Nasional & DuniaPernyataan TAPOL Terkait Penyanderaan Pilot Susi Air di Nduga

Pernyataan TAPOL Terkait Penyanderaan Pilot Susi Air di Nduga

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sudah sebulan pilot Susi Air Phillips Mark Mehrtens disandera Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pimpinan Egianus Kogeya di Nduga, Pegunungan Papua.

Meskipun menempatkan masalah Papua Barat kembali dalam sorotan internasional, penyanderaan warga sipil sangat disesalkan dan tidak dapat dibenarkan berdasarkan hak asasi manusia internasional dan norma-norma kemanusiaan.

Peristiwa itu bermula setelah sang pilot mendaratkan pesawat Pilatus Porter PC-6 Susi Air di lapangan terbang Paro, distrik Paro, kabupaten Nduga, mengantar lima warga Papua dari Timika, 7 Februari 2023.

Pasukan TPNPB Komando Daerah Perang (Kodap) III Derakma-Ndugama menyergap mereka dan melepaskan penumpang, membakar pesawat dan menyandera pilotnya.

TPNPB berjanji akan membebaskan pilot aal Selandia Baru itu jika pemerintah memenuhi tuntutan utama mereka yaitu mengakui kemerdekaan Papua Barat. Sebaliknya, TPNPB mengaku merekrut Phillips untuk melatih pasukannya menerbangkan pesawat.

Pemerintah telah membentuk tim yang terdiri dari polisi dan militer untuk operasi pembebasan sandera. Pemerintah daerah serta pimpinan gereja dan tokoh masyarakat setempat juga dikerahkan untuk menjalin komunikasi dengan kelompok bersenjata itu. Tetapi belum berhasil. TPNPB menginginkan mediasi oleh PBB.

Baca Juga:  Sikap Mahasiswa Papua Terhadap Kasus Penyiksaan dan Berbagai Kasus Kekerasaan Aparat Keamanan

Dua pekan lalu pemerintah mengklaim telah menemukan keberadaan para sandera. Tetapi pemerintah New Zealand meminta Indonesia menahan diri dan tetap menggunakan cara-cara persuasif serta bernegosiasi dengan para penculik Mehrtens. New Zealand tidak ingin masalah ini menjadi perhatian internasional.

Terlepas dari keprihatinan pemerintah Selandia Baru, TAPOL mendukung penggunaan negosiasi dan persuasi sebagai jalan yang paling masuk akal untuk menyelesaikan situasi ini. Pemerintah tidak boleh dipimpin oleh mereka yang ingin melancarkan operasi militer untuk menyelamatkan pilot, karena rekam jejak operasi militer serupa di masa lalu telah mengakibatkan bertambahnya korban sipil yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata.

Indonesia harus berhati-hati agar akibat krisis penyanderaan Mapnduma 1996 yang diakhiri dengan penyerbuan pasukan khusus ke tempat penyanderaan yang mengakibatkan tewasnya dua sandera dan penculiknya, tidak terulang kembali. Kejadian ini menunjukkan bahwa tidak ada tempat untuk keputusan sembrono yang dapat membahayakan nyawa para sandera.

Baca Juga:  Sidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?

Menimbang apa yang telah terjadi sejak peristiwa penyanderaan dimulai, TAPOL menyatakan:

Pertama, tindakan penyanderaan tidak dapat dibenarkan melalui lensa hukum humaniter dan hukum hak asasi manusia internasional. Apalagi pilotnya adalah warga sipil dan tidak terlibat dalam konflik bersenjata antara TPNPB dan aparat keamanan Indonesia.

Kedua, kami berharap agar sang pilot diperlakukan secara manusiawi selama di penyanderaan. Dia tidak boleh mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk. Kesejahteraan mental dan fisiknya harus dijamin oleh para penangkapnya dan bekal dasar harus diberikan kepadanya. Penyiksaan dan perlakuan buruk dilarang dalam situasi apa pun, baik selama masa damai atau dalam situasi konflik bersenjata, oleh hukum hak asasi manusia dan kemanusiaan internasional.

Ketiga, pemerintah Indonesia harus tetap mengedepankan negosiasi dengan melibatkan pihak ketiga internasional yang kompeten, berwibawa, dan netral.

Baca Juga:  Pilot Selandia Baru Mengaku Terancam Dibom Militer Indonesia

Keempat, tidak boleh ada tempat bagi keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), apalagi Komando Pasukan Khusus (Kopassus), dalam perundingan atau mempengaruhi keputusan terkait perundingan.

Kelima, kami menghimbau pihak-pihak yang berkonflik dalam hal ini TPNPB dan TNI/Polri untuk berpegang pada asas pembedaan, proporsionalitas, dan kehati-hatian, guna mencegah warga sipil – baik pilot yang disandera maupun warga sipil lain di sekitarnya – yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata agar tidak menjadi korban tindakan yang tidak dibenarkan termasuk kekerasan.

Keenam, pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menjamin dan melindungi hak asasi warga sipil yang harus direlokasi (internally displaced person/IDP) karena masalah keamanan di Nduga. Selain memenuhi jaminan tersebut, juga harus memberikan pertimbangan serius untuk menerima lembaga internasional yang berpengalaman dalam memberikan bantuan kepada pengungsi.

REDAKSI

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ini Keputusan Berbagai Pihak Mengatasi Pertikaian Dua Kelompok Massa di Nabire

0
Pemerintah daerah sigap merespons kasus pertikaian dua kelompok massa di Wadio kampung Gerbang Sadu, distrik Nabire, Papua Tengah, yang terjadi akhir pekan lalu, dengan menggelar pertemuan dihadiri berbagai pihak terkait di aula Wicaksana Laghawa Mapolres Nabire, Senin (29/4/2024) sore.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.