ArtikelHilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Oleh: Melkior N. N. Sitokdana*
*) Akademisi Asli Papua di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah

Kebijakan Hilirisasi Industri di Indonesia

Presiden Joko Widodo dengan gagah berani mengambil kebijakan hilirisasi industri dan divestasi saham mayoritas untuk menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi terbesar di dunia pada tahun 2045. Kebijakan tersebut bukan hal mudah, sebab selama bertahun-tahun banyak pihak asing mengambil keuntungan berlipat ganda dari hasil ekspor bahan mentah.

Mengganggu keuntungan dan kenyamanan pihak asing yang notabene negara ekonomi maju pasti memiliki resiko tinggi, tetapi Presiden Joko Widodo dengan gagah berani ambil resiko tersebut untuk menyelamatkan Indonesia dari kebocoran sumber daya alam (SDA), meningkatkan pendapatan negara, meningkatkan daya saing ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan tersebut kemudian diwacanakan lagi dalam kampanye kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud untuk melanjutkan kebijakan tersebut dengan memperluas hilirisasi industri hasil pertambangan, pertanian, perkebunan, perikanan, kehutanan, dan digital.

Presiden Jokowi mulai mengambil kebijakan divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia. Sejak kontrak karya pertama tahun ,1967 mayoritas saham dimiliki oleh PT Freeport asal Amerika, sementara pemerintah Indonesia dan lebih khusus masyarakat Papua sebagai pemilik sumber daya alam tidak menerima banyak manfaat.

Sedikit keuntungan yang didapatkan negara dari hasil pajak, royalti, deviden, bea dan pembayaran lainnya dari tahun 1992-2020 sebanyak US$ IDR 21,057 miliar, kalau dikurskan ke rupiah (Rp 14.000), maka totalnya mencapai 294,798 (triliun). Setelah dilakukan divestasi saham mayoritas terjadi peningkatan pendapatan yang cukup signifikan sampai tembus 100 persen, yaitu tahun 2020 mencapai Rp 50 triliun, sampai Desember 2021 mencapi Rp 105 triliun.

Pendapatan tersebut belum termasuk dampak tidak langsung dari pembangunan smelter di Gresik yang akan memberikan dampak ekonomi dan sosial bagi negara. Presiden Jokowi berharap kapasitas smelter hasil kolaborasi PT Freeport Indonesia dan Mitsubishi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Java Integrated and Ports Estate (JIIPE) bisa memproduksi 3 juta ton pertahun.

Baca Juga:  Rasisme dan Penindasan di Papua Barat (Bagian 1)

Perut bumi Indonesia menyimpan cadangan logam nikel sekitar 72 juta ton nikel atau sekitar 52% dari total cadangan global yang mencapai 139.419.000 ton nikel. Proyek smelter yang sedang dikembangkan di Gresik ini tidak hanya sebagai investasi ekonomi, tetapi juga sebagai investasi sosial bagi masyarakat sekitar, dimana menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahwa diperkirakan akan memberikan peluang pekerjaan kepada lebih dari 11.000 orang. Tenaga kerja tersebut sekitar 98% di antaranya adalah tenaga kerja lokal Indonesia.

Hilirisasi industri tersebut jika diperluas lagi dengan pengembangan potensi kekayaan mineral lainnya, minyak bumi dan gas, perkebunan, pertanian, kehutanan, perikanan dan digitalisasi, tentunya akan memberikan dampak ekonomi dan sosial secara signifikan, sehingga cita-cita Indonesia untuk menjadi negara ekonomi terbesar di dunia akan terwujud.

Hilirisasi Untuk Memecahkan Persoalan Papua

Pertanyaan bagi pemimpin negara yang sedang mendorong hilirisasi: apakah kebijakan hilirisasi memberikan untung atau buntung (rugi) bagi Papua?. Jika kita berkaca dari pengalaman selama ini, hasil kekayaan alam dikeruk secara besar-besaran dari Tanah Papua, tetapi tidak memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat Papua, sebagaimana digambarkan dalam lirik lagu seniman Indonesia Timur, Franky Sahilatua: “Tanah kami tanah kaya, laut kami laut kaya, kami tidur di atas emas, berenang di atas minyak, tapi bukan kami punya, semua anugerah itu kami cuma berdagang buah-buah pinang, kami tak mau bersalah pada anak-anak cucu, harus ada perubahan, harus ada perubahan”.

Lirik lagu tersebut menggambarkan situasi Tanah Papua saat ini, dimana kekayaan alam sangat melimpah di luat, dalam perut bumi, di darat maupun udara, namun kekayaan tersebut hanya dinikmati oleh pihak asing dan elit-elit Jakarta. Sementara masyarakat Papua sebagai pemilik sumber daya alam diselimuti persoalan kemiskinan, kebodohan, keterisolasian, ketertinggalan, keterbelakangan, ketidakadilan dan kematian.

Data BPS tahunan menunjukkan orang asli Papua hidup dalam berbagai problematika sosial, ekonomi dan politik, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masih di bawah angka rata-rata nasional, seperti tahun 2023 di provinsi Papua mencapai 63,01, sementara Papua Barat 67,47. Angka kemiskinan ekstrem tertinggi di provinsi Papua sebesar 7,67%, sementara Papua Barat sebesar 6,43%. Indeks kebahagiaan terendah di provinsi Papua 67,52, sementara Papua Barat mencapai 71.73.

