Tanah PapuaDomberaiKisah Haru Mama Papua Konsisten Berjualan Pinang

Kisah Haru Mama Papua Konsisten Berjualan Pinang

SORONG, SUARAPAPUA.com — Perjuangan keras tiga mama Papua memperoleh modal uang agar memulai usaha jual pinang sebagai sumber penghidupan sehari-hari di kota Sorong, Papua Barat Daya, mencerminkan tantangan yang dihadapi banyak mama-mama Papua. Kesulitan mengakses modal memang jamak dialami orang Papua, tak terkecuali mama-mama penjual pinang.

Siang itu, hujan turun lebat di kota Sorong, menyebabkan tetesan air hujan menembus pondok pinang milik mama Maria Tanoy (48).

Tubuh terasa pegal dan kaku akibat banyak aktivitas. Karenanya, saya memutuskan untuk singgah dan berbaring sejenak di gubuk pinang tersebut.

Pondok berbentuk segi empat berukuran 2×2 meter, dirancang sedemikian rupa agar berfungsi sebagai tempat berjualan pinang.

Di sekitar kaki meja, ada ruang kosong. Di situ bisa digunakan sebagai tempat duduk atau tempat istirahat sejenak.

Sambil berbaring di pondok pinang itu, saya bertanya kepada mama Tanoy tentang bagaimana cara mendapatkan modal awal untuk buka usahanya: jual pinang.

Mama Tanoy, satu dari ribuan mama Papua yang hidup tanpa suami. Entah karena panggilan Tuhan atau alasan lain. Ia telah menjalani hidup tanpa pasangan selama dua puluh tahun. Hari-hari selalu bersama tiga anak dan dua cucunya.

Anak sulung pernah kuliah di Akademi Keperawatan (Akper), namun terpaksa harus berhenti studi. Kata mama Tanoy, masalah biaya menjadi kendala utama.

Anak kedua sudah tamat SMA. Cuma belum mendapatkan pekerjaan atau kesempatan untuk melanjutkan kuliah.

Anak ketiga juga sama, telah menyelesaikan Sekolah Teknik Menengah (STM).

Mama Nanda Howay sedang berada di pondok pinangnya. (Maria Baru – Suara Papua)

Sebelum mulai berjualan pinang, mama Tanoy mencari nafkah dengan menawarkan jasa kerja sebagai pembantu rumah tangga, menjaga anak, mencuci pakaian, memasak di warung makan, dan bekerja di laundry hotel.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Sejak lima tahun lalu, ia mulai jual pinang.

Mama Tanoy mengakses modal dari salah satu koperasi. Modal awalnya Rp500.000. Ia harus tebus potongan Rp50.000 dari jumlah tersebut.

Setiap hari harus kembalikan sejumlah uang ke pemilik modal, yaitu Rp25.000 selama 24 hari. Jika ia mampu mengembalikan modal selama 24 hari, maka bisa meminjam lagi. Pendapatan dari jual pinang bervariasi, tergantung seberapa banyak pembeli.

Kadang-kadang mama Tanoy bisa menjual pinang dengan total pendapatan sekitar Rp300-500 ribu dalam sehari. Tetapi ada juga hari di mana penjualan kurang dan pendapatannya mungkin kurang dari jumlah tersebut.

“Mama hidup sendiri dengan anak-anak. Sekarang sudah 25 tahun,” kata mama Tanoy saat ditemui suarapapua.com, Senin (16/10/2023).

Sudah banyak kerja serabutan dilakukan mama Tanoy.

“Dulu saya jadi pembantu di rumah salah satu pegawai negeri di Maybrat. Mama cuci pakaian, bantu masak di warung, cuci pakaian di laundry. Sekarang jual pinang. Mama bisa kasih makan anak-anak dan urus dong pu sekolah dari hasil kerja begitu. Kitong tra kerja begitu, bagemana nasip anak-anak dan cucu-cucu ini?,” tuturnya mengisahkan.

Mama Rut Manggara (63), merintis jual pinang di Sorong sejak menikah pada tahun 1980-an.

Tuhan telah menganugerahkan dia lima anak. Juga enam cucu.

Selama bertahun-tahun seluruh keluarganya dibesarkan dari hasil jual pinang.

Pada awalnya, mama Rut beli pinang di pasar untuk jual kembali. Modalnya diperoleh dari pinjaman koperasi. Itu bermula sejak tahun 1980-an hingga saat ini.

Seiring berjalannya waktu, mama Rut tak lagi beli pinang untuk dijual seperti sebelumnya. Sekarang ia hanya beli sirih saja. Alasannya, banyak pohon pinang sudah ditanam dan tumbuh subur di sekitar rumahnya sendiri. Dari sana ia memanennya.

