BeritaEkonomiKetika Masyarakat Adat Moi Kelim Menjaga Ekosistem Satwa Burung Melalui Avitourism

Ketika Masyarakat Adat Moi Kelim Menjaga Ekosistem Satwa Burung Melalui Avitourism

SORONG, SUARAPAPUA.com — Masyarakat adat Moi Kelim melalui gerakan anak muda dan tokoh masyarakat eksis menjaga ekosistem satwa burung dilindungi melalui wisata Avitourism di kampung Malagufuk dan kampung Klabili.

Kampung Malagufuk terletak di distrik Makbon, kabupaten Sorong. Sedangkan, kampung Klabili ada di distrik Selemkay, kabupaten Tambrauw, provinsi Papua Barat Daya.

Avitourism atau dikenal wisatawan asing dengan sebutan Birdwatching merupakan aktivitas para wisatawan mengamati burung di objek wisata alam. Pengamatan burung biasanya dilakukan di habitat asli.

Sudah sejak lama paket wisata Avitourism jadi salah satu daya tarik tersendiri bagi pencinta burung ataupun para wisatawan luar negeri dan Indonesia.

Di Tanah Papua, khususnya masyarakat adat Moi Kelim yang ada di kabupaten Sorong dan kabupaten Tambrauw, mulai memanfaatkan potensi alam menjadi suatu jasa lingkungan yang turut meningkatkan perekonomian.

Selain perekonomian, masyarakat hukum adat melibatkan diri dalam menjaga ekosistem hutan adat tanpa menebang pohon dan membunuh satwa liar dan langka yang dilindungi seperti burung Cenderawasih, Kakatua putih, Kakatua hitam, Mambruk, Kasuari, Urip merah, dan satwa liar lainnya.

Adat Egek

Di kampung Malaumkarta, komunitas Moi Kelim, menerapkan budaya sasi atau dalam bahasa lokal Moi Kelim disebut Egek.

Sasi atau Egek dilakukan agar masyarakat tak sembarang berburu, menebang pohon ataupun memancing ikan di laut sesuka hati, tetapi berdasarkan waktu tertentu yang disepakati bersama oleh komunitas setempat.

Mereka sasi ekosistem di laut dan daratan.

Di laut, contohnya tak boleh membunuh penyu atau udang lobster. Di hutan, misalnya melarang berburu Kasuari atau menebang pohon sembarang.

Masyarakat adat Moi Kelim telah menyadari pentingnya menjaga kelestarian alam untuk eksistensi ekosistem di hutan dan laut. Itu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Itu bagian dari peran masyarakat hukum adat dalam menjaga kelestarian hutan, mengurangi penebangan hutan skala besar, dan melindungi satwa liar yang sedang diperjualbelikan di Tanah Papua, dan Sorong Raya khususnya.

Baca Juga:  57 Tahun Freeport Indonesia Berkarya

Menurut Yoram Kalami, salah satu anak muda di kampung Klabili, distrik Selemkay, kabupaten Tambrauw, yang sedang mendorong Klabili Birdwatching, tujuan utama dari membuka wisata Avitourism adalah menjaga hutan tetap lestari dan upaya melindungi satwa liar dari kejahatan manusia yang sedang marak di Tanah Papua.

Melalui Klabili Birdwatching, Yoram berharap, masyarakat akan sadar dan tak lagi membunuh satwa liar ataupun melakukan penebangan pohon secara ilegal.

“Saya mendorong adanya Klabili Birdwatching supaya hutan di kampung Klabili tetap terlindung dan lestari,” ujarnya kepada suarapapua.com belum lama ini.

Agar tetap terlindung dan lestari, masyarakat tak lagi menebang pohon karena melalui Birdwatching masyarakat telah mengembangkan ekonomi secara kreatif. Juga ikut menjaga satwa seperti burung yang dilindungi untuk tak ditembak lagi ataupun dijual.

“Masyarakat tidak lagi menebang pohon karena melalui Birdwatching masyarakat telah mengembangkan ekonomi secara kreatif. Masyarakat dan anak muda ikut menjaga satwa liar seperti burung yang dilindungi untuk tidak ditembak lagi ataupun dijual kepada pihak luar,” tutur Kalami.

Kata Yoram, Klabili Birdwatching dikelola sejak 2018. Setahun kemudian, para wisatawan terutama wisatawan asing mulai mengunjungi kampung Klabili. Kunjungan wisatawan masih berlanjut hingga kini.

Wisatawan mancanegara terutama dari Australia, Inggris, Amerika, Belanda, Brasil, Prancis, Spanyol, Norwegia, China, dan Jerman.

“Ada dari negara lain juga,” imbuhnya.

Yoram Kalami akui ada 13 burung yang menjadi target para pengunjung.

Antara lain Blue-black Kingfisher, Red-blester Kingfisher, New Guinea Vulturine Parrot, King Bird of Paradise, Twelve-wired Bird of Paradise, Western Crowned Pigeon, Common Paradise Kingfisher, Cinnamon Ground-dove, Black Lory, Moluccan King-parrot, Yellow-capped Pygmy-parrot, Blyth’s Hornbill, dan Rufous-bellied Kookaburra.

