PolhukamHAM9 Tahun Kasus Paniai Berdarah, Rekayasa Peradilan Tanpa Keadilan!

9 Tahun Kasus Paniai Berdarah, Rekayasa Peradilan Tanpa Keadilan!

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Upaya negara melakukan rekayasa penegakan hukum atas peristiwa Paniai Berdarah 8 Desember 2014 dikecam keras Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014.

Dalam siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 menyatakan setelah 9 tahun berlalu, kasus pelanggaran HAM yang menewaskan empat orang dan melukai 21 orang itu masih menggantung tanpa adanya kepastian hukum dan penghukuman bagi para pelaku, apalagi keadilan bagi korban meski telah disidangkan di Pengadilan HAM Makassar.

Dikemukakan, setelah proses persidangan sejak 21 September 2022, Majelis Hakim Pengadilan HAM Makassar menjatuhkan vonis bebas terhadap terdakwa tunggal Mayor Inf (Purn) Isak Sattu dan terdakwa dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat sebagaimana di dalam dakwaan Jaksa Agung selaku penuntut umum.

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014 terdiri dari KontraS, PBHI, Imparsial, LBH Makassar, LBH Papua, KontraS Sulawesi, dan Insersium, mengecam proses pengadilan yang akhirnya terkesan kasus Paniai 2014 tanpa pelaku dan pemberi komando hingga terjadi penembakan dan jatuh korban. Selain puluhan orang menderita luka-luka, Alpius Gobai, Alpius You, Simon Degei, dan Yulian Yeimo tewas di ujung bedil.

Lanjut Koalisi menilai pengadilan HAM atas kasus Paniai hanya sebuah rekayasa peradilan untuk membungkus formalitas penyelesaian yudisial atas kasus pelanggaran HAM Berat.

Koalisi menyatakan, “Prosesnya begitu cacat hingga melahirkan pengadilan fiktif yang hanya menyeret satu orang terdakwa. Padahal Jaksa Agung menuntut terdakwa dengan mengenakan Pasal 42 Undang-undang nomor 26 tahun 2000 berkaitan dengan pertanggungjawaban komando, namun sayangnya terdakwa yang dihadirkan hanya satu orang tanpa ada proses hukum yang bersamaan dengan aktor pelaku lainnya.”

Baca Juga:  Jokowi Didesak Pecat Aparat TNI yang Melakukan Penganiayaan Terhadap Warga Papua

Semestinya, menurut Koalisi, Jaksa Agung dalam hal ini mesti berani untuk mengungkap nama-nama yang patut dimintai pertanggungjawaban atas tindak kejahatan terhadap kemanusiaan atau sekurang-kurangnya yang telah melakukan pembiaran atas peristiwa Paniai 2014. Mulai dari komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, pelaku lapangan dan pelaku pembiaran, sebagaimana ada pada laporan penyelidikan Komnas HAM.

“Bukti lalainya negara dalam menegakan kasus Paniai juga disokong dari ketiadaan ruang partisipasi yang bermakna bagi penyintas dan keluarga korban di setiap prosesnya. Padahal para penyintas dan keluarga korban begitu proaktif dalam memberikan keterangan dan bukti untuk mendukung proses hukum sejak awal kejadian. Namun dalam persidangan, narasi yang muncul adalah narasi yang datang dari aparat dan terduga pelaku. Maka tidak heran ketika pengadilan tidak dapat menghadirkan keadilan bagi para penyintas dan keluarga korban,” urainya.

Hal tersebut kemudian diperparah dengan sikap negara yang justru semakin merendahkan martabat korban dengan tidak menyebut bahwa kasus Paniai adalah bagian dari kasus pelanggaran HAM Berat yang diakui oleh presiden Joko Widodo pada pidatonya di Istana Negara pada 11 Januari 2023 lalu.

“Sebaliknya, presiden Joko Widodo justru seakan melegitimasi kinerja buruk Jaksa Agung dengan menyinggung 4 pengadilan HAM, satu diantaranya kasus Paniai, yang kemudian membebaskan terdakwa karena kurangnya bukti.”

