Catatan Kelam: Tentara Perkosa Perempuan Buta di Manokwari (1)

0
4024

“Sewaktu hamil, orang-orang kampung tuduh dia berhubungan dengan sesama orang kampung, tapi ternyata waktu melahirkan, anaknya yang dilahirkan berambut lurus. Mereka bilang, dia ini buta, jadi, ya, sudah tidak perlu dibela. Ketika ada pembakaran kampung tahun 1966, semua orang lari ke hutan, dan tidak ada lagi orang yang pernah lihat dia” 

Dalam Laporan Komnas Perempuan berjudul STOP SUDAH!, menguraikan kisah-kisah berbagai bentuk kekerasan yang dialami Perempuan Papua ketika terseret dalam arus konflik yang deras di berbagai wilayah di Tanah Papua.

Semenjak UNTEA mengambil alih di Papua 1 Mei 1963, melalui berbagai operasi militer Indonesia, melakukan kekerasan sistematis seperti intimidasi, pemerkosaan, dan pembunuhan, penangkapan sewenang-wenang terhadap suami mereka, pengungsian ke hutan, dan pembatasan ruang gerak serta akses terhadap makanan, kesehatan dan pendidikan.

Beberapa perempuan memberikan kesaksian tentang kekerasan yang dialaminya dalam laporan kekerasan terhadap perempuan. Laporan yang tercatat ini  adalah mewakili banyak perempuan Papua di seluruh wilayah Papua, dari kebanyakan [laporan kekerasan] yang berlum terungkap dan tercatat. Kisah-kisah kekerasan dalam laporan itu menggambarkan, suasana kekerasan di mana perempuan mengalami dampak langsung maupun tidak langsung dari konflik.

1963-1968: Manokwari dan Sorong, Kekerasan dan Pengungsian 

ads

Sejak tahun 1965, upaya perlawanan kelompok OPM di sekitar wilayah Sorong direspon dengan sebuah operasi militer oleh pihak TNI. Setahun kemudian, sebuah kelompok OPM bertemu dengan beberapa pegawai di salah satu kampung di Kabupaten Sorong , termasuk suami salah satu korban yang berprofesi sebagai Mantri.

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

Masyarakat kampung itu meminta kelompok OPM tersebut untuk tidak tinggal di kampung mereka. Walaupun kelompok OPM ini segera pindah dari kampung itu, keesokan harinya, tentara datang lalu suami suami perempuan itu dibawa oleh tentara dan dipenjarakan.

Berikut cerita korban itu dalam laporan, tentang kondisi yang mencekam pada saat itu:

Sewaktu Bapak di penjara, saya naik perahu ke Sorong dengan anak saya dan dalam kondisi hamil. Di satu tempat, saya lihat orang-orang lari ketakutan ke hutan, ke pulau di seberangnya, dan tentara tembak mereka. Setelah di Sorong, saya dapat kabar bahwa rumah saya dan rumah orang-orang kampung dibakar oleh tentara. Selama dua tahun masyarakat mengungsi ke hutan. Banyak anak-anak kecil kelaparan dan meninggal.  Itu peristiwa tahun 1966-1968.” 

“Setelah bebas, bapak bisa bekerja kembali, tapi tidak pernah naik pangkat,  dia tetap golongan II sampai meninggal. Saya juga tidak pernah naik golongan. Tetapi dibantu seorang saudara, naik golongan III.  Anak-anak saya tes PNS tidak diterima, termasuk saat mau masuk Akademi Keperawatan tidak diterima karena dianggap anak [orang yang dianggap] OPM.

Laporan Kekerasan terhadap perempuan itu juga mengungkapkan, kisah yang dialami oleh seorang Mama.  Menjelang Pepera, suami seorang perempuan yang lain ditangkap tentara, karena dianggap mendukung OPM.

Rumahnya kemudian dibongkar oleh tentara, membakar buku-buku berbahasa Belanda dan mengambil secara paksa sebuah kalung hingga lehernya terluka. Gaji suaminya ditahan, sehingga mama ini dan anak-anak serta bayinya, hanya hidup dari gaji si mama.