Baca Juga:  Mempersoalkan Transmigrasi di Tanah Papua

Di tengah persoalan sosial dan ekonomi menyelimuti kehidupan masyarakat Papua, berbagai perusahaan multi-nasional maupun nasional mengeruk sumber daya alam tanpa memadang hak-hak masyarakat adat, seperti PT Freeport Indonesia yang masuk eksplorasi tambang mineral di Tanah Papua sejak tahun 1967 hingga sekarang, perusahaan perkebunan kelapa sawit di provinsi Papua hingga tahun 2021 mengelola lahan l162,2 ribu hektare dan Papua Barat mencapai dan 51,8 ribu hektare, proyek Merauke Integrated Food Energy Estate (MIFEE) dengan luas lahan mencapai 1,2 juta hektare, perusahaan minyak bumi dan gas LNG Tangguh di kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat sejak tahun 1990-an hingga  2023 meningkatkan kapasitas produksi sampai 11,4 juta ton per tahun, potensi perikanan dengan infrastruktur seadanya di provinsi Papua selama 2021 mencapai 700.114 dan sebagainya.

Selama bertahun-tahun perusahaan tersebut mengambil kekayaan alam Papua dalam bentuk bahan mentah lalu kirim keluar untuk diolah kemudian diekspor kembali dalam bentuk barang jadi yang memiliki nilai jual tinggi. Cara tersebut menimbulkan banyak kerugian bagi negara secara khusus Papua selaku pemilik SDA, seperti kehilangan potensi pendapatan yang signifikan, keterbelakangan pembangunan industri mengakibatkan lapangan kerja terbatas, kapasitas fiskal daerah rendah dan pertumbuhan ekonomi rendah.

Tanpa melakukan hilirisasi SDA di Tanah Papua, selamanya Papua terjebak dalam ketergantungan pada teknologi dan pengetahuan dari barat. Selain itu, kerugian lingkungan, terutama ekspor SDA mentah seringkali tidak memperhatikan praktik pengelolaan yang berkelanjutan dan berdampak negatif pada lingkungan.

Oleh karena itu, kebijakan hilirisasi dan divestasi saham perusahaan pengelola kekayaan alam Papua harus memberikan atensi pemecahan persoalan Papua. Pengembangan pabrik smelter hasil tambang Freeport dibangun Gresik Jawa Timur adalah kebijakan yang keliru dan tidak sejalan dengan semangat Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dan tidak memecahkan persoalan sosial, ekonomi dan politik di Papua.

Baca Juga:  Adili Masalah Yang Tak Bisa Dibuktikan Hukùm Positif Dengan Peradilan Adat di Papua

Proses pembangunan di Papua selama ini kalau hanya mengandalkan program pemerintah dari anggaran dana Otonomi Khusus (Otsus) dan tambahan infrastruktur tentu tidak akan memberikan dampak signifikan seperti selama ini. Sebab selama 20 tahun Otsus (2002-2021), anggaran keseluruhan untuk Papua dan Papua Barat mencapai Rp 138,65 triliun, namun belum cukup membantu memecahkan persoalan yang ada.

Oleh karena itu, perlu ada kolaborasi dan singkronisasi dengan kebijakan hilirisasi yang sejalan dengan semangat Otsus Papua agar dapat mengangkat harkat dan martabat, memberi afirmasi, dan melindungi hak-hak dasar orang asli Papua, baik dalam bidang ekonomi, politik maupun sosial-budaya.

Hilirisasi Untuk Papua Untung

Beberapa keuntungan yang didapatkan jika hilirisasi industri hasil pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian, kehutanan dan digital semua dibangun di Tanah Papua, antara lain:

Pertama, Hilirisasi produk SDA membuka peluang bagi pemberdayaan ekonomi lokal di Papua. Dengan mengolah SDA menjadi produk jadi, masyarakat Papua dapat terlibat dalam rantai nilai ekonomi yang lebih kompleks, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan.

Kedua, Proses hilirisasi menciptakan permintaan akan berbagai keterampilan dan tenaga kerja di Papua, mulai dari petani, pengrajin, hingga tenaga ahli dalam industri pengolahan, sehingga merangsang pengembangan SDM Papua yang berkualitas tinggi sesuai kebutuhan industri.

Ketiga, Dengan meningkatnya nilai tambah melalui hilirisasi, masyarakat Papua memiliki potensi untuk mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi daripada sekadar menjual bahan mentah. Dengan demikian, terjadi kemandirian kapasitas fiskal daerah, pertumbuhan ekonomi positif dan kesejahteraan masyarakat semakin meningat.

Keempat, Hilirisasi membutuhkan infrastruktur yang memadai, seperti pabrik pengolahan, jaringan distribusi, dan sarana transportasi. Pengembangan infrastruktur ini tidak hanya mendukung proses hilirisasi itu sendiri, tetapi juga meningkatkan aksesibilitas dan konektivitas Papua dengan wilayah lain, membuka isolasi dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi yang lebih luas.

Kelima, Hilirisasi industri dapat merangsang peningkatan akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat asli Papua, yang pada gilirannya dapat meningkatkan IPM. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.