JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Dewan Gereja Papua (DGP) menanggapi insiden penyergapan kantor klasis Kingmi Keneyam dan pemukulan terhadap pimpinan gereja di ibu kota kabupaten Nduga, provinsi Papua Pegunungan, pada 17 September 2023 lalu.
Pasca kejadian di Keneyam itu, DGP merilis beberapa poin penting untuk diketahui bersama.
“Selama beberapa minggu ini, kami mencari kata-kata yang tepat untuk menyatakan perasaan kami menghadapi politik pemerintah yang sudaah menetapkan gereja kami sebagai pendukung TPNPB dengan menggerebek kantor klasis Gereja Kingmi pada malam hari tanggal 17 September 2023. Pada insiden itu, para pemimpin Gereja kami dipukul,” kata Pdt. Benny Giay, moderator DGP, Rabu (11/10/2023) di kantor sinode Gereja Kingmi Papua, kota Jayapura.
Sebelum kejadian ini, seorang anggota TNI berfoto dengan moncong senjata yang diarahkan ke papan nama gereja Kingmi Nduga, tanggal 13 Juni 2023.
Dikemukakan, kekerasan di Tanah Papua tanpa akhir. DGP melihat gambaran kekerasan tersebut dalam kaitan dengan kekerasan selama ini yang tidak lepas dari beberapa faktor.
Pertama, Tanah Papua yang sumber daya alamnya melimpah diincar para pihak yang siap mengeksploitasinya.
Kedua, pihak tersebut yang alergi terhadap suara kritis di Papua yang menggunakan cara pandang benar: yang melihat dunia dari sisi kami yang maju, beradab dan maju dan pihak lain di luar sana (seperti Papua) yang lain yang bodoh, aneh, yang harus diwaspadai.
Ketiga, masalah separatisme.
Lanjut diuraikan, separatisme dan masalah lain, lantas pertanyaannya, apa saja yang mendorong dan bagaimana pemerintah yang sudah 60 tahun pemerintah memerangi separatisme?.
Pertama, apa saja pandangan para pihak? Menurut LIPI ada empat akar persoalan yang terus mendorong membakar konflik Papua: pertama adalah rasisme, kegagalan dalam membangun kesejahteraan rakyat Papua, pendidikan dan kesehatan, ekonom, perbedaan pandangan Papua dan pemerintah mengenai sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, serta kekebalan hukum para pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM.
Kedua, penjualan senjata dan amunisi yang marak 4 sampai 5 tahun terakhir, bisa lihat laporan dari Anum Siregar. Para pihak yang jual beli senjata amunisi itu dari berbagai pihak. Egianus Kogeya selama beberapa kali mengakui pihaknya membeli senjata dan amunisi dari TNI/Polri.
“Masalahnya bagi kami hari ini adalah bagaimana pemerintah kelola urus separatisme ini, apakah terus menerus membiarkan pihak garis keras atau lembaga tertentu saja atau ada dialog?,” ujarnya mempertanyakan.
Ditekankan juga mengenai posisi lima pimpinan Gereja yang pada 23 April lalu sudah menyatakan posisinya menyangkut konflik di Tanah Papua.
Kata Benny, pimpinan Gereja adalah meminta pemerintah untuk menyelesaikan konflik dengan dialog damai.
“Perdamaian tidak akan datang selama akar konflik dibiarkan. Demikian juga selama ada pihak garis keras atau siapapun perjualbelikan senjata dan amunisi ke pihak TPNPB atau OPM, selama itu juga pihak yang kritis di tanah ini akan selalu kambing hitam dari para pihak sebagaimana yang dialami Gereja Kingmi hari ini,” tuturnya. []