PolhukamHukumKetua Poksus DPRP Minta Tindaklanjuti Enam Raperdasi dan Raperdasus

Ketua Poksus DPRP Minta Tindaklanjuti Enam Raperdasi dan Raperdasus

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) mempertanyakan nasib sejumlah draft rancangan peraturan daerah provinsi (Raperdasi) dan rancangan peraturan daerah khusus (Raperdasus) yang sudah lama diajukan ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

John NR Gobai, ketua Kelompok Khusus (Poksus) DPRP, menjelaskan, ada enam Raperdasi dan Raperdasus yang telah dibahas dan ditetapkan oleh DPRP bersama pemerintah provinsi Papua dalam kurun waktu 2018 hingga 2019 yang kemudian diserahkan ke Kemendagri untuk diverifikasi dan diklarifikasi sesuai kewenangannya.

Menurut John, waktunya cukup lama sejak sejumlah Raperdasi dan Raperdasus itu dibawa ke Kemendagri setelah disetujui DPRP bersama Pemprov Papua dalam rapat paripurna.

“Mempertanyakan nasib dari belasan Raperdasi dan Raperdasus, kami mendatangi Kemendagri di Jakarta pada hari Jumat (18/3/2022) lalu. Bersyukur, kami diterima langsung oleh Dr. Sukoco, kepala sub direktorat produk hukum daerah wilayah IV direktorat PHD Ditjen Otda Kemendagri. Dalam pertemuan konsultasi, kami mempertanyakan progresnya,” kata John.

Baca Juga:  Seorang Fotografer Asal Rusia Ditangkap Apkam di Paniai

Adapun Raperdasi dan Raperdasus yang telah diajukan ke Kemendagri itu, antara lain:

Pertama, Raperdasi tentang pertambangan rakyat di provinsi Papua.

Kedua, Raperdasi tentang perlindungan dan pengembangan nelayan masyarakat adat Papua.

Ketiga, Raperdasi tentang perlindungan dan pengembangan pangan lokal dan pedagang asli Papua.

Keempat, Raperdasi tentang perlindungan keberpihakan dan pemberdayaan buruh orang asli Papua.

Kelima, Raperdasi tentang penanganan konflik sosial di provinsi Papua.

Keenam, Raperdasus tentang Masyarakat Adat di Provinsi Papua.

Gobai mengaku sudah mendapat jawaban pada pertemuan tersebut.

“Pada saat pertemuan, kami mempertanyakan progresnya bagaimana dengan verifikasi dan klarifikasi terhadap Raperdasi dan Raperdasus itu. Hasil fasilitasinya ternyata Kemendagri sudah siapkan,” lanjutnya.

Baca Juga:  Polda Papua Diminta Evaluasi Penanganan Aksi Demo di Nabire

Sebagai pengusul sejumlah Raperdasi dan Raperdasus itu, John merasa sangat kesal dengan molornya tahapan fasilitasi verifikasi dan klarifikasi di Kemendagri.

Selain karena proses pembahasannya menggunakan uang rakyat yang termuat dalam APBD, kata John, lebih dari itu Raperdasus dan Raperdasi tersebut berdasarkan aspirasi masyarakat dan merupakan regulasi proteksi, keberpihakan dan pemberdayaan bagi orang asli Papua sebagaimana amanat Undang-undang nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus.

John berharap tidak perlu menunggu lagi untuk memprosesnya. Pemerintah provinsi dan Bapemperda DPRP disarankan untuk pro aktif dalam menindaklanjuti hasil verifikasi Raperdasi dan Raperdasus yang telah dilakukan Kemendagri.

“Kemendagri telah selesaikan dan serahkan hasil fasilitasnya, sehingga sekarang harus diharmonisasikan dan kemudian ajukan permohonan nomor registrasi ke Kemendagri untuk selanjutnya diberi penomoran oleh Biro Hukum Setda Papua dan ditandatangani langsung Gubernur Papua, kemudian diberlakukan di wilayah provinsi Papua,” harap John.

Baca Juga:  Yakobus Dumupa Nyatakan Siap Maju di Pemilihan Gubernur Papua Tengah

Selain draft Raperdasi dan Raperdasus yang disetujui pada 2018 dan 2019, dalam sidang paripurna tahun 2019 disepakati pula akan mendorong Raperdasus tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan Raperdasus tentang penyelesaian pelanggaran HAM yang diatur dengan peraturan presiden (Perpres).

Jawaban Pemprov Papua saat penutupan paripurna laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPj) Gubernur Papua tahun anggaran 2018, pembentukan KKR dan penyelesaian pelanggaran HAM akan didorong lewat Perpres agar akar masalah Papua yakni distorsi sejarah dan pelanggaran HAM dapat diselesaikan. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Diduga Dana Desa Digunakan Lobi Investasi Migas, Lembaga Adat Moi Dinilai...

0
"Tim lobi investasi migas dibentuk secara sepihak dalam pertemuan itu dan tidak melibatkan seluruh elemen masyarakat adat di wilayah adat Klabra. Dan permintaan bantuan dana tidak berdasarkan kesepakatan masyarakat dalam musyawarah bersama di setiap kampung. Maka, patut diduga bahwa dana tersebut digunakan untuk melobi pihak perusahaan," tutur Herman Yable.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.