Inilah Kronologi Eksploitasi SDA dan Kekerasan di Wasior

0
15116
Protes di Kementerian LH terkait ekspansi perusahaan sawit besar-besaran di Tanah Papua. Deforestasi, perampasan lahan adat, displacement. Protes ini digelar di Jakarta oleh aktivis, LSM dan pegiat lingkungan. (Ist - SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Wasior Berdarah” masih segar dalam ingatan orang Papua. Ia satu dari sekian banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua yang hingga kini belum pernah diproses negara. Warga belum mendapat rasa keadilan, kini muncul kebijakan pemerintah memberikan ijin bagi investor kelapa sawit.

Ijin pelepasan kawasan hutan produksi konversi diberikan kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Menara Wasior (MW) pada 17 September 2017, sebagaimana SK Nomor 16/1/PKH/PMDH/2017. Lokasinya di daerah Kali Wosimi, Distrik Naikere dan Distrik Kuriwamesa, Kabupaten Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat.

Berbagai kasus pelanggaran HAM dan eksploitasi sumberdaya alam (SDA) kian marak di Tanah Papua. Termasuk di Wasior, eksploitasi SDA terus bertambah dengan hadirnya PT. MW.

Tahun 2001: Wasior Berdarah

Sepanjang Maret hingga Oktober 2001, terjadi serangkaian aksi protes warga terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan pembalakan kayu yang beroperasi di daerah ini, seperti PT. Wapoga Mutiara Timber (WMT), PT. Dharma Mukti Persada (DMP, anak perusahaan Kayu Lapis Indonesia), CV. VPP (Vatika Papuana Perkasa), dikarenakan perusahaan tersebut tidak memenuhi kewajiban dan janji-janji pembangunan terhadap masyarakat adat setempat.

ads

Selanjutanya, aksi protes berlangsung secara keras. Aparat keamanan dari Polri (Brimob) terlibat mengamankan bisnis perusahaan dan terjadi ketegangan hingga aksi kekerasan.

Pada Juni 2001, Polda Papua didukung oleh Kodam XVII/Trikora melakukan operasi penyisiran “Operasi Tuntas Matoa”. Operasi pengejaran dan penyisiran secara besar-besaran pelaku pembunuhan di desa-desa sekitar tempat kejadian dan hingga ke daerah Nabire dan Serui. Ada banyak warga kampung yang tidak tahu menahu permasalahan, turut ditangkap tanpa surat penahanan, dianiaya, ditahan dan ditembak.

Tidak hanya itu. Sebanyak 51 rumah-rumah penduduk dibakar dengan harta bendanya di delapan lokasi berbeda, yakni Wasior Kota, Kampung Wondamawi, Wondiboi, Senderaboi, Sanoba dan Ambumi, serta Yopenggar dan Sanoba di Kabupaten Nabire. Kemudian, hasil kebun dan ternak peliharaan dimusnahkan.

Menurut laporan Tim Kemanusiaan Kasus Wasior 2001, diketahui ada 94 orang penduduk sipil tidak bersalah ditangkap, disiksa ringan dan berat, bahkan menderita cacat seumur hidup, serta terjadi pengungsian massal.

Baca Juga:  Para-para Papua Bercerita: Penyelesaian Tragedi Pelanggaran HAM Diskriminatif

Berdasarkan hasil penyidikan Tim Pengkajian Permasalahan HAM di Papua (Desember 2003 – Juli 2004) dari Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia) disampaikan selama proses pengejaran terhadap pihak yang diduga pelaku telah terjadi tindak pembunuhan, penyiksaan termasuk penyiksaan yang mengakibatkan kematian, penghilangan orang secara paksa dan perkosaan di sejumlah lokasi. Tercatat empat orang meninggal, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa.

Berkas perkara ini terakhir diserahkan Komnas HAM ke Kejaksaan Agung pada Juli 2014, setelah beberapa kali dikembalikan oleh Kejaksaan Agung (Juli 2013, Juni 2014) diserahkan kembali oleh Komnas HAM (September 2004, Desember 2004, September 2013, 17 Juli 2014).

