Penegakan Hukum dan Keadilan bagi Orang Papua Masih di Persimpangan Jalan (Bagian 1)

0
3053

Oleh: Michael Himan., S.H., M.H

Pendahuluan

Pelanggaran HAM  dan Peristiwa Rasisme Terhadap Orang Papua

Mulanya, peristiwa rasisme terhadap orang Papua sudah terjadi di Indonesia sejak lama. Sebut saja misalnya, dilempari pisang saat Persipura bermain, diteriaki monyet, mengedit dan menyebut dan samakan Natalius Pigai sebagai Gorila dengan mengedit sebuah foto gorilla yang sejajar dengan Pigai. Lalu kemudian, menyebut foto Frans Kaisiepo yang ada di mata uang 10 ribu sebagai monyet. Ini hanyalah cobagian kecil contoh.

Puncaknya adalah rasisme terhadap mahasiswa Papua di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya pada 16 – 17 Agustus 2019. Persekusi kepada mahasiswa Papua dari aparat dan sejumlah orang dari ormas di depan asrama menjadi titik puncak dimana orang Papua menyatakan sikap melawan rasisme kepada orang Papua di Indonesia.

ads

Sebuah video pun beredar luas di jagat maya. Dalam video itu memperlihatkan beberapa oknum anggota TNI memaki-maki, mengancam dan persekusi mahasiswa di Asrama. Bersama sejumlah anggota TNI, banyak orang dari berbagai ormas datang, polisi tidak mampu atasi. Hingga kemudian membuat mahasiswa Papua terkurung dan dipersekusi di dalam asrama. Munculnya rasa sakit hati orang Papua adalah ungkapan-ungkapan yang dilontarkan kepada mahasiswa Papua dalam video itu. Ungkapan rasis yakni “ Monyet dan kalimat Usir Papua yang dilakukan oleh oknum TNI AD dan sekolompok orang kemasyarakatan seperti Pemuda Pancasila dan Front Pembela Islam.

Peristiwa rasisme terhadap orang Papua merupakan bagian kecil dari keseluruhan perlakukan Pemerintah Indonesia  dan masyarakat lainya terhadap orang Papua, salah satu masalah terbesar yakni Genoside  terhadap orang Papua sejak Papua  di Aneksasi sejak 1 Mei  1969 yang bisa kita telaah dalam buku Karya Tokoh Papua Mantan Tahanan Politik Filep Karma. Judul buku Karma – “Seakan Kitorang Setegah Binatang” – adalah ungkapan kuat yang menjelaskan 57 tahun salah penanganan Papua oleh Pemerintah Indonesia. Faktanya hingga hari ini, orang Papua diperlakukan setegah binatang diseluruh Pelosok negeri  Papua laki-laki dan perempuan ditangkap,saat operasi pembersihan atau operasi gabungan militer TNI-Polri di jalanan atau saat protes biasa atas hak-hak asasi mereka di penjara,disiksa,dibunuh secara acak.

Baca Juga:  OAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

Sebagai akar masalah kekerasan di Papua. “Pelaksanaan PEPERA 1969 yang penuh dengan kejahatan kemanusiaan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional” berbagai kekerasan yang disebutnya sebagai “pemusnahan etnis Papua” diulas secara lebih detil. Disebutnya ada berbagai strategi pemusnahan etnis Papua, seperti operasi militer, operasi transmigrasi, arus imigran, program KB, minuman keras, penyakit HIV/AIDS, pemusnahan kebudayaan, sejarah, dan rekayasa ’perang suku” seperti yang terjadi di Timika. Berbagai kasus kekerasan kemanusiaan dan penangkapan bahkan mencuat gejala pemusnahan etnis Papua

Jika menilik sejarah, penderitaan orang Papua telah lama muncul dari pergulatan harian dengan Proses pendekatan pembangunan Papua dimulai dengan sejarah kekerasan, karena keberadaan Indonesia di Papua diawali dengan penetapan Papua menjadi Daerah Operasi Militer (DOM) untuk menunjang kebijakan pembangunan yang bertumpuh pada strategi pertumbuhan ekonomi melalui pertambangan, hak penguasaan hutan (HPH), transmigrasi, pariwisata, dan berbagai proyek pembangunan lainnya. Militer pun melakukan pelarangan pengibaran bendera Bintang Kejora, dan pembungkaman (bahkan pembunuhan) tokoh-tokoh yang memperjuangkan kemerdekaan menjadi tindakan dan pendekatan yang seolah-olah sah dan legal.

Kebijakan pembangunan yang berorientasi pada strategi pertumbuhan ekonomi Kapitalis itu berimplikasi pada aspek sosial budaya seperti perusakan lingkungan hidup, pengambilan tanah, penebangan hutan, pengrusakan dusun-dusun masyarakat adat, serta degradasi kebudayaan masyarakat setempat. Identitas orang asli Papua juga diilhami oleh pengalaman sejarah di mana orang Papua tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang menentukan masa depan mereka. Sejak kemelut dekolonisasi Papua dari tangan Kolonial Belanda, Pepera 1969, dan kurun sejarah Orde Baru, seperti yang diwakili oleh pernyataan Chauvel

Pemerintah Indonesia  diharapkan mampu mengakomodasi secara terbuka simbol-simbol dan ekspresi budaya Papua sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Inkorporasi elemen budaya di dalam kehidupan dan proses sosial budaya penting untuk membuat orang Papua merasa di hargai .

