Ada Ketakutan Negara, Kebebasan Berekspresi di Papua Makin Memburuk

0
810
Diskusi daring bertajuk “Kondisi dan Tren Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan Hak Digital di West Papua” yang diselenggarakan SAFEnet dan TAPOL, Selasa (16/5/2023). (Screenshot - SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Esther Haluk, aktivis perempuan dan HAM Papua, menyatakan, situasi kebebasan berekspresi di Tanah Papua semakin memburuk sejak 2019.

Ini ia kemukakan saat diskusi daring bertajuk “Kondisi dan Tren Kebebasan Berekspresi, Berkumpul, dan Hak Digital di West Papua”, Selasa (16/5/2023). Diskusi publik diadakan SAFEnet dan TAPOL.

Memburuknya situasi kebebasan berekspresi di Papua, kata Esther, setelah orang Papua melancarkan aksi protes besar-besaran terhadap kasus rasisme. Anehnya, orang Papua yang memprotes perlakuan rasisme malah ditangkap dan dipenjarakan.

Menurut Haluk, pembungkaman ruang berekspresi terhadap orang Papua yang hendak mengekspresikan pendapatnya di muka umum menunjukkan adanya ketakutan negara tentang kebenaran yang terjadi di Papua.

“Kami dipanggil monyet, tetapi kami ditangkap ketika kami protes. Kami adalah korban,” ujarnya.

ads
Baca Juga:  Generasi Penerus Masa Depan Papua Wajib Membekali Diri

Esther mengaku pernah ditangkap karena ikut terlibat dalam aksi damai Mei 2022. Setelah dibawa dan tiba di kantor polisi, ia malah ditanya tentang postingan di sosial media dan tidak menyangkut aksi damai tersebut.

“Jadi, saat itu kami dibawa ke kantor polisi bukan karena aksi damai, tetapi yang ditanya oleh polisi itu soal postingan saya. Akun FB saya dihack tiga kali karena postingan saya hanya karena mengomentari berita,” kata Esther.

Sambil heran dengan hal itu, Haluk kemudian secara tegas menyatakan kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia secara sepihak dan tidak sesuai keinginan orang Papua. Pemekaran provinsi Papua untuk membentuk provinsi baru adalah contohnya.

Baca Juga:  Usut Tuntas Oknum Aparat yang Diduga Aniaya Warga Sipil Papua

“Kebijakan yang diterapkan di Papua kami tidak terima, karena hal itu bukan untuk hidup orang Papua. Terjadi kerusakan ekologi yang bisa mengancam hidup kami, ada isu perampasan tanah. Tidak ada ruang mengekspresikan diri untuk memprotes pemerintah, militer dikerahkan secara besar-besaran untuk membatasi dan menangkap kami,” tegasnya.

Haluk menilai perlakuan Indonesia terhadap orang Papua justru menunjukkan dengan jelas orang Papua tidak dianggap sebagai bagian dari NKRI.

“Dengan melihat fakta pembungkaman ruang berekspresi di Papua ada sesuatu yang disembunyikan negara, yang menjadi ketakutan tersendiri bagi negara. Kami mau melakukan aksi damai, kenapa pemerintah menggunakan Polri dan TNI masuk kampus untuk membubarkan. Kami menggunakan hak kami, kenapa mereka menggunakan kekuatan militer dan polisi? Dari pengalaman kami orang Papua, hak kami seperti tidak ada di dalam negara Indonesia,” tutur Haluk.

Baca Juga:  Tragedi Penembakan Massa Aksi di Dekai 15 Maret 2022 Diminta Diungkap

TAPOL mencatat 21 kasus pengekangan kebebasan berekspresi di Papua sepanjang tahun 2022. Selain rakyat sipil, aktivis pro kemerdekaan adalah kelompok yang rentan mendapatkan tindakan represif dalam 21 kasus itu.

“Kelompok yang rentan terdampak diantaranya Petisi Rakyat Papua (PRP,) Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan organisasi pro Papua lainnya,” kata Ian Moore, bagian kampanye TAPOL.

Tindakan represif hingga pembubaran paksa dilakukan aparat keamanan dalam hampir semua aksi penyampaian aspirasi rakyat.

“Ada protes besar-besaran, dan polisi menghentikan protes itu,” ujarnya dalam diskusi daring. []

Artikel sebelumnyaOrang Papua Bersuara dalam Tekanan Militer yang Meningkat
Artikel berikutnyaUcapan Legislator Papua Saat Sertijab Danrem 172/PWY