Pada awal Mei 2017 di Jenewa, Swiss, Pemerintah RI –diwakili oleh Menteri Luar Negeri Ibu Retno Marsudi– di hadapan Dewan HAM PBB saat Indonesia menjalani sidang Universal Periodic Review (UPR), mengungkapkan komitmen Pemerintah RI untuk menuntaskan pengadilan HAM dibawah UU Nomor 26 Tahun 2000. Tetapi, hingga kini kita belum mendapatkan bukti bahwa proses persidangan akan digelar.

Tahun 2009: Konsesi Baru dan Kekerasan Berlanjut

Ditengah ketidakjelasan penyelesaian pelanggaran HAM “Wasior Berdarah”, Menteri Kehutanan mengabulkan dan memberikan ijin usaha pembalakan kayu kepada perusahaan PT. Kurnia Tama Sejahtera (KTS, perusahaan milik Arta Graha Group) berdasarkan SK Nomor 648/Menhut/II/2009, yang lokasinya berada di eks lokasi konsesi PT. DMP, dengan luas 115.800 hektar.

Pemerintah dan perusahaan tidak pernah berkonsultasi dan meminta restu masyarakat adat setempat, sebelum mendapatkan ijin pembalakan kayu. Perusahaan menawarkan pemberian uang kompensasi dan janji pembangunan. Masyarakat adat Mairasi, Miere, Torowa dan Wandamen, tidak pernah memberikan keputusan bebas dan menolak, karena masih trauma dengan peristiwa masa lalu (Wasior Berdarah).

Pada Januari 2013, peristiwa kekerasan berulang, tiga warga Kampung Sararti dan Ambumi, dipukul dan disiksa petugas anggota TNI AD Yonif 753 Sorong di lokasi logpond perusahaan PT. KTS di Ambumi dan di basecamp perusahaan KM48.

Pada Februari 2013, tokoh-tokoh masyarakat adat dari Kampung Sararti, Wosimo, Inyora, Undurara, Oyaa dan Yawore, Distrik Naikere, membuat surat pernyataan yang memuat sikap penolakan masyarakat adat terhadap aktivitas PT. KTS.

Baca Juga:  WALHI Papua Ajak Masyarakat Papua Pilih Pemimpin yang Pro Lingkungan

Tahun 2013: Wijaya Sentosa dan Utang Belum Terbayar

Tahun 2013, Menteri Kehutanan kembali memberikan ijin usaha pembalakan kayu kepada perusahaan PT. Wijaya Sentosa (WS, anak perusahaan Sinar Wijaya Group), berdasarkan Nomor SK Nomor 33/Menhut-II/2013, tertanggal 15 Januari 2013, berlokasi di Distrik Kuri Wamesa hingga Distrik Nikiwar, Kabupaten Teluk Wondama. Berbatasan dengan areal perusahaan PT. KTS.

Sebelumnya, areal konsesi PT. WS adalah milik PT. WMT yang tidak aktif semenjak peristiwa Wasior Berdarah. Banyak hutang masa lalu yang belum dibayarkan oleh PT. WMT, termasuk hutang atas kompensasi kayu-kayu komersial yang telah roboh ke tanah, hutang dan janji pembangunan yang belum lunas dipenuhi.

Masyarakat Suku Dusner, Kuri dan Wamesa, yang memiliki areal konsesi dan berdiam di kawasan ini juga tidak mampu menolak kehadiran PT. WS. Aparat TNI dan Brimob mengawal seluruh aktivitas perusahaan sejak meminta persetujuan Rencana Kerja Tahunan hingga pengangkutan kayu di logpond.

Perusahaan bekerja tanpa peduli dengan suara masyarakat. Hutan keramat dibongkar, kayu-kayu komersial sepanjang sungai dan tepi pantai ditebang, sungai penuh lumpur tak ada jalan air dan dusun sagu mati. Meskipun demikian, perusahaan tetap mendapatkan penghargaan sertifikat hijau.