Baca Juga:  OAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

Krisis Rasisme dan diskriminasi, pelanggaran HAM  terhadap orang Papua tak pernah lengkang dari tanah Papua, aksi penyerangan asrama mahasiswa di surabaya hanya satu dari sekian banyak Tindakan diskriminatif salah satunya  Operasi Koteka di wilayah daratan tengah Papua sejak pertengahan 1970-an hingga awal 1980-an. Melalui operasi itu, Militer RI melepas rakyat asli Papua melepaskan pakaian tradisionalnya-baik itu koteka, sali, atau yokal-dan melepaskan orang Papua memakai pakaian dari kain.

Pada saat persamaan, kebebasan politik dan berpendapat di Papua masih dipasung itu sebabnya pula berbagai  operasi militer yang dilancarkan di tanah Papua hingga saat ini operasi militer di Nduga, Maybrat, Puncak jaya. Orang papua menganggap keberadaan Indonesia adalah bentuk penjajahan di tanah papua, pelanggaran Ham yang terjadi di papua bukan hanya menimpa aktivis politik,tetapi juga warga sipil,dan  anak-anak  Tahun 2016, Setara Institute mencatat sebanyak 2.214 warga sipil mengalami penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan, 489 orang diantaranya aktivis Politik. Sementara itu Laporan ELSAM tahun 2017 mencatat rentetan kekerasan aparat masih terus terjadi di Papua tanpa proses penegakan hukum yang optimal sehingga menimbulkan impunitas kekerasan di papua sejumlah kasus pelanggaran HAM yang tak pernah selesaikan, seperti kasus Biak Berdara (1998), Wasior-Wamena(2001), dan Paniai (2014).

Pendekatan dengan cara militeristik dalam penanganan konflik Papua yang tidak berubah walupun rezim telah beberapa kali berganti. Hal ini bsa dilihat dengan belum adanya perubahan secara jelas terhadap kebijakan pusat setelah 67 tahun lebih Aneksasi Papua ke Indonesia, faktanya pendekatan keamanan masih di pertahankan dan digunakan dengan alasan ancaman keamanan demi kedaulatan NKRI. Kemudian perparah Ketika terjadi perubahan politik nasional seiring tumbangnya rezim orde baru tahun 1998, penanganan konflik papua tidak beranjak dari pendekatan politik militer.

Kekerasan dan konflik di Papua memiliki karakteristik dan sejarah yang panjang. Solusi final dan permanen bagi Papua hanya dapat diciptakan melalui pengakuan terhadap hak-hak sejarah orang Papua. Memoria passionis orang Papua merupakan sebuah narasi yang menggugat kesadaran kemanusiaan semua orang untuk memberikan perhatian dan dukungan pada upaya pemanusiaan orang Papua. Upaya untuk merumuskan identitas orang Papua dapat dipandang sebagai tindakan afirmatif untuk menyelamatkan orang Papua dari intervensi dan persaingan bebas yang terjadi di tanah Papua

Baca Juga:  OAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

Kasus rasisme terhadap mahasiswa Papua pernah terjadi pada jumat, 13 Juli 2016,adalah hari yang mungkin tak bisa dilupakan oleh Obby Kogoya, mahasiswa Papua di Yogyakarta. Di depan asrma Kamasan obby di kejar-kejar, di  tendang, dipukuli, lalu ditangkap Aparat Kepolisian. Peristiwa itu diabadikan oleh fotografer lepas Suryo Wibowo. Kameranya menangkap kepala Obby sedang di injak oleh Polisi, perlakuan rasis apparat keamanan Indonesia terhadap orang Papua  kedua hidung Obby ditarik oleh kedua jari seorang apparat polisi Indonesia dan tanggannya di borgol,diseret ke meja hijau dan diadili, dan kasus inipun segera dilupakan public;

Pada hari Kemerdekaan RI pada Sabtu,17 Agustus 2019, terjadi pengerebekan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan Nomor 10, Pancar Keling, Kota Surabaya, Jawa Timur diskriminasi rasial sebutan Monyet, usir Papua yang di sampaikan oleh Aparat TNI di ikuti Pengepungan Asrama Papua, sebanyak 42 Mahasiswa digelandang ke kantor Polres Surabaya akibat peristiwa itu sekitar 23 Mahasiswa Papua terluka sehari setelah kejadian peristiwa kejam itu pemerintah dan apparat kepolisian tetap diam . seakan tak punya salah terhadap mahasiswa Papua. Anggota Ormas Aparat TNI tanpa tersentuh hukum setelah meneriaki dengan kata-kata rasis sebutan “ MONYET” USIR PAPUA.

Dua hari usai kejadian  Tindakan rasisme di Surabaya mendapatkan respon yang sangat luar biasa oleh masyarakat Papua dan Papua Barat. Tepat setelah negara ini merayakan kemerdekaan ke 74, Memberikan Hadiah Kado Papua bergolak.

Besambung….

)* Penulis adalah Criminal Depense Lawyer dan salah satu pengacara 7 Tapol Papua di Jakarta

Artikel sebelumnyaApakah NKRI Harga Mati Itu?
Artikel berikutnyaAktivitas Pasar di Dogiyai Lancar, DPRD: Segera Cairkan BLT