KontraS: Negara Gagal Lindungi Hak Atas Rasa Aman Perempuan di Papua

0
868
Mama Agustina Ondou (24) saat digotong dari pinggir kali Dogabu ke Puskesmas Yokatapa, Sugapa, Intan Jaya. Setelah mendapat tembakan di pinggang dan pelipis mata kanan sempat lari ke kampungnya di Jalae. Namun anggota TNI, anggota DPRD, Kepala Dinas Pariwisata, pihak gereja bersama sejumlah pemuda dan ASN gotong dan evakuasi korban ke Yotakatapa untuk mendapat perawatan medis pada 9 November 2021. (Male for SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras peristiwa penembakan yang diduga dilakukan oleh anggota TNI terhadap seorang Mama di Kampung Mamba, Intan Jaya.

Mama yang tertembak tersebut bernama Agustina Ondou (24) yang kini sedang mendapat perawatan dari pihak medis di Puskesmas akibat luka-luka tembak.

Menurut Fatia Maulidiyanti, Koordinator Badan Pekerja KontraS, melalui siaran persnya yang diterima media ini, Rabu (10/11/2021) menegaskan, peristiwa penembakan seorang Mama ini tentu merupakan implikasi lanjutan dari krisis kemanusiaan di Papua.

Fatia menjelaskan, berdasarkan keterangan dan informasi yang kami terima, penembakan terjadi ketika Mama-Mama Kampung Mamba pulang belanja dari Yokatapa. Setiba di Kampung Mamba, tepatnya di antara Kampung Amaesiga dan Gereja Tanah Katolik Putih (Mbai Bilitagipa), Mama Agustina mendapat tembakan di bagian pelipis mata bagian kanan dan pinggang sebelah kanan yang tembus ke perut.

“Kami juga melihat peristiwa ini merupakan bagian dari rangkaian operasi militer yang ilegal di Intan Jaya yang menyebabkan keselamatan warga Intan Jaya semakin terancam,” tegas Fatia.

ads

Lanjut Fatia, peristiwa tertembaknya seorang Mama tersebut menambah deretan bukti bahwa operasi militer ilegal di Intan Jaya dalam rangka pendekatan militeristik untuk menangani konflik tidak efektif dan hanya menimbulkan korban jiwa.

Baca Juga:  Dua Anak Diterjang Peluru, Satu Tewas, Satu Kritis Dalam Konflik di Intan Jaya

“Dengan adanya peristiwa penembakan warga sipil yang kerap terjadi oleh anggota TNI, maka kami melihat tidak ada political will dari pemerintah untuk menarik aparat keamanan dari Bumi Cendrawasih,” katanya.

Seperti diberitakan media ini, dalam kurun waktu 26 Oktober – 9 November 2021 saja, konflik di Intan Jaya telah menimbulkan 10 korban jiwa dengan rincian 2 orang meninggal dunia. Adapun masyarakat lainnya sedang mengungsi dari tempat tinggalnya. Hal ini semakin mempertegas bahwa negara gagal dalam menjamin hak atas rasa aman sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Dikatakan, penembakan terhadap seorang Mama seharusnya sudah cukup bagi Negara untuk menghentikan pendekatan militerisasi/sekuritisasi dalam menyelesaikan konflik di Papua. Pendekatan tersebut tidak terbukti efektif dan menyentuh akar persoalan yang ada, sebab hanya akan menimbulkan jatuhnya korban sipil selanjutnya.

“Kami melihat peristiwa penembakan ini melanggar sejumlah ketentuan HAM baik di level nasional dan internasional seperti UNCAT dan UU HAM yang menghendaki bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Selain itu, peristiwa ini juga cerminan minimnya perlindungan perempuan dari segala bentuk kekerasan. Dalam konteks kasus ini, bahkan aparat negara yang menjadi terduga pelakunya,” katanya.

Baca Juga:  Situasi Paniai Sejak Jasad Danramil Agadide Ditemukan

Selanjutnya, bukan hanya hak atas rasa aman dan bebas dari penyiksaan saja yang terus terlanggar dari keberadaan konflik di Papua. Hak atas keadilan juga terus terlanggar, sebab tidak pernah ada mekanisme hukum yang transparan dan akuntabel dalam menyelesaikan problematika serupa di masa lalu. Peristiwa semacam ini tentu akan terus berulang, karena telah mengakarnya impunitas sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku kekerasan. Selain itu, hak-hak korban untuk mendapatkan pemulihan yang layak dan efektif juga diabaikan.

Penembakan seorang Mama yang diduga dilakukan oleh anggota TNI tentu juga memperpanjang deretan buruk keterlibatan TNI dalam penyelesaian konflik di Papua. Padahal operasi yang dilakukan tanpa didasarkan oleh keputusan politik negara yang jelas dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagaimana di tentukan oleh UU TNI.

Menurut Fatia, hal ini juga kontraproduktif dengan komitmen Jenderal Andika pada saat uji kepatutan dan kelayakan di DPR pada 6 November 2021 lalu. Panglima baru terpilih tersebut berkomitmen menggunakan soft approach, bukan lagi pendekatan perang. Selain itu Jenderal Andika juga berjanji untuk mengedepankan komunikasi dalam menyelesaikan Papua.

Baca Juga:  Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

Belum satu minggu setelah ucapan tersebut dilontarkan di hadapan anggota dewan, salah satu anggota TNI malah diduga menembak seorang warga sipil yang tak bersalah.

Berdasarkan hal di atas, kami mendesak:

  • Pertama, Kepolisian dalam hal ini Polda Papua untuk mengusut tuntas kasus penembakan terhadap Mama di Intan Jaya melalui mekanisme yang adil dan akuntabel guna menghukum pelaku;
  • Kedua, LPSK untuk melakukan pemulihan terhadap hak korban penembakan;
  • Ketiga, Pemerintah setempat untuk menjamin hak atas rasa aman bagi warga sipil di Kampung Mamba, Intan Jaya, termasuk kepada para pengungsi.
  • Keempat, Presiden dan DPR RI untuk menghentikan dan mengevaluasi secara serius pendekatan penyelesaian konflik di Papua yang kental dengan kekerasan. Pendekatan sekuritisasi/militerisasi terbukti hanya menambah korban lainnya, terutama masyarakat sipil;
  • Kelima, TNI untuk menghukum terduga pelaku sesuai ketentuan hukum yang berlaku apabila terbukti melakukan penembakan terhadap warga sipil.

REDAKSI

Artikel sebelumnyaYan P. Mandenas: Stop Tembak Orang Papua
Artikel berikutnyaMengakui Bahwa Aparat Tembak Mama Agustina, Kapolres Intan Jaya Minta Maaf