Catatan Kelam: Kekerasan Seksual dan Operasi Militer di Biak (2)

0
3138

Catatan kelam yang terjadi dalam operasi militer pda 1967 hingga 1969. Operasi ini disebut operasi Baratayudha.   

Operasi militer dilakukan secara intensif oleh TNI di wilayah-wilayah yang dianggap sebagai wilayah pergerakan dan persembunyian OPM, seperti di Biak. Operasi militer ini disebut Operasi Baratayudha. Operasi ini menyasar masyarakat sipil, tak terkecuali perempuan dan anak-anak.

Bagian pertama dari serial tulisan ini dapa anda baca di sini: Catatan Kelam: Tentara Perkosa Perempuan Buta di Manokwari (1). Beberapa perempuan korban dari wilayah Biak juga  bersaksi:

Pada tahun 1967, OPM mulai turun di kampung di Biak Utara dan melakukan kontak senjata TNI dengan OPM, Seorang perempuan bercerita tentang kisah bagaimana mereka lari dan sembunyi di hutan. KKO (kini Marinir) mengambil tempat di Marsyom.  Perempuan itu bersama keluarganya tinggal di hutan mulai Juni 1968 hingga tahun 1980 baru keluar dari hutan. KKO terus mengejar di tempat mereka sembunyi.

“Kalo tentara keluar dari hutan, tong buat pondok (di hutan); kalo tentara datang, tong bubar. Anak kedua lahir pada tahun 70, seorang perempuan. Pada 79, saya jalan dengan dia ke kampung di pantai untuk tanya apakah ada tentara yang masuk?. Ternyata ada tentara yang sembunyi di hutan. Tentara langsung tembak, kena anak perempuan saya yang sedang berdiri di depan saya. Saya gendong anak kecil dan, lari jauh. Tentara tembak saya juga, tapi pakaian dan putus tetapi saya tidak mati. Anak perempuan kena di punggung, dong (tentara) buang di kebun dan  Orang-oarang di pantai pantai yang kubur dia.   

ads

“Tahun 1980, ke luar dari hutan tong bawa tulang-tulang ke rumah di pantai. Pada Tahun 1969 peristiwa, waktu OPM itu, sa’ (saya) masih di sekolah Indonesia. Tentara masuk kampung tapi Tete yang selamatkan. Kitong (kita) yang masih nona, Dong [mereka] tahan satu kampung, laki-laki dan perempuan. Dong ikat kitong macam ikat kambing, kemdian disuruh jalan. Kalau jatuh, dong hantam deng (dengan) senjata. 

Dalam Laporan ini juga ditulis, kisah sejumlah saksi korban tentang pembatasan ruang gerak dan akses terhadap makanan dan minuman oleh aparat keamanan. 

Tentara mengebom Perwomi (nama Markas besar OPM di Biak Barat),  kasih racun mata air dan batang-batang keladi, akibatnya, saya muntah darah dan pusing, padahal saya baru melahirkan. Anak-anak juga kena racun.  Yang tinggal di pantai, hanya  pada hari Kamis baru boleh ke kebun, diantar oleh tentara. Hari lain t’ra (tak) boleh, sebab tentara jaga kebun-kebun. Orang di rumah juga t’ra boleh ke pantai, karena dicurigai kasih makan OPM. Orang yang mau buang air juga dijaga. Kalo kitong mau ke kebun, diperiksa. 

Seorang perempuan mengalami penyiksaan dan pemerkosaan pada saat dipaksa ikut mencari suaminya yang ditengarai sebagai OPM di hutan.

Baca Juga:  Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

Ia bersaksi tentang kekerasan yang dialaminya sebagai berikut: “Tentara mulai masuk Biak Barat pada Agustus 1967. Tahun 1969, Saya dibawa sebagai penunjuk jalan untuk mencari suami saya dan OPM yang lain di hutan. Kedua tangan saya diikat ke belakang. Sepanjang jalan, saya dipukul dengan pistol di kepala, ditendang dengan sepatu lars di perut sebelah kiri dan kanan. Disuruh makan rica (cabe) yang sudah busuk, minum air kotor, dan diperkosa. Seorang anggota (KKO) todong saya dengan senjata dan bilang, ”Dari pada kita bunuh mati, lebih baik diperkosa saja. Dulu dia perkosa tante saya, baru saya lagi.”

Kisah lain dari seorang perempuan mudah di Biak, mengalami Kekerasan seksual. Bukan karena ia dituduh mempunyai hubungan dengan OPM, tetapi karena ia ditinggal sendiri di rumah. “Saya di rumah sedang masak untuk makan, karena waktu itu, mama tua sedang ke Jayapura. Malamnya semua gadis-gadis dijemput oleh tentara. Seorang tentara masuk ke rumah saya. Waktu ia melihat saya sendiri, langsung tentara itu paksa saya buka pakaian, kalau tidak, saya akan ditembak mati.  Tentara itu  pake (pakai) sangkur untuk sobek saya punya pakaian dan saya langsung diperkosa. Sejak itu, tentara ini selalu datang dan minta saya layani hingga saya hamil dan punya anak perempuan. Tetapi waktu anak ini lahir langsung meninggal.”

Dalam laporan itu juga mengungkap, Kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan-perempuan di kampung, seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh aparat keamanan selama operasi militer, juga melalui kegiatan budaya yang sengaja diselenggarakan untuk itu, seperti diorganisirnya acara menyanyi dan menarikan tarian yang dikenal dengan sebutan Yosim-Pancar (Yospan).

Baca Juga:  Hasil Temu Perempuan Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan Bersama WALHI Nasional

Para perempuan saksi dari Biak Barat dan Biak Utara memberikan kesaksian yang ditulis dalam buku stop sudah!: “Tahun 1967, operasi militer sudah mulai dilakukan di kota Biak dan bergeser ke kampung-kampung. Tahun 1969 kami pulang ke Swaipak, Biak Barat dan tinggal di sana saat ada Operasi Sadar, Acara Yospan menjadi ancaman bagi orang tua, karena harus merelakan anak-anak gadis, bahkan orang tua menekan anak gadisnya untuk pergi Yospan daripada orang tua atau suami mendapat sasaran kekerasan fisik atau ancaman dari tentara. Di tengah malam jam 12 ke atas, penduduk dibangunkan, anak gadis dan perempuan muda diajak Yospan dan dilanjutkan dengan hubungan badan. Biasanya pasukan mengatakan kepada orang tua dan suami-suami, harap Bapak-Ibu mengerti.”

Seorang saksi laki-laki dari Biak Barat juga menceritakan, pada tahun 1970-1974 TNI Batalton 753 datang dan waktu tugas, mereka bawa perempuan. Buat acara Yospan lalu perempuan-perempuan diundang untuk menari lalu mereka diperkosa. Anak-anak perempuan dari Sarui, Wusdori, Sarwa. Acara ini memang sengaja dibuat. (BY)

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

 

Sumber: Laporan Komnas Perempuan  berjudul Stop Sudah!, Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009. Hasil pendokumentasian bersama kelompok kerja Pendokumentasian kekerasan & pelanggaran ham perempuan papua, 2009-2010

Artikel sebelumnyaPemkot Sorong Harus Atasi Aksi Begal
Artikel berikutnyaBawaslu RI Catat Manokwari Masuk Kategori Rawan Pemilu