Veronika Koman dan Pahlawan Kemerdekaan Indonesia Douwes Dekker

0
2139

Oleh: Yosef Rumaseb)*

Veronica Koman, seorang lawyer yang gigih mengadvokasi masalah Papua ditetapkan sebagai provokator dan penyebar hoax yang konon memicu demo anarkhis di Papua. Dia dilaporkan pihak Polri menjadi buronan interpol sebab diduga sedang berada di luar negeti.

Itu informasi versi pemerintah.

Tapi bagi rakyat Papua yang merindukan kebebasan dan keadilan, Veronica dan banyak lagi tokoh non-Papua seperti dia) adalah pahlawan.

Mereka terpandang di mata dan terpatri di hati orang Papua seperti pandangan orang Indonesia terhadap Douwes Dekker. Orang Belanda yang berpihak dan mendukung perjuangan bumiputra melawan kolonial Belanda.

ads

Inilah kisah Douwes Dekker yang sebaiknya tidak dilupakan oleh penguasa RI yang memperlakukan Veronica Koman seperti dulu Kolonial Belanda memperlakukan Douwes Dekker.

Douwes Dekker. Tokoh satu ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Douwes Dekker dikenal adalah tokoh penting dalam pergerakan Indonesia menuju kemerdekaannya. Douwes Dekker merupakan salah satu pendiri dari Indische Partij, Partai politik yang berhaluan nasionalis.

Ia adalah keturunan Belanda yang memihak pribumi Indonesia dan kerap mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda ketika merugikan rakyat Indonesia kala itu.

Berikut profil dan biografi Douwes Dekker

Douwes Dekker (IST – SP)

Nama lengkapnya Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker namun bangsa Indonesia lebih mengenalnya sebagai Douwes Dekker atau dengan nama Danudirja Setiabudi.

Beliau dilahirkan pada tanggal 18 Oktober 1879 di Kota Pasuruan yang kala itu masih dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda.

Douwes Dekker terlahir dari keluarga yang berada. ayahnya bernama Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker yang bekerja sebagai agen di sebuah bank ternama yang bernama Nederlandsch Indisch Escomptobank. Kemudian Ibunya bernama Louisa Neumann, orang Belanda yang memiliki darah keturunan Indonesia.

Douwes Dekker memiliki saudara berjumlah tiga orang. Pendidikan Douwes Dekker pertama kali dimulai kota Pasuruan. Tamat dari sana, ia kemudian masuk di HBS di Surabaya, namun tidak lama disana, orang tuanya kemudian memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang bernama Gymnasium Koning Willem III School.

Selepas lulus dari sana, ia kemudian diterima bekerja di kebun kopi di wilayah Malang, Jawa Timur. Disini, beliau kemudian melihat bagaimana perlakuan semena-mena yang dialami oleh para pekerja pribumi di kebun kopi tersebut.

Tindakan semena-mena tersebut membuat Douwes Dekker kemudian biasa membela para pekerja kebun tersebut yang membuat ia cenderung dimusuhi oleh para pengawas kebun yang lain.

Hingga membuat ia kemudian berkonflik dengan managernya yang pada akhirnya Douwes Dekker kemudian dipindahkan ke perkebunan Tebu.

Ia kemudian tidak lama bekerja disana sebab ia kembali berkonflik perusahaannya karena masalah pembagian irigasi antara perkebunan tebu dan para petani padi diwilayah tersebut yang pada akhirnya membuat ia dipecat dari pekerjaannya.

Setelah dipecat dan menjadi seorang penganggur, ibunya Louisa Neumann kemudian meninggal dan menyebabkan Douwes Dekker kemudian depresi.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Ia kemudian meninggalkan Hindia Belanda dan kemudian ke Afrika Selatan menerima tawaran pemerintah kolonial Belanda untuk ikut berperang dalam perang Boer melawan Inggris pada tahun 1899 dan Di Afrika Selatan, ia bahkan sempat menjadi warga negara disana dan membuat saudaranya yang lain menyusulnya kesana.

Namun Douwes Dekker kemudian ditangkap dan sempat dipenjara disana. Ia kemudian berkenalan dengan sastrawan India yang kemudian membuka pendangan Douwes Dekker mengenai perlakuan semena-mena pemerintahan kolonial Belanda pada masyarakat pribumi.

Douwes Dekker kemudian kembali ke Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1902. Ia kemudian bekerja sebagai seorang wartawan di koran bernama De Locomotief, karena keahliannya dalam membuat laporan mengenai peperangan.

