PolhukamDemokrasiSurat Balasan Polresta Sorong Dinilai Diskriminatif Rasial

Surat Balasan Polresta Sorong Dinilai Diskriminatif Rasial

SORONG, SUARAPAPUA.com — Lagi-lagi, negara melalui kepolisian Polresta Sorong Kota melakukan suatu tindakan diskriminatif rasial kepada masyarakat adat Papua di wilayah Sorong Raya melalui surat balasannya.

Dalam surat itu di point G berbunyi “Aliansi Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Purba”.

Surat balasan Polresta Sorong Kota dibawa massa aksi bersamaan pamflet, Rabu (9/8/2023) saat aksi peringati Hari Masyarakat Adat Internasional. (Maria Baru – SP)

Keterangan dari Aliansi Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua, surat tersebut merupakan balasan penolakan surat pemberitahuan tentang aksi momentum kebangkitan masyarakat adat yang diperingati seluruh masyarakat di dunia setiap 9 Agustus. Masyarakat adat di Sorong Raya yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua pun menggelar aksi longmarch dari Taman DEO ke kantor Gubernur Papua Papua Barat Daya, kota Sorong, Rabu (9/8/2023).

“Dalam aksi damai ini, massa juga membawa poster berisi kritik keras kepada Polresta Sorong Kota. Pada hari Selasa (8/8/2023), kami antar surat pemberitahuan tentang kegiatan aksi kami karena ada undang-undang nomor 9 tahun 1998 tentang hak menyampaikan pendapat, sehingga masyarakat atau siapapun mau menyampaikan pendapatnya hanya memberitahukan kepada aparat penegak hukum,” kata Fransisko Mofu dari LBH Papua Pos Sorong saat berorasi di depan gedung sementara kantor Gubernur Papua Barat Daya.

Baca Juga:  Tiga Warga Sipil Disiksa, Begini Sikap Mahasiswa Puncak se-Jawa dan Bali

Lanjut Mofu, “Kemarin, dalam surat balasan, entah salah ketik atau apa, tetapi jelas di situ ditulis dengan huruf kapital, huruf besar, seharusnya “Aliansi Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua”, tetapi dibalas oleh Kapolresta adalah “Aliansi Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Purba”. Seperti ini harus dan perlu dikritisi karena menyangkut pelayanan umum kepada masyarakat asli Papua di kota Sorong.”

Baca Juga:  PAHAM Papua Desak Komnas HAM dan Pangdam XVII Investigasi Video Penganiayaan Warga Sipil Papua

Sementara itu, Eko Baru, perwakilan Forum Independent Mahasiswa Papua (FIM-Papua) menyatakan, kepolisian memperlihatkan unsur kesengajaan yang tidak dapat diselesaikan dengan permintaan maaf karena telah menghina martabat rakyat Papua yang kedua kali, di mana tahun 2019 terjadi ujaran rasisme oleh anggota TNI dengan kata “Monyet”.

“Sekarang oleh Kapolresta Sorong Kota dengan kata “Purba”. Ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan kata maaf. Itu ada unsur kesengajaan, dan jelas itu ujaran rasisme dan diskriminatif kepada masyarakat adat Papua. Kita adalah bangsa yang beradab. Jika hinaan selalu diselesaikan dengan minta maaf, maka akan terulang lagi. Kita harus sikapi ini dengan tegas, sehingga menjadi pelajaran penting bagi kinerja aparat keamanan di kota Sorong dan seluruh Papua. Karena ini bukan hal yang baru terjadi. Kasus 2019, belum menjadi pelajaran bagi negara ini melalui aparatnya,” tegas Eko.

Baca Juga:  Tragedi Penembakan Massa Aksi di Dekai 15 Maret 2022 Diminta Diungkap

Setelah aksi, aparat Kepolisian hendak melakukan permintaan maaf karena katanya itu hanya suatu human error, tetapi massa aksi menolak bernegosiasi untuk permintaan maaf dengan Polresta Sorong Kota.

Sementara itu, beredar video amatir berdurasi 41 detik memperlihatkan terduga pelaku rasisme telah diamankan pihak Polresta. Dalam video tersebut, oknum anggota polisi berinisial FA mengakui kesalahan yang dibuatnya dan bersedia dihukum.

“Saya tidak ada niat yang tidak baik untuk melakukan hal tersebut. Itu terjadi karena kelalaian. Untuk itu, saya minta maaf sebesar-besarnya dan bersedia ditindak sesuai hukum yang berlaku,” kata oknum terduga pelaku rasisme berpangkat Briptu itu. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Jurnalis Senior Ini Resmi Menjabat Komisaris PT KBI

0
Kendati sibuk dengan jabatan komisaris BUMN, dunia jurnalistik dan teater tak pernah benar-benar ia tinggalkan. Hingga kini, ia tetap berkontribusi sebagai penulis buku dan penulis artikel di berbagai platform media online.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.