Perjalanan Benny Wenda: Rekayasa Serangan dan Penjara Abepura (Bagian 2)

0
3511

Oleh: Ibrahim Peyon)*

Rekayasa Serangan dan Penjara Abepura

Dalam periode ini adalah kebangkitan bangsa Papua melalui Dewan Adat Papua dan Presidium Dewan Papua. Dengan agenda perjuangan Papua secara damai dengan Jakarta melalui dialog. Pada saat yang sama Gubernur J.P. Solossa dan Franz Wospakrik Rektor Uncen mendorong agenda Otonomi Khusus Papua sebagai win-win solution. Pada saat yang sama, sebagian besar anggota Panel dan PDP ditangkap dan dijebloskan ke penjara, lain dibunuh, lain menyerah kepada Indonesia dan menjadi tokoh merah putih seperti Franzalbert Yoku dan Nicolash Messet. Theys Eluay diculik dan dibunuh kemudian jenazahnya dibuang di daerah Koya Timur. Tujuan militer Indonesia buang jenazah di daerah perbatasan ini adalah untuk menciptakan konflik horizontal, antara manusia Koteka dengan saudara-saudara mereka dari pesisir khususnya masyarakat Mamta.

Karena waktu itu Benny Wenda dan masyarakat Koteka dalam organisasi DeMMAK secara tegas menolak Otonomi Khusus dan agenda dialog dengan Jakarta. Jenderal Matias Wenda dan TPN-OPM juga sudah menolak kedua agenda itu. Melihat sikap itu militer Indonesia buang jenazah Theys Eluay di daerah perbatasan untuk menciptakan konflik horizontal. Militer Indonesia juga membangun isu di berbagai media di Jayapura bahwa penculikan dilakukan oleh Jenderal Matias di daerah perbatasan. Karena dia tidak setujuh dengan kedua agenda tersebut.

Tetapi, propaganda itu sudah dibantah Jenderal Matias Wenda dan para pemimpin Papua juga telah mengelola masalah itu dengan baik. Maka rencana militer untuk menciptakan konflik horizontal tidak terwujud. Benny Wenda dan masyarakat Koteka dalam organisasi DeMMAK tetap berdiri, konsisten dan tegas sikap politik mereka. Referendum dan Kemerdekaan adalah keputusan akhir, tidak bisa tawar menawar dengan alasan apa pun.

ads

Melihat sikap politik ini militer Indonesia mengatur strategi baru untuk membunuh Benny Wenda sebagai pemimpin masa depan bangsa Papua. Militer Indonesia kemudian merekayasa penyerangan di kantor Polsek Abepura dan menewaskan seorang polisi serta membakar beberapa ruko di lingkaran Abepura. Skenario dalam peristiwa ini pun jelas bahwa untuk menciptakan konflik horizontal antara orang Koteka dengan orang Sentani, di mana polisi Eba dari etnik Sentani dibunuh. Di media massa mereka bangun isu bahwa penyerangan itu dilakukan oleh orang Koteka dan dituduh Benny Wenda sebagai otaknya.

Tetapi, polisi dan militer sendiri tidak berhasil menangkap para pelaku dan tidak mampu buktikan tuduhan itu. Seperti biasa, mereka membangun isu ini di media massa tanpa bukti dan dasar yang kuat. Suatu rekayasa murahan untuk menjustifikasi pembunuhan terhadap orang-orang Papua sudah ditargetkan. Benny Wenda sendiri tidak berada di Jayapura ketika peristiwa itu terjadi. Target Indonesia dalam rekayasa penyerangan itu adalah memusnahkan manusia Koteka di daerah Jayapura dan sekitarnya. Hal itu terbukti, di mana militer Indonesia serang asrama mahasiswa Nduga, asrama Waropen, pemukiman masyarakat Kobakma dan pemukiman orang-orang Yali di Skailand, di mana Elkius Suhuniap ditembak mati dan 100 orang lain ditangkap. Tiga orang lain disiksa dan dibunuh dua hari berikutnya. Tujuan rekayasa ini jelas sebagai reaksi atas kebangkitan masyarakat Koteka waktu itu dan hal itu terbukti dengan serangan militer tersebut.