Tahun 1903, ia kemudian mempersunting seorang wanita keturunan Jerman-Belanda bernama Clara Charlotte Deije yang memberinya lima orang anak. Selama menjadi wartawan di koran De Locomotief, ia banyak mengangkat mengenai kasus kelaparan di wilayah Indramayu. Tulisan-tulisannya sebagai jurnalis banyak mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.

Saat Douwes Dekker menjadi staf di sebuah majalah bernama Bataviaasch Nieuwsblad di tahun 1907, tulisan-tulisannya condong membela bangsa pribumi dan semakin banyak menkritik pemerintah kolonial Belanda. Salah satu tulisannya yang terkenal yaitu “Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?” yang berarti “Bagaimana caranya Belanda dapat kehilangan koloni-koloninya”.

Tindakannya tersebut membuat Douwes Dekker menjadi target dari inteljen pemerintah kolonial Belanda. Douwes Dekker juga memberikan tempat tinggalnya saat itu sebagai tempat untuk berkumpulnya para kaum pergerakan ketika itu seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo.

Banyak yang menganggap bahwa berkat bantuan Douwes Dekker, organisasi Budi Utomo sebagai organisasi nasional pertama ketika itu dapat berdiri.

Melihat adanya diskriminasi oleh pemerintahan kolonial Belanda ketika itu terhadap kaum pribumi terutama di bidang pemerintahan. Faktanyabanyak posisi-posisi penting di pemerintahan di jabat oleh orang Belanda dan untuk kaum pribumi sendiri hanya dijadikan sebagai pegawai rendahan karena faktor pendidikan.

Melihat hal tersebut, Douwes Dekker kemudian memberikan sebuah ide mengenai sebuah pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan oleh para penduduk pribumi asli.

Idenya tersebut ia sampaikan kepada partai Indische Bond dan Insulinde yang ketika itu anggota berasal dari kaum pribumi. Disamping itu ia juga berharap dari idenya tersebut kedua partai tersebut dapat bergabung. Ide Douwes Dekker tersebut kemudian disambut hangat namun hanya segelintir orang saja yang menyambut idenya tersebut.

Dalam biografi Douwes Dekker diketahui bahwa pada tanggal 25 Desember 1912, Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo kemudian mendirikan sebuah partai politik yang berhaluan nasionalis pertama yang bernama Indische Partij.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, partai ini dapat menghimpun anggota hingga mencapai 5000 orang dan sangat populer dikalangan pribumi Indonesia.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Berkembang pesatnya Indische Partij sebagai partai politik nasional pertama membuat pemerintah Belanda kemudian mencurigai gerak-gerik dari partai ini.

Ada yang menuduh partai ini anti-kolonial dan bertujuan agar Indonesia dapat merdeka dari tangan Belanda sehingga di tahun 1913, Partai Indische Partij akhirnya dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Para pendirinya yaitu Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo yang kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai akhirnya diasingkan.

Diasingkan ke Eropa

Douwes Dekker kemudian diasingkan ke Eropa. Selama di Eropa, ia tinggal bersama keluarganya dan melanjutkan pendidikannya dengan mengambil program doktor di Universitas Zurich, Swiss dalam bidang ekonomi.

Di Swiss, ia sempat terlibat konspirasi dengan kaum revolusi India dan hingga kemudian ia ditangkat di Hongkong dan kemudian diadili disana. Di Singapura, pada tahun 1918, ia juga sempat di tahan dan kemudian dipenjara selama dua tahun.

Setelah bebas, ia kemudian kembali ke Hindia Belanda (Indonesia). Di Indonesia, Douwes Dekker kemudian kembali aktif di dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya kemudian banyak menyindir kaum kolonial.

Di saat itu juga, Douwes Dekker kemudian mendirikan partai baru penerus Indische Partij yang bernama Nationaal Indische Partij namun partai tersebut tidak mendapat izin dari pemerintahan kolonial Belanda.

Di tahun 1919, Douwes Dekker dituduh terlibat dalam peristiwa kerusuhan petani perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Namun di pengadilan, ia kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.

Namun tuduhan baru kemudian menimpanya, Ia dituduh menulis hasutan dan melindungi seorang redaktur surat kabar yang menulis komentar tajam terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Namun setelah di pengadilan kemudian dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuduhan. Di tahun yang sama juga, ia memilih bercerai dengan istrinya yaitu Clara Charlotte Deije.

Banyaknya tuduhan-tuduhan tentang tulisan dan aktifitasnya dibidang jurnalistik membuat Douwes Dekker kemudian meninggalkan dunianya tersebut dan kemudian aktif dalam melakukan penulisan buku-bumi semi ilmiah.