Baca Juga:  Non OAP Kuasai Kursi DPRD Hingga Jual Pinang di Kota Sorong

“Kalau saya jenguk bapak di penjara. Makanan untuknya diaduk-aduk pakai mulut senjata. Mereka bicara kata-kata kasar sekali, tapi saya diam saja dan tidak berani melawan. Di penjara, saya lihat beberapa orang disiksa dan distrom. Selama Bapak ditahan, tetangga-tetangga takut pada kami dan tidak pernah datang berkunjung. Kami pun tidak pernah dapat kenaikan golongan pegawai negeri hingga kami pensiun, karena kami masuk dalam ”daftar merah.” 

Seorang perempuan lain juga mengalami kekerasan yang menyedihkan dan berlapis. Ketika seorang mama sedang mencari makan ke hutan dengan bayinya berumur delapan bulan bersama dua saudara perempuannya, mama ini di tembak oleh tentara sehingga jatuh dan pingsan.

Salah satu saudaranya, yang coba berlari bersama bayi mama ini, ditangkap dan dibawa tentara. Saudara perempuan lainnya bersembunyi.  Setelah tentara pergi, dia membawa mama pulang ke kampungnya.

Mama ini tidak hanya menjadi cacat akibat luka tembak, tetapi harus menanggung kemarahan keluarga karena tidak bisa menyelamatkan saudara perempuan dan bayinya. Mama ini harus menanggung denda adat atas kejadian yang membuatnya menjadi korban. Berikut kisah dalam laporan: “Luka Mama parah sekali. Peluru tembus kena bibir dan memotong lidah saya. Saudara perempuan sembuhkan saya dengan daun-daun saja. Selama dua bulan, saya tidak bisa makan dan minum karena mulutnya luka.” 

“Baru setelah satu bulan orang-orang kembali ke kampung dan Mama bertemu lagi dengan suami dan anak saya yang berumur dua tahun.  Selama beberapa tahun,  saya tidak berani berkebun, hanya tokok sagu saja”. 

“Tapi, Mama harus bayar adat ke keluarga saudara perempuan yang hilang bersama bayi saya, yaitu satu ekor babi dan kain timur (tenun), karena mereka anggap gara-gara Mama jalan di hutan, maka anak perempuan hilang dan tidak kembali. Mama punya suami juga ikut salahkan Mama.”

Kekerasan tidak hanya dialami oleh perempuan-perempuan normal. Seorang perempuan yang bekerja sebagai perawat pada tahun 1965 memberikan kesaksian, ia membantu seorang perempuan buta yang melahirkan anak. Perempuan buta itu menceritakan pada sang perawat, kekerasan yang dialaminya, sebagaimana dituturkan si perawat kepada Tim Dokumentasi:

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

“Perempuan ini bilang, dia diajak ke pantai dan diperkosa beberapa kali oleh tentara dari kesatuan Brawijaya, kemudian pergi tinggalkan perempuan buta ini ketika dia sedang hamil besar. Dari pemerkosaan ini dia hamil dan saya bantu dia melahirkan.”  Bayinya diantar keluarga ke Sorong. Kemudian  saya dengar, anak ini dipiara keluarga lain.” 

“Sewaktu hamil, orang-orang kampung tuduh dia berhubungan dengan sesama orang kampung, tapi ternyata waktu anaknya lahir berambut lurus. Mereka bilang, Dia ini buta, jadi, ya, sudah tidak perlu dibela. Ketika ada pembakaran kampung tahun 1966, semua orang lari ke hutan dan, tidak ada lagi orang yang pernah lihat dia.”  (BY)

Sumber: Laporan Komnas Perempuan  berjudul Stop Sudah!, Kesaksian Perempuan Papua Korban Kekerasan & Pelanggaran HAM, 1963-2009. Hasil pendokumentasian bersama kelompok kerja Pendokumentasian kekerasan & pelanggaran ham perempuan papua, 2009-2010

Artikel sebelumnyaOrang Papua Barat Berharap Peningkatan Status Keanggotaan di MSG
Artikel berikutnyaHosea Yeimo Dinobatkan Jadi Ketua KNPB Numbay