Di sini target utama mereka jelas menjerat dan membunuh Benny Wenda, karena dianggap sebagai pemimpin potensial. Dia mempunyai pengaruh untuk mengorganisir dan memobilisasi masyarakatnya. Benny Wenda kemudian ditangkap di Jayapura dan dimasukan di penjara tanpa proses hukum dan dia diancam 25 tahun penjara. Selama di penjara, polisi dan militer mencoba tiga kali untuk membunuh Benny Wenda. Dia mulai diadili di pengadilan 24 September 2002. Di pengadilan militer dan polisi mengajukan saksi-saksi palsu untuk menjerat Benny Wenda, tetapi mereka tidak bisa buktikan tuntutan mereka. Hakim dalam pengadilan mengatakan bahwa Benny tidak bisa dipenjarakan karena tidak ada bukti hukum dan demi hukum harus dibebaskan. Tetapi, polisi berusaha keras mencari berbagai macam alasan. Salah satu isu yang dibangun ialah Benny memiliki dua paspor, Indonesia dan Papua New Guinea.

Pada saat itu selain pengacara dari Indonesia, Jenifer Robinson juga hadir sebagai pengacara Benny di pengadilan. Para pengacara menilai Indonesia tidak bisa buktikan dasar dan bukti-bukti hukum yang dituduhkan dan Benny ditahan dengan motivasi polisi secara murni. Pada 27 Oktober 2002, Benny berhasil keluar dan melarikan diri dari penjara Abepura. Dia melintasi perbatasan dan menyeberang ke Papua New Guinea dan kemudian mendapat suaka politik di Inggris.

Rekayasa macam ini adalah sifat dasar dan karakter pemerintah Indonesia yang diterapkan terhadap rakyat Papua selama ini. Hukum dapat dijadikan sebagai alat kekuasaan, penindasan dan bisnis, dan pemerintah dengan anjing-anjing penjaganya memandang diri mereka sebagai hukum itu sendiri. Indonesia adalah sebuah negara boneka yang tidak memiliki hukum dan keadilan. Kami berada di sebuah negara boneka, di mana yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Maria dan enam Prajurit Muda

Selama Benny di penjara, Maria dan bayi Koteka terlantar nasib mereka. Mereka bersembunyi satu tempat ke tempat lain. Ketika Benny melarikan diri dari penjara, posisi Maria dan bayi Koteka benar-benar terancam dan tidak aman. Mereka berkali-kali diteror dan menjadi target pembunuhan. Keluarga yang dulu terima mereka merasa tidak aman dan berkeberatan untuk tinggal lama di rumah itu. Mereka kemudian diselamatkan oleh Alpius Meaga, seorang mahasiswa dan kini dia tinggal di Australia. Dia memberikan rumah kostnya untuk mereka tinggal. Beberapa hari kemudian mereka melintasi perbatasan dan tiba di Papua New Guinea dan pada 2003 mereka berkumpul kembali dengan Benny di Inggris.

Di Inggris, Benny Wenda dan keluarganya telah menjadikan perjuangan kemerdekaan Papua sebagai hidup mereka sendiri. Mereka mengabdikan diri seluruh hidup mereka untuk perjuangan dan sebagai kebutuhan dalam rumah tangga mereka sendiri. Hal ini digambarkan keterlibatan Maria Wenda dan anak-anak mereka dalam berbagai kegiatan. Karena itu, enam anak mereka saya sebut di sini sebagai prajurit muda. Karena mereka tampil sebagai prajurit muda dalam membangun kesadaran dan diplomasi internasional.

