PolhukamHAMTNI-Polri dan TPNPB OPM Jangan Korbankan Masyarakat Sipil di Intan Jaya

TNI-Polri dan TPNPB OPM Jangan Korbankan Masyarakat Sipil di Intan Jaya

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Dalam setiap konflik bersenjata antara TNI-Polri dan TPNPB OPM di Tanah Papua, termasuk belakangan terjadi di kabupaten Intan Jaya, wajib patuhi Undang-undang nomor 59 tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam seluruh Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 agar masyarakat sipil yang ada di tengah-tengah konflik bersenjata tidak korban.

Demikian dikemukakan Emanuel Gobay, direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Jumat (26/1/2024), menanggapi informasi tentang tewasnya beberapa warga sipil di distrik Sugapa, kabupaten Intan Jaya, Papua Tengah, pasca baku tembak antara TPNPB OPM Kodap VIII dengan tim Satgas Damai Cartenz pada Jumat (19/1/2024) siang.

“Perlindungan terhadap hak asasi manusia tetap berlaku dalam situasi konflik bersenjata sesuai dengan ketentuan prinsip-prinsip dalam Konvensi Jenewa tahun 1949 yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia kedalam Undang-undang nomor 59 tahun 1958. Dengan dasar itu, maka diwajibkan dalam konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan TPNPB OPM di kabupaten Intan Jaya harus dapat menyelamatkan masyarakat sipil yang hidup di daerah konflik bersenjata antara TNI-Polri dengan TPNPB OPM yang sedang berlangsung,” ujar Emanuel Gobay dalam siaran pers nomor 001/SP-LBH-Papua /I/2024 tertanggal 26 Januari 2024.

Dari data yang diperolehnya, dikabarkan, begitu konflik bersenjata di kabupaten Intan Jaya berlanjut, ratusan masyarakat sipil terpaksa mengungsi dari kampung halamannya ke beberapa tempat yang mereka yakini dari ancaman konflik bersenjata.

Baca Juga:  Kronologis Tertembaknya Dua Anak Oleh Peluru Aparat di Sugapa, Intan Jaya

“Sejauh ini jumlah masyarakat sipil yang menjadi pengungsi memang berbeda antara jumlah yang disebutkan oleh aktivis maupun TNI-Polri. Menurut salah seorang aktivis pemuda Intan Jaya, Kotor Bagau, imbas dari kontak tembak antara TPNPB OPM dan TNI/Polri yang terjadi 19-21 Januari 2023 mengakibatkan 260 warga kampung Bilogai dan Kumpalugapa  mengungsi ke pastoran Titigi dan pastoral Bilogai. Sedangkan kepala penerangan Kogabwilhan III Kolonel Czi IGN Suriastawa mengatakan bahwa jumlah pengungsi saat ini mencapai 500 orang. Menurut dia, jumlah yang mengungsi kemungkinan akan bertambah seiring maraknya aksi teror dari KKB,” bebernya.

Meski jumlah pengungsi belum dapat dipastikan, Emanuel menyebut kondisi tersebut sangat memprihatinkan bagi masyarakat sipil di kabupaten Intan Jaya.

“Terlepas dari perbedaan data jumlah tersebut, yang jelas masyarakat sipil di sana telah menjadi pengungsi akibat konflik bersenjata. Masyarakat sipil di kabupaten Intan Jaya membutuhkan penanganan yang serius oleh Palang Merah Indonesia, pemerintah pusat, pemerintah provinsi Papua Tengah dan pemerintah kabupaten Intan Jaya yang memiliki tugas untuk memenuhi kebutuan pokok para pengungsi akibat konflik bersenjata sesuai dengan ketentuan Undang-undang nomor 59 tahun 1958 dan Undang-undang nomor 1 tahun 2018 tentang Kepalangmerahan.”