Baca Juga:  Parpol Harus Terbuka Tahapan Penjaringan Bakal Calon Bupati Tambrauw

Dipetik dalam jumlah cukup untuk digelar di meja jualan. Kecuali sirih dan kapur, harus dibeli.

Ketika ada kebutuhan mendesak yang memerlukan uang dalam jumlah besar, seperti biaya pendaftaran sekolah, mama Rut biasanya meminjam sejumlah uang di koperasi.

Misalnya ia pinjam uang Rp1 juta, akan ada potongan sebesar Rp100 ribu. Maka, mama hanya terima Rp900 ribu. Lalu, harus kembalikan pinjaman sebesar Rp50 ribu setiap hari selama 24 hari.

Jika nilai pinjamannya Rp2 juta, pengembalian harian akan menjadi Rp100 ribu selama periode yang sama.

Mama Rut akui sekarang banyak penjual pinang di pasar. Praktis, pendapatannya tak sebesar seperti dahulu. Pendapatan sekarang berkisar antara 200-300 ribu jika banyak pembeli.

Berbeda di hari-hari sepi pembeli. Pendapatannya bisa turun drastis hingga Rp100 ribu.

Kisahnya mencerminkan tantangan yang dihadapi para penjual pinang di tengah persaingan yang makin ketat di pasar. Meski begitu, mama Rut terus bekerja keras untuk menyokong keluarganya dengan mata pencaharian yang telah dirintis sejak puluhan tahun silam.

“Mama kalo pinjam satu juta berarti potong seratus. Mama dapat sembilan ratus. Mama setor kembali ke koperasi seratus ribu selama 24 hari. Mama pinjam 500 ribu, potongannya 50 ribu. Mama terima 450 ribu. Setiap hari kasih kembali 25 ribu. Mama pinjam modal dari koperasi sejak dulu sampe sekarang. Mama tra dapat modal dari pemerintah,” tutur Manggara.

Modal usahanya mama-mama dan kebutuhan dengan nominal besar hampir sama, dipinjam sama koperasi.

“Mama-mama penjual pinang di sini semua begitu. Mereka pinjam uang dari koperasi. Cuma kalo kebutuhan anak sekolah yang besar dan mendesak, mama-mama biasa lari ke koperasi,” jelas Rut.

Baca Juga:  Dua Calon Anggota DPD RI Ancam Pidanakan Komisioner KPU Tambrauw

Kisah nyaris sama dialami mama Selly Howay (45).

Mama Howay menghabiskan sebagian besar waktunya di pondok pinang, dari pagi hingga malam. Seluruh hari-harinya terkuras untuk menjamin adik-adik dan keponakannya dalam memenuhi kebutuhan sekolah, makan-minum, dan kebutuhan lainnya.

Mama Selly akui untuk menjalankan usaha penjualan pinang, harus terus-menerus meminjam uang dari koperasi.

Peminjaman dilakukan setiap minggu. Jumlah pinjaman yang diambil tergantung kebutuhan dan pinang yang telah terjual.

“Saya biasa pinjam uang 500 ribu sampe satu juta. Kadang juga lebih. Saya lakukan itu untuk biayai adik-adik pu sekolah dan makan minum di rumah. Itu yang bisa kita lakukan untuk bertahan hidup di kota ini,” kata Selly.

Ilustrasi buah pinang. (Ist – SP)

Beragam kisah haru dengan segala lika-liku perih tiga mama Papua mewakili perjuangan super berat kaum Eva di negeri kaya raya ini: Tanah Papua.

Kehilangan tiang kehidupan, memaksa harus bekerja ekstra keras demi anak dan cucu, kendati sulit mendapat modal usaha, pendapatan kurang, tetapi pintar kelola demi menopang kehidupan sehari-hari, sejatinya adalah gambaran nyata hingga hari ini.

Saban hari bergelut dengan jualan tiada lain hanya untuk mengatasi tantangan ekonomi. Tantangan yang harus dihadapi di tengah kian menjulangnya harga kebutuhan dasar, harga sembilan bahan pokok (sembako), juga mahalnya biaya pendidikan, dan lain sebagainya.

Di tengah semakin serba mahal, mama-mama Papua terus berjuang keras. Meski terkadang sulit modal, usaha berjualan pinang tetap ditekuni.

Suatu perjuangan mulia. Dijalaninya dengan penuh sadar. Menyadari beban berat di pundak demi menghidupi keluarganya. Juga, mendukung penuh asa generasi penerus melewati bangku pendidikan meraih impian masa depan mereka di negerinya sendiri. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai Demokrat se-Papua Tengah Jaring Bakal Calon Kepala Daerah Jelang Pilkada...

0
Grace Ludiana Boikawai, kepala Bappiluda Partai Demokrat provinsi Papua Tengah, menambahkan, informasi teknis lainnya akan disampaikan panitia dan pengurus partai Demokrat di sekretariat pendaftaran masing-masing tingkatan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.