Maria Wenda hadir sebagai spirit, istri dan mama untuk Benny Wenda dan anak-anak mereka. Dia tidak meninggalkan suaminya jalan sendiri, tetapi selalu hadir mendampingi Benny sebagai istri dan teman perjuangan. Maria juga tidak hanya sekedar sebagai istri dan ibu rumah tangga, tetapi dia adalah spirit untuk Benny, aktivis, pejuang dan simbol perjuangan perempuan Papua di fora internasional.

Maria hadir sebagai orator, pemusik, penyanyi, dan pembicara dalam berbagai aktivitas. Melalui berbagai aktivitas itu secara simbolik Maria mengatakan kepada pihak lain bahwa istri tidak hanya menjalankan fungsi utama dalam rumah tangga, tetapi istri harus tampil mendampingi, mendukung dan melaksanakan agenda perjuangan bangsa Papua bersama suami. Istri tidak bisa menjadi penonton dan membiarkan suaminya berjuang sendiri.

Maria benar-benar menerapkan budaya orang Lanni, Balim dan Yali. Di mana istri dari seorang pemimpin seluruh hidupnya terlibat dalam pejuangan untuk mendukung suaminya. Dalam budaya kami disebutkan bahwa seorang istri seluruh hidup dan jiwanya telah menjadi kesatuan dari suami. Mereka menjadi ibu dan mama untuk masyarakat dalam suatu kampung atau wilayah konfederasi yang menjadi daerah kekuasaan para suami mereka. Dari konteks ini, Benny dan Maria Wenda adalah bentuk dari spirit kebudayaan itu.

Mereka tidak berdiri sendiri, tetapi selalu melibatkan anak-anak mereka dalam perjuangan. Enam anak mereka terlibat langsung sebagai orator, penyanyi, pemain musik dan aktivis dalam berbagai kegiatan itu. Mereka telah menjadi contoh keterlibatan anak-anak dalam perjuangan kemerdekaan Papua saat ini.

Berdasarkan data yang saya miliki dalam sejarah perjuangan Papua, tidak pernah melibatkan anak-anak dalam perjuangan Papua merdeka sampai awal tahun 2000-an dan menurut hemat saya keterlibatan Koteka Wenda dan lima adiknya dalam FWPC adalah peristiwa pertama dalam sejarah perjuangan Papua, demikian juga dengan anak-anak Oridek Ap di Belanda.

Keterlibatan Koteka Wenda ini membangun kesadaran di kalangan aktivis muda Papua dan saat ini banyak anak Papua menjadi bagian dari perjuangan ini. Saya masih ingat, tahun 2005-2010 itu sering kami mengambil foto-foto dan video aktivitas FWPC dari internet, berkumpul dan menonton bersama di rumah-rumah, asrama dan tempat-tempat perkumpulan lain secara khusus di kalangan mahasiswa Koteka. Ketika mereka menonton perjuangan Koteka Wenda, orang-orang muda dari pegunungan itu selalu sedih dan menetaskan air mata. Mereka selalu mengatakan, kenapa kami para pemuda dan orang dewasa ini tinggal diam saja dan menjadi penonton? Sedangkan anak kami Koteka Wenda sudah berjuang di sana seperti ini?

Di rumah saya selalu lakukan kegiatan seperti ini untuk mempersiapkan dan membangun kesadaran adik-adik mahasiswa khusus dari pegunungan. Akhirnya, tiga orang militer sewa di tiga rumah lain di dekat saya dan mereka selalu mengawasi kami. Beberapa kali mereka teror saya dan satu orang dari Maluku merusak laptop saya. Dia masuk lewat pintu belakang dan siram air pada laptop itu. Laptop ini kami gunakan khusus untuk menonton film dari perjuangan Benny Wenda dan keluarganya. Melalui aktivitas Koteka Wenda dan adik-adiknya itu telah membangkitkan kesadaran dan solidaritas orang-orang muda secara khusus dari pegunungan dan Papua secara umum.

