ArtikelNegara Turut Melakukan Kejahatan Kemanusiaan di Papua

Negara Turut Melakukan Kejahatan Kemanusiaan di Papua

Siapa yang bermain?

Oleh: Marthen Goo*
*) Penulis adalah aktivis kemanusiaan dan anggota PapuaItuKita

Saya awali tulisan ini dengan ucapan turut berdukacita yang mendalam kepada ribuan warga Papua yang menjadi korban atas berbagai operasi militer. Saya turut berdukacita buat ribuan rakyat Papua yang meninggal dalam pengungsian. Saya prihatin kepada ribuan rakyat Papua yang sampai saat ini masih dalam pengungsian di daerah yang dikonflikan tanpa ada perlindungan, bahkan ada anak-anak dan lansia (lanjut usia) yang menjadi korban. Belum lagi pemuka agama yang jadi korban.

Saya juga turut berduka atas meninggalnya anggota TNI/Polri. Dan saya pun turut berduka atas meninggalnya anggota TPNPB OPM.

Begitu banyak manusia harus kehilangan nyawa hanya karena ruang kemanusiaan, ruang dialog, ruang perundingan ditutup. Tentu kejahatan kemanusiaan di Papua terjadi begitu lama sejak mobilisasi militer Indonesia ke Papua pada tahun 1962 setelah Soekarno mengumumkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Alun-alun Yogyakarta, 19 Desember 1961.

Pendekatan militer di Tanah Papua sudah dilakukan sejak 1961 dengan dikumandangkan Trikora. Pemaknaan Trikora dapat dilihat dengan adanya: (1) Mens Rea; (2) Kebijakan; (3) Mobilisasi; (4) Pendudukan, dan (5) Operasi. Lima tahapan yang menggambarkan Papua dijadikan sebagai daerah berdarah yang sebelumnya dikenal sebagai daerah yang memiliki nilai kebudayaan dan kemanusiaan yang bermartabat.

Dalam situasi seperti itu, negara tidak pernah melakukan pendekatan dialog/humanis terhadap Papua. Padahal, musyawarah untuk mufakat dikenal di Indonesia. Upaya damai selalu diabaikan.

Baca Juga:  Apakah Kemerdekaan Republik Indonesia Berdampak Bagi Kehidupan Orang Asli Papua?

Pendekatannya selalu pendekatan militer. Entahlah apa targetnya? Apakah biar ekonomi OAP bermasalah? Apakah biar terjadi depopulasi? Apakah biar kebudayaannya hancur? Apakah agar pendidikan bermasalah? Apakah biar orang Papua tidak berkembang?

Semua pertanyaan ini hendak mengantarkan kita untuk mencari tahu siapa yang bermain di belakang itu semua. Sementara, konstitusi mensyaratkan hak asasi manusia, musyawarah untuk mufakat, bahkan perlindungan warga negara, belum lagi soal kesejahteraan dan lainnya yang berhubungan dengan nilai. Nilai yang sebelumnya sudah ada, melekat dan hidup bersama orang Papua hilang saat Indonesia memasukan Papua dengan paksa. Belanda masih merawat nilai.

Korban Berjatuhan

Pendekatan militer, pendekatan operasi, pendekatan kekerasan, tentu hanya melahirkan berbagai kekerasan baru, dan dampaknya adalah ada yang mengalami korban baik TPNPB maupun TNI/Polri, lebih buruk lagi adalah rakyat sipil yang tidak berdosa menjadi korban atas kejahatan ataupun konflik yang dilakukan antara TPNPB dan TNI/Polri.

Ketika rakyat Papua mengungsi, negara tidak pernah melindungi rakyat, sehingga banyak yang korban di pengungsian.

Korban pengungsian di Nduga dan Intan Jaya serta lainnya saja mencapai lebih dari puluhan ribu orang. Mereka harus mengungsi ke hutan, bahkan kemudian berjalan kaki menuju kabupaten lain yang dirasa aman, misalnya menuju Mimika, Nabire dan lainnya.

