Relokasi Suku Asmat Tidak Tabu

0
3547

Oleh : Yosef Rumaseb)*

Saya memulai tulisan ini dengan mengutip opini Pater Dr. Neles Tebay dalam media online Suara Papua Com bejudul “Menyelamatkan Anak Papua” (baca : http://www.satuharapan.com/read-detail/read/menyelamatkan-anak-anak-papua).

Opini Dr. Neles Tebay mendorong dilakukannya dialog sektoral untuk membahas pembangunan kesehatan di Papua.

Saya mendukung ide Dr. Neles Tebay dengan memberi contoh tentang program yang bisa didiskusikan dalam skopa terbatas sebagai solusi atas wabah kesehatan di Kabupaten Asmat.

Masalah Kesehatan di Papua

ads

Dr. Nelles Tebay memulai tulisannya demikian. Campak dan gizi buruk menyerang anak-anak Papua di Kabupaten Asmat, Papua. Akibatnya, sebanyak 70 anak Asmat telah meninggal dunia dan sekitar 15 ribu warga Asmat sedang menderita gizi buruk. Selain mengatasi kasus kesehatan ini, perlu dipikirkan suatu solusi jangka panjang yang dapat menyelamatkan anak-anak Papua dari berbagai macam penyakit yang mengancam kehidupannya.

Kematian anak-anak Papua dalam jumlah yang besar ini sangat memprihatinkan, tetapi bukan satu-satunya kasus kesehatan di tanah Papua. Juga bukan kasus pertama. Kasus kematian anak seperti ini  sudah banyak kali terjadi di berbagai kampung di tanah Papua, terutama di kampung-kampung yang terisolir. Dalam tahun 2017, misalnya, sebanyak 50 anak Papua meninggal di Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai, dan 35 anak Papua meninggal di kampung Yigi, Distrik Inikgal, Kabupaten Nduga. Kasus-kasus ini diketahui karena diberitakan oleh media masa.

Sebenarnya, banyak anak Papua yang meninggal dalam kesunyian, tanpa pemberitaan di media massa, di seluruh Tanah Papua.

Dialog Sektoral

Untuk menemukan solusi maka Dr. Neles mendorong dilakukan dialog sektoral yang difasilitasi pemerintah kabupaten.

Dr. Tebay menulis demikian : masalah kematian anak-anak Papua merupakan masalah kemanusiaan. Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten perlu menyadari bahwa Pemerintah sendiri tidak mampu mengatasi kasus kematian anak-anak Papua. Pemerintah Daerah Kabupaten tidak boleh memandang dirinya atau dipandang sebagai satu-satunya institusi yang bertanggungjawab atas urusan kesehatan di Tanah Papua. Pemerintah bukan merupakan satu-satunya pemangku kepentingan (stakeholder), melainkan salah satu di antara banyak pemangku kepentingan yang lain.  Maka semua pemangku  kepentingan, terutama orang Papua, perlu diberi ruang untuk berpartisipasi dalam upaya menyelamatkan anak-anak Papua.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Ruang partisipasi para pihak ini dapat diciptakan melalui dialog sektoral. Dalam dialog ini semua pemangku kepentingan diundang dan dilibatkan untuk mengurus kesehatan. Dialog sektoral diadakan bukan hanya pada saat menghadapi kasus kesehatan yang besar, melainkan dilaksanakan setiap tahun dengan menghadirkan semua pemangku kepentingan baik dari Pemda seperti dinas kesehatan, pihak swasta seperti perusahan-perusahaan yang mengekspolitasi sumber daya alam Papua, maupun dari masyarakat seperti Lembaga keagamaan, lembaga gereja, lembaga adat, tokoh perempuan, dan pemuda. Pemerintah daerah berperan sebagai fasilitator yang mengundang dan memungkinkan semua pihak dapat terlibat dalam upaya menangani masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat di antara orang Papua.