Aktivitas Koteka Wenda dan adik-adiknya ini telah menembus struktur kesadaran dan mentalitas kebudayaan kami. Di mana dalam budaya, keterlibatan perempuan dan anak-anak merupakan makna simbolik untuk membangkitkan solidaritas dan membangun basis perjuangan bersama. Dalam konteks ini muncul dengan nawim, nandugi dan nawene, adalah masalah ku dan masalah kami. Dengan dasar itu dilakukan mobilisasi dalam berbagai aktivitas. Bentuk budaya itu telah ditransformasi dalam perjuangan anak-anak muda selama ini di seluruh Tanah Papua.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Free West Papua Campaign   

Setelah diterima status pengungsi suaka politik di Inggris, Benny mulai berkampanye berkeliling untuk hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua Barat. Dia telah membangun hubungan dengan berbagai pihak termasuk para politikus terkemuka di negara itu. Benny kemudian meluncurkan Free West Papua Campaign (FWPC) di Inggris. FWPC berdiri untuk pertama kali dalam sejarah Papua dengan nama dan visi yang difokuskan pada kampanye kemerdekaan Papua. Di mana Benny Wenda sendiri ketua organisasi ini dan Richard Samuelson sebagai wakil.

FWPC sebagai basis utama perjuangan dan kampanye Benny di Kerajaan Inggris. Melalui organisasi ini Benny dan Richard kampanye keliling di seluruh Inggris untuk membangun kesadaran mengenasi situasi kejahatan dan genocide di Papua Barat. Mereka berkampanye di berbagai lembaga, sekolah, universitas, partai politik dan kelompok-kelompok diaspora lain seperti Diaspora Afrika. Untuk Benny dan Samuelson kampanye Papua merdeka adalah hidup dan diri mereka sendiri. FWPC kemudian mendapat dukungan lebih luas dan hasilnya telah diluncurkan cabang FWPC lebih dari 15 negara di seluruh dunia.

Melalui organisasi itu telah bersatu kembali dengan Oridek Ap dan aktivis-aktivis muda lain mempunyai spirit ini di Belanda dan diluncurkan cabang FWPC untuk Belanda. Persatuan ini telah menjadi spirit dan amunisi tersendiri dalam misi membangun kesadaran di dunia internasional. Mereka melakukan kampanye dengan berbagai kegiatan seperti demonstrasi, diskusi, seminar, mengikuti festival, menyanyi, menghadiri pertemuan-pertemuan resmi, pameran, menyiarkan di radio dan sebagainya. Lembaga ini kemudian mendapat dukungan dari lembaga-lembaga gereja, hak asasi manusia, anggota parlemen, akademisi dan sebagainya.

FWPC adalah basis yang paling penting dan signifikan dalam sejarah perjuangan Papua, dan menunjukkan kepada pihak lain cara untuk mobilisasi dan membangun kesadaran di fora internasional. FWPC kemudian melahirkan All Party Parliamentary Group for West Papua.

All Party Parliamentary Group for West Papua

Kampanye Benny Wenda melalui FWPC ini kemudian telah mendapat dukungan signifikan oleh beberapa anggota Parlemen dari Kerajaan Inggris. Salah satu hasil yang paling penting dari itu adalah dibentuknya All Party Parliamentary Group for West Papua (APPGWP) di Parlemen Inggris (House of Commons dan House of Lords).

Terbentuknya lembaga ini satu babak baru dalam sejarah perjuangan Papua dan lembaga ini diketuai oleh Tuan Andrew Smith MP. Tuan Andrew Smith adalah anggota parlemen senior dari partai Buruh dan bekas Anggota Kabinet Inggris Tony Blair. Kelompok ini sesuai dengan namanya gabungan dari anggota-anggota parlemen yang berasal dari berbagai partai dalam parlemen Inggris seperti Partai Buruh (Labour party), Partai Konservatif (Conservative party), Partai Demokrat Liberal (Liberal Democrats party) dan lain-lain.

FWPC dan APPGWP terus mengembangkan jaringan melalui berbagai struktur organisasi baik dalam partai politik maupun lintas anggota parlemen dalam berbagai tingkat. Di tingkat pemerintah kota dukungan itu diwujudkan pada 1 Desember 2005, untuk pertama kali secara resmi mengibarkan Bendera Nasional Papua “Bintang Kejora” di gedung Wali kota Oxford, Inggris, dan berlanjut secara teratur.

