ArsipSiapkah OAP Menghadapi MEA 2015?

Siapkah OAP Menghadapi MEA 2015?

Sabtu 2015-10-24 13:02:45

Klaim pemerintah bahwa Orang Asli Papua (OAP) sudah siap menghadapi MEA 2015, jauh berbeda dengan kenyataan di lapangan.

Oleh: Benyamin Lagowan*

Pada beberapa tahun silam Pemerintah Indonesia bersama sembilan negara ASEAN (Association of South East Asian Nations) lainnya telah menyepakati perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC) yang akan dimulai pada akhir 2015.

MEA disepakati para pemimpin ASEAN dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Desember 1997 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan daya saing ASEAN serta bisa menyaingi Tiongkok dan India untuk menarik investasi asing.

Pada KTT berikut yang berlangsung di Bali, 7-8 Oktober 2003, para petinggi ASEAN mendeklarasikan bahwa pembentukan MEA pada tahun 2015.

ASEAN atau Asosiasi Negara-negara Kawasan Asia Tenggara dibentuk 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand. Pendiriannya diprakarsai oleh perwakilan tiap negara di Asia Tenggara, yakni Adam Malik dari Indonesia, Tun Abdul Razak (Malaysia), S. Rajaratman (Singapura), Thanan Khoman (Thailand), dan Narciso R. Ramos dari Filipina).

Selanjutnya kelima negara lainnya bergabung secara berurutan Brunei Darussalam tanggal 7 Januari 1984, Vietnam tanggal 28 Juli 1995, Laos tanggal 23 Juli 1997, Myanmar tanggal 23 Juli 1997, dan Kamboja tanggal 16 Desember 1998.

Maksud utama pembentukan wadah serumpun Melayu ini untuk meningkatkan daya saing ASEAN dalam rangka menarik investasi asing menyaingi invasi perdagangan dan ekonomi India serta Cina di kawasan Asia.

Pembentukan pasar tunggal bernama MEA ini nantinya memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara, sehingga kompetisi akan semakin ketat.

Sedangkan tujuan dihelatnya MEA 2015 yaitu untuk meningkatkan stabilitas perekonomian di kawasan ASEAN, juga dengan dibentuknya kawasan ekonomi ASEAN 2015 ini diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah di bidang ekonomi antarnegara ASEAN dan untuk di Indonesia diharapkan tidak terjadi lagi krisis seperti tahun 1997.

Di dalam rumusannya MEA mempunyai 4 pilar yang nantinya akan diberlakukan di seluruh negara yang tergabung di dalam ASEAN, yakni: 1) pasar tunggal dan basis produksi; 2) membangun kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi; 3) membangun kawasan dengan ekonomi yang merata; dan 4) membangun kawasan dengan integrasi penuh terhadap perekonomian global.

Dari empat rumusan di atas, jika dianalisis secara satu persatu, maka akan terdeskripsi sebagai berikut:

1. Pasar Tunggal dan Basis Produksi

Pasar tunggal dimaksudkan bahwa akan ada peleburan pasar-pasar domestik semua negara anggota ASEAN menjadi satu pasar sebagaimana telah tersirat di atas. Semua negara tersebut akan didorong untuk menjadi basis-basis produksi yang handal dalam berbagai bidang.

2. Membangun Kawasan Ekonomi yang Berdaya Saing Tinggi

Pembangunan kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi ini barangkali akan dilakukan di berbagai Provinsi, Kabupaten/Kota yang memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi kawasan unggul dan berdaya saing tinggi.

Misalnya saja, DKI Jakarta, Provinsi Papua dan Papua Barat, Bali dan DIY. Daerah-daerah ini memiliki peluang karena merupakan daerah-daerah yang secara ekonomi, politik dan sosial dapat dipandang strategis. Sehingga bukan tidak mungkin Papua dapat diarahkan untuk menjadi satu kawasan untuk memenuhi tujuan ini.

3. Membangun Kawasan dengan Ekonomi Merata

Untuk kawasan jenis ini barangkali sangat tepat jika diberlakukan di Jakarta, NTT, NTB ataupun Maluku. Di sini, jika tolak ukurnya adalah di Provinsi yang penduduknya memiliki pendapatan ekonomi yang hampir merata, dapat dikatakan Jakarta salah satunya.

