WAMENA, SUARAPAPUA.com — Penolakan terhadap Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II terus dilantunkan masyarakat akar rumut di Papua. Salah satunya datang dari eks tahanan/narapidana politik Papua, Linus Heluka.
Linus menilai otonomi khusus hanya membawa malapetaka bagi masyarakat Papua, sehingga ia tegas menolak kebijakan pemerintah RI yang bakal berakhir tahun 2021 itu.
“Saya tokoh Organisasi Papua Merdeka dan juga selaku eks tahanan politik Papua, dengan tegas menolak otonomi khusus jilid II, karena kalau ada otonomi jilid II lagi maka orang Papua yang sisa ini akan habis,” tegas Linus kepada media di Wamena, Sabtu (4/7/2020).
Implementasi Otsus selama ini tidak berjalan sesuai amanatnya. Dia mencontohkan, banyak kebijakan pemerintahan di Papua yang masih terpusat di Jakarta. Bukan hanya itu, sejak bergulirnya Otsus, ada banyak kasus penangkapan, eksploitasi sumber daya alam yang merugikan masyarakat.
“Kebijakan yang mau diambil oleh pejabat daerah dalam hal ini Gubernur Papua dan seluruh bupati di Papua, remotnya ada di Jakarta, jadi kebijakan yang diambil oleh pejabat Papua itu tidak ada apa-apanya,” ujarnya.
Sehingga, meskipun Jakarta banyak melihirkan kebijakan untuk masyarakat di tanah Papua, tetapi kata Linus, hal itu bukanlah solusi untuk rakyat Papua.
Lebih lanjut, menurut eks Tapol ini, selama ini pemerintah pusat menggelontorkan triliunan rupiah untuk mensejahterakan rakyat Papua, namun kata Heluka, belum sepenuhnya menyentuh masyarakat asli Papua.
“Yang dapat (dana) otonomi khusus di Papua itu adalah para elit politik Papua yang ada di Papua maupun yang ada di Jakarta,” ucapnya.
Pemerintah RI saat dipimpin Megawati Soekarno Putri mendorong agar orang Papua menerima Otsus. Ketika itu, kata Heluka, ia sebagai anggota Panel Dewan Papua khusus menjaring aspirasi masyarakat Papua di Baliem.
“Jadi waktu itu teman-teman tanda tangan untuk menerima itu, tapi saya dengan beberapa teman tidak tanda tangan, karena kami tahu dampak yang akan terjadi seperti terjadi selama ini,” tuturnya.
Oleh karena itu, Heluka menegaskan, bila Otsus berakhir, maka selanjutnya pemerintah harus kembalikan keputusan kepada rakyat Papua.
“Apakah rakyat mau pilih diperpanjang atau mereka mau pilih yang lain biarkan rakyat memilih. Jangan paksakan, kasih kebebasan sebebas-bebasnya kepada masyarakat Papua untuk pilih dua pilihan itu “, tegasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem mengaku, Otsus jilid satu tidak memberikan harapan yang sesungguhnya kepada orang asli Papua untuk hidup dengan rasa bebas di tanahnya sendiri.
“Papua dijadikan sebagai daerah otonomi khusus sejak tahun 2001, namun malah orang asli Papua selalu mengalami korban kekerasan yang berdampak pelanggaran HAM dan selalu hidup dengan tidak rasa bebas sebagai pemilik atau hak ulayat di tanah Papua,” katanya.
Pewarta: Onoy Lokobal
Editor: Imanuel Itlay