BeritaDPRP Menganggap Aparat di Surabaya Berlebihan Tangani Mahasiswa Papua

DPRP Menganggap Aparat di Surabaya Berlebihan Tangani Mahasiswa Papua

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Laurenzius Kadepa,  Anggota DPR Provinsi Papua mengakui kesal atas tindakan berlebihan aparat keamanan yang mengiring mahasiswa Papua di Surabaya keluar dari asramanya dan dibawa ke Polrestabes Surabaya pada, Sabtu (17/8/2019) sore.

Menurutnya, kejadian ini sangat memalukan dan berlebihan karena sudah berkali-kali dihadapi mahasiswa Papua di luar Papua.

“Saya punya pengalaman soal ini ketika kejadian yang sama menimpa mahasiswa Papua di Yogyakarta. Saya sempat ke sana menemui Sultan dan tegas menyampaikan jumlah mahasiswa Papua sedikit yang tidak sebanding dengan orang Yogyakarta di Papua. Tetapi orang Papua tidak perna ganggu mereka. Mereka hidup dengan usahanya, termasuk menjadi PNS orang Papua tidak mengganggu.

Baca juga: Di Papua, KNPB dan SONAMAPPA Bikin Aksi Spontan untuk Mahasiswa Papua di Surabaya

Baca Juga:  Aktivitas Belajar Mengajar Mandek, Butuh Perhatian Pemda Sorong dan PT Petrogas

Anak lahir banyak juga tetapi orang Papua tidak perna ganggu, lalu kenapa orang Papua yang sedikit di pulau Jawa yang susa makan dan ketika mencari kos diusir tetapi tetap saja distikma dan disebut monyet,” kata Kadepa kepada suarapapua.com.

Soal apa yang disampaikan mahasiswa Papua menurut Kadepa hal itu sebatas aspirasi yang setiap tahun selalu disampaikan, bahkan turun jalan maka tidak perlu ditanggapi berlebihan aparat keamanan.

“Penyampaian aspirasi biasa saja, tempatnya diatur, lalulintasnya diatur, waktunya ditentukan. Pemerintah mengapa ambil ahli melalui aparat keamanan secara berlebihan, yang lebih para lagi Ormas. Oleh sebab itu tindakan yang dilakukan aparat ini harus dihentikan,” tukasnya.

Baca juga: Foto: Mahasiswa Papua Korban Pemukulan dari Polisi di Surabaya

Baca Juga:  ULMWP: Aneksasi Papua Ke Dalam Indonesia Adalah Ilegal!

Ia juga menyatakan, apa yang dilakukan mahasiswa Papua di seluruh Indonesia merupakan aksi murni mereka tanpa dukungan pemerintah provinsi. Sehingga jangan dianggap bahwa mahasiswa karena tinggal di asrama yang dibangun pemerintah provinsi maka didukung oleh Pemprov.

“Tetapi kami menganggap bahwa mereka sebagai anak-anak kita yang diganggu tentu kami kecewa. Saya minta kita sebagai orang mengerti agar tidak memprofokasi keadaan, karena mahasiswa kami disana terancam.”

Semuel Tabuni, Direktur Papua Language Institut (PLI) mengatakan, bangsa Indonesia merupakan bangsa terbesar ke empat dunia karena perbedaan budaya yang ada. Oleh karena itu dalam hal penyampaian aspirasi harus diberi ruang agar tetap diakui sebagai bangsa yang besar di mata dunia internasional.

Baca juga: Polisi Pukul Lima Orang Mahasiswa Papua Hingga Luka-luka

Baca Juga:  HRM Rilis Laporan Tahunan 2023 Tentang HAM dan Konflik di Tanah Papua

“Apalagi saat ini era demokrasi yang semua manusia di muka bumi harus diberi ruang untuk menyampaikan pendapatnya, entah itu pendapatnya soal disintegrasi ataupun pendapat lainnya ketika tidak mengganggu aktivitas orang lain. Sekali lagi soal ideologi tidak harus dicekik, melainkan diberi ruang dan difasilitasi negara,” kata Tabuni.

Menurutnya, negara kolonial Belanda saja waktu itu memberikan ruang kepada pahlawan-pahlawan Indonesia ketika berjuang dengan menyampaikan pendapat mereka. Sekarang harus lebih maju lagi dalam menyampaikan pendapat dimuka umum.

“Jadi apapun yang terjadi berkaitan dengan pembungkaman dalam menyampaikan pendapat, apalagi rasis ya itu sudah mengucilkan bangsa yang besar dan mengucilkan diri kita sendiri. Jadi itu tidak perlu dilakukan,” pungkasnya.

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

Partai-Partai Oposisi Kepulauan Solomon Berlomba Bergabung Membentuk Pemerintahan

0
"Kelompok kami menanggapi tangisan dan keinginan rakyat kami untuk merebut kembali Kepulauan Solomon dan mengembalikan kepercayaan pada kepemimpinan dan pemerintahan negara kami," kata koalisi tersebut dalam sebuah pernyataan.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.