Pada 1 Desember 2006 kedua organisasi ini kibarkan bendera Nasional Papua di Oxford bersama dengan bendera Kerajaan Inggris, kelompok solidaritas Timor-Leste ikut mendukung dalam kegiatan ini. Bulan Januari 2007 terjadi suatu debat hangat di Parlemen (House of Lords) Inggris. Kegiatan ini diprakarsai oleh Lord Harries, bekas Uskup Oxford dan beberapa anggota parlemen dari APPGWP.

Lord Harries dalam pidatonya meminta pemerintah Kerajaan Inggris sudah saatnya mendukung hak untuk pengakuan menentukan nasib sendiri rakyat Papua Barat. Harries kemudian diikuti empat pendukung kuat Papua lainnya di House of Lords Inggris. Diantaranya adalah; Lord Griffiths dari Burry Point seorang Methodis Pendeta yang berpengaruh. Lord Archer dari Sandwell pengacara senior dan mantan Jaksa (1974-1979) dalam pemerintah Buruh. Lord Judd dari Portsea mantan anggota kabinet (1977-1979). Lord Avebury anggota tim demokrasi liberal urusan luar negeri yang menarik perhatian masalah resolusi konflik dan hak asasi manusia khususnya Aceh dan Papua. Kemudian dilakukan debat di Parlemen secara teratur.

Kini Benny Wenda tidak hanya berbicara di luar gedung parlemen, tetapi suara itu sudah menembus dalam gedung dan dibicarakan dalam sidang-sidang resmi.

APPCWP menjadi basis yang kuat untuk membentuk jaringan dan struktur politik lebih luas baik dalam parlemen Inggris maupun lintas negara. Kemudian melahirkan International Parlementarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua. Dua tahun lalu pemimpin Partai Buruh menyatakan dukungan atas kemerdekaan dan sikap dukungan ini melahirkan reaksi keras di Indonesia.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

International Parlementarians for West Papua  

FWPC dan APPGWP kemudian menginisiasi untuk membentuk dua organisasi penting dalam sejarah perjuangan Bangsa Papua. Dua organisasi itu adalah International Parlementarians for West Papua (IPWP) dan International Lawyers for West Papua (ILWP).

Peluncuran IPWP adalah usaha keras dan tanpa mengenal lelah dilakukan Tuan Benny Wenda dimulai tahun 2002 di Kerajaan Inggris. Berbagai kerja keras Tuan Benny Wenda tersebut selalu menjadi sumber inspirasi generasi muda Papua Barat dewasa ini yang mana gerakan perjuangan mereka semakin mantap dan terarah. Momentum itu jatuh pada 15 Oktober 2008 pukul 15:00 – 16:30 waktu London di ruang Comittee lantai 13 gedung House of Commons diluncurkan International Parliamentarians for West Papua. IPWP merupakan gabungan para anggota parlemen dari berbagai negara yang berkeinginan untuk mengangkat masalah Papua Barat secara bersama di level internasional.

Selain anggota Parlemen Inggris, dalam peluncuran ini dihadiri oleh beberapa anggota parlemen dan pejabat dari negara-negara lain seperti Selandia Baru, Belanda, Sweden, Papua New Guinea dan Vanuatu, untuk meningkatkan kesadaran internasional lebih luas. Agenda utama IPWP jelas memperjuangkan penentuan nasib sendiri bangsa Papua melalui mekanisme internasional.

Pada 7 November 2009 diluncurkan cabang IPWP di Taman Botanical di Universitas Papua New Guinea, peluncuran ini dilakukan oleh gubernur Powes Parkop, Mr. Buka Kondra dan Mr. Jamie Maxton-Graham dan tuan Benny Wenda sendiri.

