Rilis PersKekerasan di Papua Menimbulkan Ketidakpercayaan Rakyat Pada Pemerintah RI

Kekerasan di Papua Menimbulkan Ketidakpercayaan Rakyat Pada Pemerintah RI

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Eskalasi kekerasan yang terjadi pada awal tahun 2023 telah menimbulkan ruang ketidakpercayaan rakyat Papua terhadap komitmen pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan konflik dan kekerasan yang terjadi selama 6 dekade (Mei 1963 – Mei 2023) pendudukan Indonesia di Tanah Papua.

Pernyataan itu disampaikan Markus Haluk, Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dalam rilisnya, 27 Februari 2023.

Dikatakan, peristiwa penyanderaan terhadap kapten Philip Mark Marthens berkebangsaan Selandia Baru oleh TPN-PB pimpinan Brigadir Jenderal Egianus Kogeya di Nduga pada 7 Februari 2023; penembakan terhadap warga sipil di Dogiyai oleh aparat kepolisian RI pada 21 Januari 2023 yang mengakibatkan dua orang meninggal dunia; dan penembakan brutal oleh aparat kepolisian RI dan TNI terhadap aksi protes warga sipil di Wamena pada 23 Februari 2023.

Semua rangkaian ini kata Haluk mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia sama sekali tidak memiliki peta jalan penyelesaian konflik Papua secara damai, bermartabat dan komprehensif, justru sebaliknya menciptakan, membiarkan dan memelihara konflik yang berlangsung secara kontinyu di Tanah Papua.

Baca Juga:  ULMWP: Aneksasi Papua Ke Dalam Indonesia Adalah Ilegal!

Kondisi ini membuktikan bahwa orang Melanesia di West Papua sedang mengalami proses genosida, ekosida dan etnosida.

Konflik dan krisis kemanusiaan yang terjadi di West Papua telah memicu resistensi rakyat Papua terhadap pendudukan Indonesia. TPN PB merupakan bagian dari entitas perlawanan yang secara konsisten terus berjuang untuk mempertahankan tanah air West Papua, termasuk yang saat ini diperjuangkan oleh Brigadir Jenderal Egianus Kogeya.

Tuntutan yang diajukan oleh Birgadir Jenderal Egianus Kogeya kata Haluk secara tegas menjelaskan bahwa konflik Papua tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah Indonesia, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan West Papua.

Konflik bersenjata yang sedang berlangsung saat ini di West Papua diantaranya Kabupaten Maybrat, Pengunungan Bintang, Yahukimo, Intan Jaya, Puncak Papua, Puncak Jaya, Yapen dan Nduga, telah mengakibatkan ratusan orang yang meninggal dunia dan sebanyak 67.000 warga sipil mengungsi keluar dari wilayah konflik.

Baca Juga:  Perusahaan HTI PT Merauke RJ di Boven Digoel Diduga Melakukan Tindakan Melawan Hukum

Selama pelaksanaan operasi militer di wilayah konflik bersenjata, aparat TNI/Polri selalu menggunakan fasilitas sipil terutama untuk kebutuhan transportasi (darat dan udara) dalam memobilisasi pasukan maupun akomondasi seperti sekolah, gereja dan Puskesmas.

“Dalam sejumlah kesempatan, TPN PB telah memberikan peringatan keras kepada TNI/Polri agar berhenti menggunakan fasilitas sipil untuk melaksanakan operasi militer, namun tidak dihiraukan, sehingga seringkali terjadi penembakan terhadap pesawat sipil. Pembakaran pesawat Susi Air dan penyanderaan terhadap Capt. Philip Marthens adalah akumulasi dari tidak diindahkannya peringatan TPN PB terhadap penggunaan fasilitas sipil untuk kepentingan operasi TNI/Polri.”

Mengacu pada situasi nyata yang sedang berlangsung di West Papua, maka ULMWP menyatakan sikap resmi sebagai berikut:

  1. Perlawanan yang dilakukan oleh TPN PB termasuk Brigadir Jenderal Egianus Kogeya adalah untuk mewujudkan Hak Menentukan Nasib Sendiri guna meraih kemerdekaan dan kedaulatan politik West Papua.
  2. Pemerintah Selandia Baru perlu mempertimbangkan untuk menghentikan perjanjian kerja sama kepolisian dengan pemerintah Indonesia, karena aparat TNI/Polri merupakan aktor atas berbagai peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM secara berkelanjutan terhadap warga sipil di West Papua.
  3. Kami menolak segala upaya pelibatan TNI/Polri, KOMNAS HAM RI dan institusi lainnya yang berada di bawah kendali pemerintah Indonesia, dan mendorong penyelesaian masalah pelanggaran HAM West Papua melalui mekanisme internasional, serta meminta akses penuh Dewan HAM PBB agar melakukan investigasi secara terbuka di West Papua.
  4. Kami menyerukan partisipasi aktif masyarakat internasional dalam penanganan krisis kemanusiaan di Papua Barat, baik di tingkat sub regional Melanesia, regional Pasifik, inter-regional dan internasional, dengan memperhatikan dampak krisis kemanusiaan terhadap 1,7 juta penduduk pribumi yang mendiami wilayah Papua Barat.
Baca Juga:  Mahasiswa Papua di Sulut Desak Komnas HAM RI Investigasi Kasus Penganiayaan di Puncak

 

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Penghargaan Musik di Eropa untuk Black Brothers

0
Mereka memadukan alat musik tradisional dengan instrumen Barat. Personil Sangguma berjumlah tujuh orang dengan dua kreatornya Tony Subam (East Sepik Province) dan Sebastian Miyoni (Milne Bay Province).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.