Ada tindakan segregasi yang dilakukan dalam pendekatan pengungsian. Bahkan, ada yang korban ditembak saat hendak melindungi diri. Sasaran tidak lagi pada sesama kombatan, tetapi bergeser pada korban warga sipil.

Baca Juga:  Papua Sudah Lama Memikul Salib Derita Menuju Puncak Kemenangan Iman

Pendekatan Militer Masih Berlanjut

Negara tidak pernah merubah pendekatan. Pendekatan aparat di Papua menjadi pendekatan utama yang dilakukan, akibatnya terjadi masalah pelanggaran HAM dan lainnya. Alasan pemerintah pusat, ini masalah keamanan. Padahal, logika itu pernah digugurkan oleh Gus Dur.

Pendekatan dengan istilah keamanan faktanya, justru tetap ada pelanggaran HAM. Bahkan apapun alasannya, faktanya pelanggaran HAM terus terjadi.

Kadang nama pendekatan ataupun nama operasi dibuat seakan hormati HAM, tetapi realitas berbeda dengan istilah. Bahkan istilah yang dipakai kadang juga bertentangan, misalnya operasi kemanusiaan.

Karena pengertian operasi dengan keamanan saling kontras pemaknaannya. Bahkan istilah pendekatan keamanan harus diartikan sebagai tindakan mengamankan, faktanya berbeda. Mestinya karena keamanan mengamankan pengungsi, tetapi faktanya warga lari ke hutan, dan lain-lain.

Negara Sengaja Memelihara Kejahatan dan Kekerasan

Negara sangat terlihat turut dalam memelihara kejahatan dan kekerasan. Cara melihatnya adalah dengan cara: (1) negara selalu menghindar dari mendorong dialog/perundingan untuk mendorong Papua tanah damai; dan, (2) pendekatan militerisme didasarkan pada rasialisme.

Ketika Jaringan Damai Papua (JDP) menawarkan konsep dialog Jakarta-Papua kepada negara melalui kepala negara, sedikit niat pun belum ditunjukan, misalnya dengan mengutus special envoy, dan lainnya.

Pendekatan rasialisme sendiri dapat dilihat dengan: (1) kebijakan negara tanpa adanya partisipasi rakyat; (2) pengungsian diabaikan oleh negara; (3) rakyat sipil tak berdosa menjadi korban kejahatan HAM.

Baca Juga:  Kebebasan Berekspresi Sue: Luka yang Belum Sembuh di Papua

Semangat tujuan bernegara dalam konstitusional tidak dilaksanakan atau terjadi praktek pembangkangan konstitusi dikarenakan negara tidak bertanggungjawab terhadap pengungsian tersebut, apalagi kebanyakan adalah anak-anak dan perempuan.

Ini menggambarkan bahwa semenjak negara ini didirikan sampai sekarang, ada yang salah dengan pengelolaan negara. Aspek kepentingan, aspek subjektif, aspek “isme” mendominasi personal dalam mengelola negara. Sederhana saja, jika perundingan itu adalah mekanisme demokrasi merumuskan masalah, mencari solusi atas masalah, menyepakat kesepakatan, mestinya Presiden bisa melakukan hal itu. Presiden memiliki kewenangan atas hal itu.

Namun jika Presiden menghindari, maka ada hal yang salah, bahkan presiden patut diduga melakukan pelanggaran terhadap Pancasila dan Konstitusional. Aspek musyawarah untuk mufakat adalah prinsip konstitusional yang mestinya dilakukan. Bahkan jika ada pihak-pihak yang menolak dan menghambat, mestinya Presiden menon-aktifkan dari jabatan karena turut merusak tatanan konstitusional. Negara harus bertanggungjawab.

Lalu, siapa sebenarnya yang bermain hingga menghindar dan menolak Papua tanah damai? Tentu yang bermain adalah mereka yang memiliki otoritas. Selain yang memiliki otoritas, apakah ada pesan sponsor? Siapa mereka? Apakah itu berhubungan dengan aspek lain seperti sumber daya alam? Ataukah lebih pada adanya praktek rasialisme?

Mestinya perundingan sudah dilakukan, sehingga tidak ada lagi korban berjatuhan. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.