Tahun 2017: Ancaman Deforestasi Kebun Kelapa Sawit

Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, menerbitkan izin prinsip pelepasan kawasan hutan untuk usaha perkebunan kelapa sawit kepada PT. Menara Wasior (MW, masih berhubungan dengan Salim Group) di daerah dataran sepanjang Kali Wosimi, Kampung Ambumi, Distrik Kuriwamesa, seluas 32.170 hektar. Arealnya berbatasan dengan konsesi perusahaan pembalakan kayu PT. KTS.

Tahun 2017, pemerintah menerbitkan surat pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit PT. MW melalui SK Nomor 16/1/PKH/PMDH/2017, tertanggal 20 September 2017.

Beberapa kali perusahaan dan pemerintah melakukan sosialisasi rencana dan konsultasi AMDAL, tapi masyarakat menolak dan tidak menghadiri pertemuan tersebut.

Baca Juga:  Masyarakat Adat Papua Selatan Serahkan Aspirasi Penolakan PSN Kepada Komisi II DPD RI

Tahun 2015, Yayasan PUSAKA mengirimkan surat protes kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk menghentikan proses pemberian ijin pelepasan kawasan hutan kepada PT.

MW karena tuntutan dan penolakan warga, lantaran kehadiran perusahaan tidak sepatutnya sebelum menyelesaikan permasalahan masa lalu, pelanggaran HAM dan berbagai peristiwa yang terjadi di daerah ini. Pemerintah tidak menanggapi dan tidak konsisten dengan komitmen atas ‘moratorium perkebunan kelapa sawit’.

Kawasan hutan alam di sekitar Kali Wosimi terancam adanya deforestasi. Masyarakat setempat Suku Wondamen akan terkena dampak langsung dari rencana ini. Hutan adat, tempat keramat dan dusun-dusun pusaka milik masyarakat setempat, seperti Sanebuh, Iwagasi, Koine, terancam hilang. Tempat-tempat sumber mata pencaharian akan tergusur dan masyarakat akan kehilangan sumber pangan dan sumber pendapatan.

Selain perusahaan kelapa sawit, ancaman juga berasal dari rencana kegiatan pertambangan emas di daerah tersebut.

Tahun 2014, pemerintah daerah Kabupaten Teluk Wondama memberikan ijin eksplorasi kepada PT. Abisha Bumi Persada berdasarkan ijin Nomor 543/06A/BUP-TW/2014, berlokasi di Distrik Kuriwamesa, Rasiei dan Naikere, seluas 23.324 ha.

Kini perusahaan sedang melakukan konsultasi analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).

Salim Group di Papua

PT. MW diduga masih berhubungan dengan bisnis dan kepemilikan perusahaan raksasa Salim Group, milik pengusaha kaya keluarga Sudono Salim (Liem Sioe Liong). Pada era pemerintahan Soeharto, Sudono Salim terkenal salah satu kroni Soeharto dan mempunyai bisnis pembalakan kayu di Papua melalui PT. Hanurata.

Di Papua, bisnis perkebunan kelapa sawit yang terkait dengan Salim Group adalah PT. Rimbun Sawit Papua (RSP, 2014) berlokasi di daerah Bomberay dan Tomage, Kabupaten Fakfak, seluas 10.102 hektar; PT. Subur Karunia Raya (SKR, 2014) berlokasi di daerah Maskona, Kabupaten Teluk Bintuni, seluas 38.770 ha; dan PT. Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP, 2014) berlokasi di daerah Kebar, Kabupaten Tambrauw, seluas 19.369 ha.

Keberadaan dan aktivitas perusahaan Salim Group menuai protes penolakan. Di Tambrauw, warga protes karena ijin dan komoditi PT. BAPP yang tidak sesuai dan mengancam lingkungan setempat.

REDAKSI

Artikel sebelumnyaKirim Surat Protes ke Presiden dan Menteri Untuk Tolak PT. MW Masuk Teluk Wondama
Artikel berikutnyaTolikara Siap Menjadi Tuan Rumah Cabor Paralayang Pada PON 2020