taruh anak, taruh hasil kebun, dan lainnya,” Samuel membeberkan dalam diskusi singkat tersebut.
Sementara itu, Beyum Antonela Baru, salah satu perempuan yang juga prihatin dengan tradisi pembayaran maskawin masyarakat dari tiga suku di wilayah Kepala Burung, khususnya AMM, sepakat jika pembayaran maskawin perempuan AMM sebaiknya menggunakan noken.
Beyum menyebut Noken terindah dan terumit dalam menyulam, sehingga noken dibeli dan setiap perempuan AMM ikut mendorong perkembangan ekonomi mama-mama AMM serta ikut melestarikan budaya bernoken. Dengan begitu, noken tetap eksis di Tanah Papua terutama noken asli dari kulit kayu ataupun bahan lainnya yang dari alam Papua.
“Ini hal yang berat untuk merubah tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun, tetapi untuk perubahan peradaban kelompok suku AMM, maka kita akan membangun kesadaran bersama antara perempuan dan laki-laki AMM agar berani mengubah budaya yang dinilai kurang sesuai dengan budaya aslinya orang AMM,” ujarnya.
Pewarta: Maria Baru
Editor: Markus You