Dan atas masukan dari sahabatnya yaitu Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Douwes Dekker kemudian terjun di dunia pendidikan dan mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung.

Sekolah yang didirikan oleh Douwes Dekker ini lebih banyak mengajarkan tentang sejarah dari Indonesia dan juga sejarah dunia yang ditulis oleh Douwes Dekker sendiri.

Dalam mengelola Ksatrian Instituut, ia banyak dibantu oleh Johanna Petronella Mossel yang bekerja sebagai seorang guru. Dan pada akhirnya Douwes Dekker kemudian menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel namun dari pernikahannya, mereka tidak dkarunia anak.

Pelajaran yang ada di Ksatrian Instituut ini dituduh sebagai anti kolonial dan pro terhadap Jepang. Akhirnya tahun 1933, buku-buku karangan Douwes Dekker banyak disita dan kemudian dibakar oleh pemerintahan kolonial Belanda. Ia juga dilarang mengajar dan memasuki masa penjajahan Jepang, ia tetap dilarang mengajar.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Larangan mengajar membuat Douwes Dekker kemudian bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Batavia (Jakarta). Disini, ia kemudian akrab dengan Mohammad Husni Thamrin.

Serangan Jerman ke Eropa membuat banyak orang-orang Eropa yang ditangkap termasuk Douwes Dekker yang dituduh sebagai Komunis.

Douwes Dekker kemudian dibuang ke Suriname di tahun 1941 yang juga menyebabkan ia kemudian berpisah dengan istrinya Johanna Petronella Mossel yang memilih untuk menikah lagi dengan seorang pribumi bernama Djafar Kartodiredjo.

Di Suriname, Douwes Dekker tinggal di kamp ‘Jodensavanne’ yang sempat menjadi kamp orang Yahudi. Di kamp tersebut, kehidupan Douwes Dekker sangat memprihatikan bahkan ketika ia berumur 60 tahun, ia sempat kehilangan penglihatan dan hidupnya sangat tertekan.

Kembali ke Indonesia

Usainya perang dunia II, membuat Douwes Dekker kemudian dikirim ke Belanda tahun 1946. Disana ia bertemu dengan seorang perawat bernama Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian menemaninya ke Indonesia.

Ia tiba pada tanggal 2 januari 1947 di Yogyakarta dan sempat mengganti namanya untuk menghindari intelijen. Di tahun ittu juga ia menikah dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian dikenal dengan nama Haroemi Wanasita setelah mengetahui bahwa istrinya sebelumnya telah menikah lagi.

Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaan, Douwes Dekker kemudian mengisi posisi penting sebagai menteri negara di kabinet Sjahrir III meskipun hanya 9 bulan saja.

Douwes Dekker juga sempat menjadi delegasi negosiasi dengan Belanda dan pengajar di Akademi Ilmu Politik  dan kepala seksi penulisan sejarah yang berada dibawah Kementrian Penerangan ketika itu.

Tanggal 21 Desember 1948 ketika agresi militer Belanda terhadap Indonesia, Douwes Dekker ditangkap oleh Belanda dan kemudian di interogasi dan dikirim ke Jakarta.

Namun karena kondisi fisiknya yang sudah renta dan berjanji tidak akan terjun lagi ke dunia politik, Douwes Dekker kemudian dibebaskan dan ia kemudian tinggal di Bandung di wilayah bernama Lembangweg.

Ia kemudian aktif kembali di dunia pendidikan di Ksatriaan Instituut yang pernah ia dirikan dan kegiatannya adalah menyusun autobiografi dirinya dan juga ia banyak merevisi buku-buku sejarah yang pernah ia tulis.

Pada tanggal 28 agustus 1950, Douwes Dekker akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, namun di batu nisan makamnya tertulis ia wafat pada tanggal 29 agustus 1950. Beliau kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.

Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya yag lebih dikenal sebagai ‘Setiabudi’ diabadikan sebagai nama jalan di Bandung dan kemudian nama tempat di wilayah Jakarta.

Dan pemerintah Indonesia melalui presiden Soekarno pada tanggal 9 november 1961 mengeluarkan Kepres No. 590 tahun 1961 mengenai penetapan Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi sebagai Pahlawan Nasional. Diolah dari berbagai sumber.

)* Penulis adalah pemuda kampung dan tinggal di Biak

Artikel sebelumnya3 Mahasiswa di Manokwari Ditangkap Pagi, Dibebaskan Sore
Artikel berikutnyaSAMN Desak Tutup Pengiriman Miras