BeritaAmnesty: Rasisme Sistemik Terhadap Orang Papua Harus Dihapuskan!

Amnesty: Rasisme Sistemik Terhadap Orang Papua Harus Dihapuskan!

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Amnesty Internasional Indonesia mengakui, insiden pelanggaran HAM yang menimpa George Floyd menjadi contoh dari apa yang selama ini terjadi di Indonesia.

“Insiden pelanggaran HAM yang menimpa George Floyd menjadi cerminan dari apa yang terjadi di Indonesia. Kasus pelanggaran HAM serupa yang diawali dengan rasisme di negara ini tidak hanya terjadi sekali dua kali, dan sebagian besar kasus tidak selesai,” kata Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, menanggapi unjuk rasa global menentang diskriminasi dan rasisme atas kematian George Floyd di Amerika Serikat elum lama ini, Rabu (3/6/2020).

Menurutnya, apa yang terjadi di Amerika memang berkaitan dengan praktik opresif melawan kebebasan berekspresi di Papua serta isu rasisme terhadap orang Papua.

“Banyak pembela HAM dan masyarakat sipil yang ikut melakukan aksi protes damai, ditangkap dan dipenjara atas tuduhan makar. Padahal apa yang mereka lakukan tidak melanggar hukum dan tidak ada unsur pidananya,” kata Hamid.

Baca Juga:  Situasi Paniai Sejak Jasad Danramil Agadide Ditemukan

Hal itu menurutnya sudah banyak contoh di mana aparat keamanan melakukan perbuatan rasis terhadap masyarakat Papua. Contoh paling terlihat adalah insiden di Surabaya dan Malang pada tahun 2019. Aparat justru merespon protes para mahasiswa dengan brutal, sama sekali tidak menunjukan sikap penegakan HAM untuk ukuran aparat negara.

“Sikap rasisme itulah yang pada akhirnya memicu pada pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Padahal seharusnya negaralah yang menjadi contoh anti rasisme.”

Ia mengatakan, insiden di Amerika sudah seharusnya menjadi cerminan bagi aparat negara untuk mulai lebih menunjukan sikap anti diskriminasi dan sepenuhnya melindungi hak-hak sipil warga negara untuk menyampaikan pendapat.

“Bisa dilihat di Amerika banyak masyarakat yang marah atas tindakan rasisme polisi setempat. Hal tersebut juga sedang dirasakan oleh banyak warga negara kita terhadap saudara-saudara kita di Papua.”

Hal pertama yang mungkin bisa dilakukan pemerintah untuk mulai menunjukan sikap anti rasisme mereka katanya adalah dengan membebaskan para tahanan nurani Papua yang saat ini masih mendekam di penjara dan menghentikan segala pembungkaman kebebasan sipil di tanah Papua.

Baca Juga:  Soal Satu WNA di Enarotali, Begini Kata Pakum Satgas dan Kapolres Paniai

Pada tanggal 2 Juni 2020, ada sekitar 51 tahanan hati nurani (PoC) dari Papua, termasuk aktivis politik dan pembela hak asasi manusia, yang masih berada di balik jeruji besi, sebagian besar dengan tuduhan makar. Mereka ditangkap dan dipenjarakan karena menjalankan hak-hak mereka atau mengekspresikan pandangan mereka secara damai.

Obby Kogoya, Jogja 2016.

Made Supriatma, Peneliti Independen juga menyampaikan hal serupa sebagaimana disampaikan Amnesty Internasional Indonesia dalam artikelnya yang diterbitkan Suara Papua, Rabu 3 Juni 2020.

“Mungkin banyak dari kita yang tidak sadar bahwa kita juga memiliki problem rasisme. Kita semua satu bangsa dan kita tidak membedakan suku atau ras dalam negara ini. Begitu kan? Salah,” tulis Made yang selama ini cukup konsen soal-soal Papua.

Ia lalu menunjukka sebuah foto seorang mahasiswa Papua bernama Obby Kogoya yang sedang dianiaya aparat pada Juli 2015 ketika masuk ke Asrama Papua, Kamasan I di Yogyakarta.

Baca Juga:  Pembagian Selebaran Aksi di Sentani Dibubarkan

Ia menyebut waktu itu asrama Papua itu dikepung oleh gerombolan vigilante, polisi, dan tentara.

“Mahasiswa didalam tidak bisa keluar. Obby datang membawakan makanan. Namun dia disiksa oleh polisi. Hidungnya dicokok, dan kepalanya diinjak. Untung Obby tidak meninggal.”

Obby Kogoya kemudian ditahan. Dia diadili dan dihukum penjara 4 bulan dengan masa percobaan satu tahun.

“Kesalahannya? Melawan petugas kepolisian. Padahal semua bukti menunjukkan bahwa justru Obby-lah yang menjadi korban penganiayaan dan penghinaan oleh polisi.”

Ia lalu menyebut, sistem keadilan ‘negara’ juga mengandung ‘systemic racial bias’ khususnya terhadap orang-orang Papua.

“Masalah ini terus menerus kita abaikan dan kita tolak keberadaannya. Demonstrasi besar-besaran anti-rasisme di Papua dan kota-kota besar Indonesia lainnya justru memenjarakan mereka yang bersuara untuk Papua dan para aktivis Papua.”

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

Aksi Hari Aneksasi di Manokwari Dihadang Aparat, Pernyataan Dibacakan di Jalan

0
“Pukul 11. 04 WP pihak keamanan hadirkan pihak DPR PB. Pukul 12. 05 WP, massa aksi kami arahkan untuk menyampaikan orasi politik dari masing-masing organisasi. Akhir dari orasi politik membacakan pernyataan sikap.”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.