Baca Juga:  PWI Pusat Awali Pra UKW, 30 Wartawan di Papua Tengah Siap Mengikuti UKW

Selain pimpinan TNI-Polri dan pimpinan TNPPB OPM wajib menerapkan prinsip-prinsip Konvensi Jenewa tahun 1949 dalam konflik bersenjata demi melindungi masyarakat sipil di kabupaten Intan Jaya, LBH Papua menyatakan, Kapolda Papua segera tuntaskan proses penyelidikan kasus penembakan Yusak Sondegau dan proses hukum pelakunya.

“Ketua Komnas HAM RI dan ketua Komnas HAM RI perwakilan Papua segera membentuk tim investigasi untuk melakukan investigasi atas kasus penembakan Yusak Sondegau,” ujarnya sesuai poin kedua desakan LBH Papua.

Lanjut ditulisnya, “PMI segera membangun posko pengungsian dan memenuhi kebutuhan pokok para pengungsi akibat konflik bersenjata sesuai Undang-undang nomor 1 tahun 2018.”

“Pemerintah pusat, pemerintah provinsi Papua Tengah dan pemerintah kabupaten Intan Jaya segera membentuk posko pengungsian dan memenuhi kebutuan pokok para pengungsi akibat konflik bersenjata sesuai Undang-undang nomor 1 tahun 2018.”

Khusus korban tewas Yusak Sondegau, LBH Papua mencatat perbedaan pernyataan Kapolda Papua Irjen Mathius D. Fakhiri dan Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen Izak Pangemanan.

Tewasnya Yusak Sondegau menurut Kapolda Papua, sedang didalami statusnya. Belum bisa simpulkan karena proses penyelidikan masih berlansung. Kata Kapolda, tindakan hukum yang dilakukan harus terukur agar tidak salah sasaran.

Baca Juga:  Panglima TNI Didesak Tangkap dan Adili Prajurit Pelaku Penyiksa Warga Sipil Papua

“Supaya diolah dengan baik supaya proses penyelidikan itu saya bisa temukan apakah betul mereka ini bagian dari kelompok yang berseberangan dengan negara atau masyarakat biasa,” kata Kapolda Papua dilansir Kompas.com.

Yusak Sondegau tewas tertembak di distrik Sugapa, Minggu (21/1/2024).

Sementara, Pangdam XVII/Cenderawasih menuding Yusak Sondegau merupakan anak buah kelompok Apen Kobogau.

“Bukan warga sipil. Yusak Sondegau adalah anggota KKB yang dipimpin oleh Apen Kobogau di dalam daftar kami itu masuk,” kata Pangemanan, dilansir  detik.com.

Perbedaan pandangan yang bertolak belakang terkait status Yusak Sondegau menurut Emanuel perlu dipastikan apakah sebagai masyarakat sipil ataukah anggota TPBPB.

“Wajib diinvestigasi oleh institusi negara yang netral seperti Komnas HAM RI agar tidak terjebak dalam kesimpulan yang bernuasa keberpihakan pada salah satu pihak yang jelas-jelas sedang terlibat dalam konflik bersenjata.”

Kontak tembak berawal setelah Satgas Damai Cartenz diserang kelompok TPNPB OPM di kampung Bilogai, distrik Sugapa, kabupaten Intan Jaya, Jumat (19/1/20234) siang. Personel jaga di pos ditembak dari ketinggian, sehingga terjadi tembakan balasan hingga berlanjut kontak tembak dan satu personel atas nama Bripda Alfandi Steve Karamoy tertembak. Korban dilarikan ke Puskesmas Sugapa untuk mendapatkan penanganan medis, namun tidak tertolong. []

Terkini

Populer Minggu Ini:

Nasionalisme Papua Tumbuh Subur di Tengah Penjajahan

0
Ternyata pendidikan dan pengajaran Pancasila, P4 dan sejarah Indonesia yang diajari oleh para guru di bangku sekolah tidak menghapus nasionalisme Papua merdeka. Justru anak-anak muda Papua ini semakin memahami jati diri mereka, identitas mereka, juga memahami dengan baik penjajahan Indonesia yang sedang terjadi di atas Tanah Papua dari tahun 1960-an.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.