Baca Juga:  Freeport Setor Rp3,35 Triliun Bagian Daerah atas Keuntungan Bersih 2023

Menurut Koalisi, presiden Jokowi seharusnya mengevaluasi kinerja Jaksa Agung karena gagal menjamin kepastian pertanggungjawaban hukum terlaksana utamanya dalam mengumpulkan bukti yang cukup untuk dibuktikan dalam persidangan. Sehingga para pelaku kejahatan bertanggungjawab secara pidana dan tidak melenggang bebas.

“Sebenarnya kasus Paniai ini tengah dibawa ke tingkat kasasi, namun prosesnya mandek lantaran belum terdapat calon hakim ad hoc HAM tingkat kasasi yang kompeten dan memenuhi syarat untuk menyidangkan kasus Paniai pasca satu tahun putusan di tingkat pertama,” lanjutnya.

Dalam satu tahun terakhir, Komisi Yudisial telah melakukan proses seleksi calon hakim ad hoc HAM pada tingkat Mahkamah Agung sebanyak dua kali. Namun, pada prosesnya calon hakim tersebut gugur saat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI.

“Saat seleksi yang pertama, Komisi III DPR RI menolak ketiga calon karena minimnya pengetahuan para calon terkait hak asasi manusia dan bahkan terdapat calon yang memiliki latar belakang polisi,” kata Koalisi.

Dalam proses seleksi berikutnya, pada 23 November 2023, Komisi III menghentikan prosesnya dan menyatakan ketiga calon gugur karena terdapat calon yang terdaftar sebagai calon legislatif dalam daftar calon tetap (DCT) peserta Pemilu 2024.

Tidak lolosnya tiga calon hakim ad hoc HAM pada fit and proper test di DPR tentu memberi konsekuensi bahwa Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial harus kembali menggelar proses seleksi hakim ad hoc HAM pada Mahkamah Agung, yang kemudian juga berdampak bahwa proses pengadilan HAM Paniai tingkat kasasi harus tertahan sampai calon hakim ad hoc HAM pada tingkat Mahkamah Agung terpilih dan dikukuhkan.

Baca Juga:  Soal Pembentukan Koops Habema, Usman: Pemerintah Perlu Konsisten Pada Ucapan dan Pilihan Kebijakan

Berlarutnya proses seleksi ulang tentu akan memakan waktu dan sumber daya ekstra yang perlu dikerahkan oleh negara dalam mencari calon yang lebih memiliki kompetensi dan kualitas mumpuni untuk mengemban tugas sebagai penegak dan pengawal keadilan di tingkat kasasi.

“Jangan sampai proses ini justru dijadikan celah bagi negara untuk dengan sengaja membuat prosesnya terkatung-katung dan lari dari tanggungjawabnya untuk menghukum para pelaku. Terlebih, proses ini mandek di tengah gencarnya negara dalam melakukan kamuflase penyelesaian kasus secara non-yudisial untuk 12 kasus yang telah diakui oleh presiden Jokowi sebagai pelanggaran HAM Berat,” bebernya.

Pada momentum sembilan tahun kasus Paniai Berdarah 2014, Koalisi menyampaikan beberapa desakan kepada negara dan pihak terkait.

Pertama, Presiden RI Ir. Joko Widodo mengevaluasi kinerja dari Kejaksaan Agung.

Kedua, Kejaksaan Agung melakukan pengembangan penyidikan terkait pertanggungjawaban komando oleh Danramil, Dandim 1705/Paniai, dan komandan teritorial lainnya, serta Kepolisian yang melakukan pembiaran pada saat kejadian.

Ketiga, Komnas HAM, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) serta Kejaksaan Agung melibatkan dan memulihkan para penyintas dan keluarga korban peristiwa Paniai. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

20 Tahun Menanti, Suku Moi Siap Rebut Kursi Wali Kota Sorong

0
"Kami ingin membangun kota Sorong dalam bingkai semangat kebersamaan, sebab daerah ini multietnik dan agama. Kini saatnya kami suku Moi bertarung dalam proses pemilihan wali kota Sorong," ujar Silas Ongge Kalami.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.