SORONG, SUARAPAPUA.com— Puluhan massa aksi dari mahasiswa Papua yang tergabung dalam Solidaritas Tanpa Batas Papua (STBP) di kota Jayapura gelar mimbar bebas peringati hari HAM se-Dunia yang ke75 pada 10 Desember 2023 di depan Gapura Universitas Cenderawasih Abepura, Provinsi Papua pada, Senin (11/12/2023.
Dalam aksi mimbar bebas tersebut STBP menuntut agar negara Indonesia yang disebut sebagai negara yang melakukan praktek penindasan untuk segera hentikan, termasuk hentikan praktik-praktek eksploitasi dan kejahatan genosida di atas tanah Papua.
Melky Elopere, koordinator lapangan dalam aksi tersebut mengatakan mimbar bebas kali ini dilakukan melihat kondisi Papua dari tahun 1961 hingga sekarang tahun 2023. Di mana pelanggaran hak asasi Manusia terus di langgengkan pemerintahan Indonesia terhadap rakyat Papua.
“Pelanggaran baik itu hak politik orang Papua, pelanggaran HAM genosida, ekosida, dan rtnosida secara masif di laksanakan negara,” ungkapnya pernyataan resmi ke suarapapua.com Senin (11/12/2203).
Elopere menjelaskan, hak politik orang Papua untuk menentukan nasib sendiri telah terjadi pada 1 Desember 1961, tetapi Indonesia dengan nafsu kekuasaan mengeluarkan manifesto Politik untuk merebut Papua Barat pada 19 Desember 1961 melalui operasi Trikora.
“Itu fakta pelanggaran HAM bagi rakyat Papua, di mana wilayah Papua Barat dicaplok ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan itu salah satu bentuk pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara, terutama pada saat perjanjian New York Agreement untuk menyerahkan Papua Barat. Perjanjian ini tidak pernah melibatkan orang Papua,” katanya.
Sementara, Varra Iyaba, Ketua STBP mengatakan, Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) pada 1969 juga dilakukan Indonesia tidak demokratis.
Di mana katanya waktu pelaksanaan PEPERA nya terjadi tindakan pelanggaran yang penuh dengan intimidasi dan teror terhadap orang Papua.
“Ada banyak pelanggaran genosida secara massal dilaksanakan dengan berbagai operasi militer dengan tujuan menduduki Papua Barat,” ujar Varra.
Soal HAM di tanah Papua, katanya hingga saat ini masih saja terjadi pelanggaran HAM, mulai dari pelanggaran hak Sipol maupun ekosob.
“Ada banyak pelanggaran genosida secara massal dilaksanakan dengan berbagai operasi militer dengan tujuan menduduki Papua Barat. Negara Indonesia tidak hanya melakukan pembunuhan, penembakan, penyiksaan, pemenjaraan, dan penyingkiran, tetapi juga ada perampokan sumber daya alam milik masyarakat adat,” ungkap Varra.
Dengan melihat berbagai kasus pelanggaran HAM di atas tanah Papua, maka Solidaritas Tanpa Batas Papua (STBP) tegas menyatakan;
Pertama, STBP mendukung masyarakat adat Hubula Klan Suku Wio, Uelesi, dan Assolokobal menolak penempatan Kantor Gubernur Papua Pegunungan. Elit Politik hentikan perampokan tanah adat seluas 108 hektar di Wamena.
Kedua, STBP bersama suku Awyu mengutuk keras majelis hakim dan anggotanya di Pengadilan Tata Usaha Negara atau (PTUN) Jayapura yang memimpin sidang putusan penolakan gugatan masyarakat Awyu (Hendrikus Woro) terkait pencabutan izin perkebunan kelapa sawit di hutan adat mereka seluas 39.000 hektare di Boven Digoel.
Ketiga, STBP menolak dan mengutuk keras perampasan tanah adat yang terjadi di wilayah adat Nomblong oleh PT. Permata Nusa Mandiri, serta mendesak Pemerintah Kabupaten Jayapura untuk menutup perusahaan sesuai SK No.01/MENLHK/ SETJEN/KUM. 01/01/2022. Karena PT. PNM dianggap melakukan perampasan tanah data secara ilegal seluas 70 hektare pada Januari – Juni 2022.
Keempat, STBP mendesak KOMNAS HAM RI dan KOMNAS PEREMPUAN menginvestigasi kasus kekerasan seksual dan penikaman terhadap 2 ibu yang diketahui sebagai pengungsi di Dekai Yahukimo.
Kelima, STBP menolak pembangunan Bandara Antariksa di Biak yang merampas 100 hektare tanah masyarakat adat.
Keenam, STBP menolak tegas kepada intelektual Biak Numfor yang merencanakan Pemekaran Kabupaten Numfor. STBP mendukung sikap Pemuda Adat Numfor dan masyarakat Adat yang menolak paket pemekaran Kabupaten.
Ketujuh, STBP mendesak pemerintah Indonesia agar segera menutup seluruh perusahaan asing yang sedang beroperasi mengambil SDM di seluruh Tanah Papua.
Kedelapan, STBP mendesak Komisaris Tinggi HAM PBB untuk segera turun ke tanah Papua untuk investigasi persoalan pelanggaran HAM dan membuka akses bagi jurnalis internasional masuk ke tanah Papua.
Kesembilan, mendesak TNI-Polri hentikan operasi militer yang hanya menciptakan kejahatan kemanusiaan di Nduga, Maybrat, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya, Yahukimo, Yapen Waropen, dan di seluruh tanah Papua.
Kesepuluh, negara segera bertanggung jawab atas pengungsian terhadap 67 ribu warga sipil di Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Maybrat, Pegunungan Bintang, Kepulauan Yapen, Puncak Jaya di seluruh tanah Papua.
Kesebelas, STBP menuntut pemerintah Indonesia segera memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat bangsa Papua sebagai solusi demokratis.