Pada 28 Januari 2010 cabang IPWP diluncurkan Parlemen Uni-Eropa di Brussel, Belgia. Dalam peluncuran ini diinisiasi oleh Dr. Calina Lucas anggota parlemen Uni Eropa utusan partai Hujau Inggris, Mr. Thijs Berman anggota Parlemen Uni Eropa dari utusan Belanda, Duta Besar PNG untuk Uni Eropa, dan Ms. Malinda Yanki ketua Advokat Internasional Hak Asasi Manusia dan Tuan Benny Wenda, tuan Oridek Ap dan kelompok musik Mambesak serta para aktivis Papua Merdeka dari berbagai negara di Eropa.

Kemudian cabang IPWP diluncurkan di beberapa negara lain seperti di parlemen Australia, beberapa negara di Amerika Latin dan Karibik, Afrika dan terakhir tahun 2017 di Parlemen Selandia Baru. Melalui lembaga ini masalah perjuangan Papua telah menjadi agenda perdebatan dalam sidang-sidang resmi di Parlemen dan pemerintah di banyak negara. Hal ini memberikan gambaran yang jelas dan mendapat tempat strategis dalam diplomasi internasional. Di mana IPWP ialah badan politik internasional dan ILWP badan hukum internasional.

Internasional Lawyers for West Papua

International Lawyers For West Papua (ILWP) adalah badan hukum untuk mengadvokasi perjuangan bangsa Papua. Tuan Benny Wenda mengatakan, IPWP adalah ”bapak” dan ILWP ialah “mama”. Kini perjuangan kemerdekaan Papua Barat sudah memiliki bapak dan mama. ILWP diluncurkan di Guyana Amerika pada tanggal 3 – 5 April 2009. ILWP adalah badan hukum internasional untuk advokasi masalah hak asasi manusia dan status politik Papua Barat. Pembentukan ILWP bertujuan untuk menghimpun para pengacara internasional dari berbagai negara guna advokasi masalah politik Papua Barat ke tingkat internasional.

Selain itu, ILWP juga dibentuk guna membantu warga asli Papua Barat untuk melatih hak-hak dasar kebebasan dan kemerdekaan mereka dengan standar hak asasi manusia yang berdasarkan pada piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, dan Konvensi Internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Dalam peluncuran ini tampil sebagai pembicara adalah Ms. Malinda Janki seorang ahli hukum internasional sebagai koordinator umum ILWP, Benny Wenda pemimpin Papua Merdeka di Inggris dan Mr. Colin Andrews sebagai pemimpin Dewan National Toshaos. Selain itu, hadir pula pengacara hukum internasional terkemuka lain seperti Foster MA pengacara Inggris dan Dublin pengacara Irlandia, dll.

Dalam deklarasi itu termuat lima hal penting yaitu: pengakuan terhadap hak penentuan nasib sendiri, melaksanakan proses kemerdekaan, perlindungan hukum dan hak kemerdekaan dan mendorong dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua. Dalam deklarasi ini juga menyatakan dukungan rakyat dan pemerintah Guyana untuk kemerdekaan Papua yang disampaikan melalui pemimpinan Dewan Nasional Toshaos Mr. Colin Andrews.

IPWP dan ILWP adalah dua lembaga penting yang dibentuk tuan Benny Wenda untuk mobilisasi dukungan internasional di berbagai negara. Kedua lembaga ini merupakan terobosan baru dalam sejarah perjuangan bangsa Papua dan melalui lembaga-lembaga itu masalah Papua dibicarakan di forum-forum resmi terutama di tingkat parlemen dan kementerian luar negeri.

Baca catatan ini bagian satu di sini: Benny Wenda dari Penjara Abepura ke Internasional dan Pimpin ULMWP

Bersambung….

)* Penulis adalah akademisi Uncen. Saat ini sedang mengambil program doktor di salah satu universitas ternama di Jerman

Artikel sebelumnyaTuntut Honor, Karyawan RSUD Paniai Mogok Kerja
Artikel berikutnyaKristen Evangelis, Israel, dan Papua