Kontra Terhadap Dialog Sektoral

Opini yang menentang dilakukannya dialog sektoral pun ada. Antara lain dikemukakan oleh Ketua Dewan Adat Papua Yan Pieter Yarangga. Kepada media, Yarangga menyampaikan bahwa dialog sektoral dengan Presiden Jokowi tidak mampu menyelesaikan malah Papua kalau tidak membahas status politik Papua yang sudah menjadi persoalan sejak tahun 1963 (baca : https://www.braind.id/dialog-sektoral-tak-menyentuh-subtansi-persoalan-papua/). Pandangan ini hampir pasti akan ditolak oleh pemerintah pusat, karena bagi pemerintah pusat status politik Papua sudah final.

Opini Ketua Dewan Adat Papua ini merefleksikan pandangan kontra terhadap dialog sektoral jika itu dilakukan di level pusat dengan Presiden Jokowi. Namun demikian, patut disadari bahwa langkah untuk menangani masalah sektoral seperti masalah penyelamatan anak Papua di sektor kesehatan, di sektor ekonomi, sektor pendidikan tidak dapat ditunda. Penundaan yang berkepanjangan akan mengorbankan masa depan orang Papua.

Oleh karena itu, pemikiran Dr. Tebay untuk mendorong dibukanya ruang partisipasi multi pemangku kepentingan per sektor pembangunan ke level Pemda (baik provinsi maupun kabupaten) adalah ide cerdas yang patut dipertimbangkan sebagai solusi.

Dialog Sektoral Kasus Asmat

Sebagai contoh, saya angkat agenda penanganan kasus kesehatan di Kabupaten Asmat, sebagaimana saya sebut pada awal tulisan ini.

Untuk mengatasi masalah kesehatan tersebut  maka Presiden Jokowi mengarahkan untuk dilakukan relokasi pemukiman Suku Asmat. Namun arahan Presiden ini ditolak oleh Gubernur Papua dan Bupati Asmat dengan alasan-alasan antropologi.

Ini menunjukkan bahwa arahan Presiden ini memiliki resiko. Program ini bukan hanya program berguna bagi msy Asmat tetapi juga akan berdampak thd reputasi Presiden di Papua, baik secara lokal, nasional maupun global. Bila sukses, rakyat sejahtera dan reputasi Presiden baik. Bila gagal, rakyat menderita dan reputasi Presiden rusak dan mungkin beliau akan memanen bukan lagi kartu kuning, tetapi kartu merah. Suatu resiko yang rentan terjadi di tahun politik sekarang. Karena itu, resiko kegagalan perlu dipetakan dan dicari solusi.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Contoh, kegagalan operasi koteka pada tahun 1970-an, yang coba dalam waktu singkat hendak mengganti koteka dengan program instan membagi-bagi baju dan celana (pakaian). Program itu di awal gagal karena menimbulkan masalah baru yaitu masalah penyakit kulit. Mereka dikasih satu pasang baju tanpa pakaian pengganti dan tanpa sabun. Pakaian dipakai hingga rusak di badan dan menimbulkan sakit kulit.

Contoh keberhasilan. Masa kecil saya di kampung Boma, hulu Sungai Mappi, Boven Digoel. Tahun 1952, missinaris bernama Ds. Droost membangun kampung itu di dataran tinggi milik suku Jair. Dia mulai dulu dengan bangun fasilitas publik (poliklinik, sekolah, gereja, ) dan rumah pegawai di bagian tengah kampung. Sesudah itu baru masyarakat adat dari beberapa suku diajak bergabung. Kampung itu awalnya tdk diatur dg baik. Perang antar suku selalu pecah pada beberapa hari sabtu, waktu mereka kembali dari dusun. Karena akses ke dusun, harus melewati pemukiman suku lain. Misionaris kemudian memisahkan suku2 (suku Jair/pemilik tanah ulayat kampung, suku auyu darat -pendatang, suku Tagiop – pendatang, suku Kombay – pendatang) ke lokasi pemukiman komunitas suku yang berbeda dan terpisah di mana mereka melingkar “mengepung” kompleks pegawai. Mereka tdk berinteraksi langsung karena dipisahkan oleh kompleks pegawai. Dan dari masing2 pemukiman, mereka punya akses yg aman ke dusun. Konfkin reda dan kampung itu berkembang pesat dan sekarang  jadi distrik di Kabupaten Boven Digoel.