Namun jika kebijakan pemerataan ekonomi akan dikendalikan pemerintah dengan baik melalui pengaturan dan penempatan investor dan distribusi pemasaran MEA, maka Provinsi Papua juga bukan tidak mungkin menjadi sasaran uji coba yang ketiga ini.

4. Membangun Kawasan dengan Integrasi Penuh terhadap Perekonomian Global

Untuk wilayah integrasi penuh terhadap perekonomian global ini tentu akan dipusatkan di Jakarta sebagai ibukota Negara Indonesia. Daerah/kawasan lain yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan integral untuk kepentingan perekonomian global sudah pasti akan dipakai tanpa memikirkan dampaknya secara lebih jauh. Mungkin motto yang akan dipakai adalah demi kemajuan dan pembangunan menuju kesejahteraan bangsa.

Setelah mengurai catatan di atas, pertanyaan pokok yang terpenting untuk kita pikirkan adalah apakah kita sebagai Orang Asli Papua (OAP) sudah siap untuk menghadapi MEA tersebut?

Untuk itu, seraya mengapresiasi beberapa upaya inisiasi pemerintah Provinsi Papua dalam rangka menyiapkan masyarakat Papua guna menghadapi MEA, baik melalui pelatihan dan penambahan skill dan pengetahuan dasarnya, pentinglah kita mengungkapkan realitas keberadaan masyarakat akar rumput yang kerapkali menjadi umpan bagi kepentingan pemancing yang kotor di negeri ini.

Dengan diawali sebuah pertanyaan tentang sudah seberapa besar upaya pemerintah pusat dan daerah menjadikan rakyat Papua benar-benar sebagai land owner/tuan di atas negerinya? Atau apakah secara pendidikan dan sumber daya manusia serta ekonomi kita telah membebaskan rakyat Papua dari jurang degradasi kebodohan, angka kesakitan dan kemiskinan?

Sejak beberapa waktu lalu kita diperdengarkan suara bercorak pencitraan di media massa, bahwa OAP siap menghadapi MEA, Indonesia siap menghadapi MEA. Tetapi, kenyataannya kontras. Seberapa besar presentase masyarakat Papua yang telah siap untuk terima MEA: apakah 50%, 60%, 70% atau 80%?

Kita tidak bisa menggunakan kacamata sebelah seukuran 10 mili untuk mengatakan bahwa seluruh masyarakat atau sebagian masyarakat Papua telah siap untuk menghadapi MEA. Pukul umum Orang Asli Papua hanya karena indikator beberapa orang atau kelompok orang kaya yang berlatar belakang pengusaha, kelompok konglomerat baik bupati, DPRD, DPRP, perangkat Pemerintahan saja.

Nah, kita tidak dapat menyimpulkan OAP akan siap atau sudah siap menghadapi MEA. Ini ibarat kita mempersiapkan liang kubur bagi rakyat Papua. Mengapa demikian?

Tentu banyak sekali alasan dasar yang dapat kita ketahui bersama tentang belum siapnya masyarakat asli Papua sekarang ini, misalnya sebagai berikut:

1. Aspek Pendidikan dan Ekonomi

Kemajuan berapa persen yang diraih masyarakat Papua dalam hal kegiatan perekonomiannya? Atau seberapa besar distribusi OAP dalam dunia usaha dan ekonomi, baik ekonomi makro maupun mikro? Sudahkah mereka menjadi pelaku utamanya? Jika mereka sudah siap untuk menghadapi MEA, maka indikator apa yang dapat dipakai untuk menyatakan rakyat Papua telah siap untuk menghadapi MEA?

Kenyataan hari ini rakyat Papua masih menderita secara psikis dan fisik akibat trauma masa lalu. Ini diperparah lagi dengan adanya isu MEA. Sudahkah bangsa Indonesia mensejahterakan bangsa Melanesia? Kenyataannya, bangsa Indonesia yang besar ini terus disejahterakan oleh Papua melalui PT. Freeport yang melimpahkan triliunan rupiah per harinya bagi sang Negara Adidaya AS dan Indonesia.