Selain itu, ada jenis burung lainnya yang juga tak luput dari wisatawan.

Baca Juga:  Hujan di Sorong, Ruas Jalan dan Pemukiman Warga Tergenang Air

Kegiatan wisata menikmati burung di habitat aslinya itu diakui Nimbrod Kalami.

Anak muda yang suka temani para turis asing di kampung Malagufuk itu mengatakan, sudah lama masyarakat komunitas Moi Kelim menyediakan jasa wisata melihat burung di alam terbuka.

Ia sendiri sudah lima tahun lebih belajar menjadi seorang pemandu.

Kata Nimbrod, untuk menjadi pemandu harus memiliki kemampuan cukup dalam memahami dengan baik nama-nama burung. Tentunya dalam bahasa Inggris. Sebab jika salah ataupun tak hafal, tentu akan bikin kecewa para tamu.

Di kampung Malagufuk, masyarakat juga menerapkan sasi. Anak muda dan masyarakat setempat tak boleh berburu satwa liar dan menebang pohon di tempat spot burung bermain, menari, dan bernyanyi.

“Menjadi pemandu lokal, kita dituntut memiliki kemampuan untuk mengenal nama-nama burung yang tamu inginkan. Ini wajib karena kalau tidak, mereka pasti akan kecewa,” ujarnya.

Dari pengalaman selama ini, Yoram dan Nimbrod merasa sangat penting dengan pelestarian sumber daya alam. Karena itu, keduanya mengajak semua anak muda Moi dan Papua umumnya agar turut berperan dalam pengembangan potensi sumber daya alam di wilayah adat masing-masing.

Penyelundupan

Berdasarkan penelusuran suarapapua.com, penyelundupan satwa terutama burung-burung endemik Papua masih marak hingga kini. Ada beberapa burung endemik Papua yang sering diperdagangkan. Salah satunya burung Cenderawasih.

Burung Cenderawasih yang sudah mati dan menjadi bahan hiasan, rata-rata dijual per ekor dua juta rupiah. Tak terkecuali yang lainnya seperti burung Kakatua putih dan Kakatua hitam, burung Urip, burung Mambruk, dan Kasuari yang masih hidup.

Pada Oktober 2022, ada 24 ekor Kakatua puitih, 32 burung urip merah, empat Mambruk dikarantina di hutan lindung Km 14 kota Sorong. Di hutan lindung disediakan rumah karantina untuk menampung burung-burung yang disita di kapal maupun dari tangan oknum orang tertentu.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Di rumah karantina tersebut dipelihara dan dipulihkan sifat-sifat burung yang jinak menjadi liar, sehingga bisa dibebaskan ke hutan, alam bebasnya burung.

Pada 19 Desember 2022, Flora Fauna Internasional (FFI) Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua Barat melakukan pemeriksaan di kapal laut penumpang dari Jayapura. Didapati sanggar burung, juga bambu dengan memasukan burung. Sembilan burung Mambruk besar dan empat anak Kasuari yang masih hidup. Ditemukan satu anak Kasuari sudah mati.

Maurits Kafiar, salah satu tim dari FFI yang ikut terlibat dalam penyitaan burung-burung di kapal, menyebutkan selama ini penyelundupan satwa liar burung rata-rata dari Papua seperti Jayapura, Nabire, dan Biak.

Pemerintah daerah di Papua diakui masih belum serius dalam penanganan dan perlindungan satwa liar endemik Papua.

“Kalau jujur ya, pemerintah daerah belum serius dalam melindungi satwa liar endemik Papua,” kata Maurits.

Persoalan lainnya, pemerintah daerah juga belum mampu menangkap program-program dari pemerintah pusat untuk pengelolaan dan perlindungan hutan, seperti hutan konservasi.

“Pemerintah daerah juga belum mampu menangkap program-program dari pemerintah pusat yang sebenarnya memberikan kesempatan dalam pengelolaan dan perlindungan hutan seperti hutan konservasi,” ujar Kafiar.

Padahal, masyarakat di Papua masih hidup dengan sistem meramu. Hidup bergantung pada alam.

“Selama ini masyarakat lebih suka melakukan sesuatu yang instan, maka salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah mengelola hutan menjadi ekowisata. Masyarakat bisa belajar memanfaatkan potensi hutan tanpa menjual tanah ataupun kayu. Mereka hanya menjual jasa lingkungannya, jadi masyarakat ikut berperan dalam menjaga alam bukan merusak,” tuturnya.

Dalam hal ini perlu keterlibatan masyarakat adat. Peran penting masyarakat mesti diupayakan pemerintah. Pengelolaan dan perlindungan hutan konservasi, juga menjaga ekosistem satwa burung dilindungi perlu terus digencarkan agar tetap terlestari dari ancaman kepunahan.

Pewarta: Maria Baru
Editor: Markus You

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.