Pola ini dipakai di beberapa kampung lain yg dibangun zending Gereja Reformasi seperti di kampung Kouh, Kawagit, Tiau. Di sekitarnya dataran rendah ber-rawa.

Namun demikian terdapat kemungkinan bahwa komunitas Suku Asmat sekarang sudah menjadi perkampungan yang sulit direlokasi sebagaimana disampaikan oleh Gubernur Papua dan Bupati Asmat. Kemungkinan kegagalan ini bisa dipelajari juga dari kegagalan operasi koteka tahun 1970-an.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Oleh karena itu, sebaiknya dipikirkan dsn disiapkan pula alternatif rencana kedua. Plan B. Jika relokasi sulit dilakukan karena resiko buruk lebih banyak, maka Plan B bisa ditempuh.  Sebuah contoh sedang dikerjakan Pemda Bintuni dengan BP Tangguh program penataan pemukiman (baca :  http://www.cahayapapua.com/bp-indonesia-segera-bangun-ratusan-rumah-warga-sebyar/). Masyarakat tdk direlokasi tetapi lingkungan pemukiman ditata agar lebih sehat di mana ada berbagai fasilitas publik dan sanitasi (terutama air bersih).

Kunci keberhasilan ditentukan study awal. Saran saya, study multi disiplin perlu dilakukan antara lain dg libatlan antropolog.

Hikmah dari cerita ini, suatu dialog sektoral dalam bidang pembangunan kesehatan perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan di Kabupaten Asmat.  Selain perlu konsultasi publik antara instansi terkait dengan tokoh adat dan agama, perlu pula survey utk membuat tata ruang yg baik utk cegah konflik dan jamin akses ke dusun. Alangkah baik jika pembangunan dimulai dg bangun fasilitas publik.

Dialog sektoral sebagai ruang partisipasi diperlukan untuk memastikan bahwa tidak ada unsur paksaan dalam menentukan program jangka panjang mengatasi masalah kesehatan di Kabupaten Asmat. Jika terjadi pemaksaan kehendak salah satu pihak, maka resiko kegagalan berpeluang terjadi. Demikianlah opsi relokasi, tidak tabu untuk dipertimbangkan dengan opsi lain. Untuk itulah dialog sektoral diperlukan.

Bintuni, 16 Februari 2018

 

* Penulis adalah Mantan Sekretaris Forum Solidaritas Pelajar dan Mahasiswa Irja se-Jawa bagi Amungme (1995-1996), Mantan Sekretaris Forum Komunikasi Generasi Muda Irja di Jkt (1997-1998), volunter Keadilan dan Perdamaian di Elsham sebagai kacung yang memfasilitasi dialog pimpinan lembaga berbagai agama di Papua (1996-2000), mendampingi tokoh adat muda Suku Amungme dalam proses membangun perdamaian (2000-2002), sekarang sebagai karyawan perusahaan swasta dengan fokus pada upaya membangun hubungan yang adil antara pemerintah – investor – masyarakat adat di Teluk Bintuni – Teluk Berau agar tidak ada lagi orang Papua yang dibunuh oleh para perampok SDA, tinggal di Biak.

Artikel sebelumnyaSAYA SIAP MATI UNTUK PAPUA: Revitalisasi Perjuangan Uskup Muninghoff dalam Advokasi HAM di Tanah Papua (Bagian Pertama)
Artikel berikutnyaWarga Jemaat GIDI Rayakan 55 Tahun Injil Masuk di Goyage