Kenyataan orang asli Papua semakin miskin dan tetap dijajah hingga usaha mikro oleh para migran baik dari Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera, Maluku, NTB serta NTT. Semua lini usaha dan kegiatan perekonomian di Tanah Papua sudah dikuasai oleh mereka. Orang Papua hanya bisa berjualan pinang dan sayuran di pinggir jalan; apakah itu yang disebut OAP siap menghadapi MEA?

2. Aspek Politik, Hukum dan Demokrasi

Situasi politik dan hukum yang tak kondusif menjadi batu penghambat bagi proses persiapan dan kesiapan masyarakat Papua menuju MEA. Terlebih khusus terkait sejarah integrasi Papua dan masalah HAM masa lalu hingga kini yang terus menjadi sorotan. Hal-hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap psikologi rakyat Papua. Dampaknya adalah belum siapnya masyarakat Papua menerima segala bentuk pembangunan yang tentunya akan sangat menentukan siap tidaknya rakyat menerima MEA 2015 ini.

Hukum dan demokrasi yang tidak jelas dan tegas nampaknya akan menunjukan dampaknya sekarang, sebab pelaksanaan kekuasaan hukum yang “tajam ke bawah dan tumpul ke atas” akan membuktikan banyaknya rakyat yang belum siap akibat ulah bejat pejabat yang dipayungi hukum yang dapat dijualbelikan.

Demokrasi yang morat-marit tentu menjadi pelengkap kegagalan bangsa ini mempersiapkan rakyatnya dengan paham demokratis abal-abal untuk bersaing secara demokrasi dengan bangsa lain dalam MEA yang bakal diberlakukan akhir tahun ini atau paling lambat awal Januari 2016.

3. Aspek Kesehatan dan Budaya

Salah satu faktor yang mungkin akan berpengaruh terhadap pemberlakuan MEA adalah budaya. Budaya di Tanah Papua ibarat seorang gadis perawan yang baru tersentuh seorang kekasih. Oleh sebab itu, persoalan etnisitas dan keragaman dan keunikan budaya yang ada, akan menjadi penghambat dalam persiapan masyarakat di masa MEA.

Walaupun budaya tidak semuanya berfungsi menghambat, namun pada beberapa suku di Tanah Papua yang masih sangat kuat dengan tradisi dan budaya akan sedikit menunjukan ketidaksiapannya terhadap akses dunia luar. Misalnya masyarakat di Pegunungan Tengah Papua, seperti suku Hubula di Lembah Baliem, Jayawijaya. Selain itu, akan menunjukan sedikit goncangan.

Sedangkan pada aspek kesehatan, tentu akan menunjukan sedikit kendala karena beberapa penyakit endemik kronis dan infeksi menular mungkin dapat berpengaruhi terhadap produktivitas pribadi orang asli Papua.

Menyikapi kemungkinan terburuk bahwa OAP secara mayoritas akan menjadi penonton atas pelaksanaan MEA di tahun 2015 ini, maka beberapa pilihan di bawah ini dapat diambil:

Pertama, Pemerintah Daerah harus berperan aktif dalam menyiapkan masyarakat dan rakyat Papua akar rumput agar siap menghadapi MEA.

Kedua, Pemerintah Pusat perlu mengeluarkan atau mempertimbangkan regulasi terhadap kekhususan Papua dalam hal akses negara-negara ASEAN peserta MEA.

Ketiga, Jika butir pertama dan kedua di atas tidak dapat diwujudkan hingga free market untuk negara-negara berkembang ini terjadi, maka Pemerintah Daerah bersama seluruh rakyat Papua perlu menyiapkan cara tersendiri guna menghindari kemungkinan penyingkiran/marginalisasi rakyat Papua demi menyelamatkan Papua dari standar ASEAN di tengah keterpurukan dan penanganan krisis HAM di Papua –sebagaimana telah disoroti oleh MSG dan PIF.

*Penulis adalah Mahasiswa Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Literasi di Papua Sangat Rendah, 30 Persen Anak Belum Bisa...

0
"Pemahaman literasi yang baik adalah fondasi penting dalam pendidikan. Pendidikan yang baik dan layak adalah kunci untuk masa depan yang lebih berkualitas bagi anak-anak dan masyarakat Papua," ujar Marthen S Sambo.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.