Mama-mama Tembagapura: “Cukup Emas Dikeruk Habis, Jangan Manusia Lagi”

0
2387

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Masyarakat adat Waa, Distrik Tembagapura, Mimika, Papua mengaku sudah tak mampu bertahan di wilayah perkotaan Timika setelah dievakuasi pada Maret 2020 lalu.

Mereka di antaranya kaum perempuan, laki-laki lanjut usia, serta sejumlah berstatus janda maupun duda, dipaksa meninggalkan kampung halaman akibat konflik bersenjata TNI/Polri dengan TPNPB-OPM.

Seperti dilansir seputarpapua.com, Mama Martina Narkin, Tokoh Perempuan Amungin, menyesalkan sikap berbagai pihak yang awalnya menyambut mereka pada waktu gelombang evakuasi. Kini tak ada kepastian bagi mereka untuk dikembalikan.

Warga pun mulai beranggapan ada kepentingan di balik evakuasi massal dari wilayah adat mereka, di dekat raksasa tambang PT. Freeport Indonesia yang mengeruk gunung Nemangkawi.

Baca Juga:  Seorang Fotografer Asal Rusia Ditangkap Apkam di Paniai

Kondisi yang paling memprihatinkan adalah ketika mereka tidak mampu beradaptasi dengan iklim di wilayah perkotaan, serta kebiasaan budaya dan bergantung dengan alam.

ads

“Beberapa diantara kami mengalami kondisi kesehatan yang buruk, baik secara fisik maupun mental. Perubahan iklim yang berbeda dengan tempat kami berasal, kami tidak mampu beradaptasi di kota,” kata Martina, Selasa (14/7).

Dengan demikian, sebagai masyarakat adat dan juga korban yang dievakuasi 4 bulan lalu, meminta semua pihak yang bertanggung jawab untuk mengembalikan mereka ke wilayah adat mereka di Waa, Tembagapura.

“Kepada pemerintah daerah, TNI/Polri, PT. Freeport Indonesia, lembaga musyawarah adat suku amungme (Lemasa), pihak gereja di Tanah Papua untuk segera kembalikan kami ke kampung halaman Waa Tembagapura,” pinta Martina.

Baca Juga:  Yakobus Dumupa Nyatakan Siap Maju di Pemilihan Gubernur Papua Tengah

“Kami sudah tua, kami tidak kuat hidup di kota (Timika). Kembalikan kami bersama roh dan leluhur kami. Sudah cukup kekayaan (emas) kami dikeruk habis, jangan kami manusia lagi,” sambungnya penuh pilu.

Sebagai bentuk sikap tegas, korban evakuasi telah membuat Posko di Jalan Baru Timika, dan menggalang segala kekuatan agar bagaimana mereka bisa kembali ke kampung halaman.

“Tuhan Allah yang telah memberikan semua manusia sesuai dengan kecukupan, kenapa harus melanggar bahasa Tuhan,” katanya.

Ia juga mengutip deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat pribumi Pasal 30 bahwa: Aktivitas kemiliteran tidak diperbolehkan dilakukan di wilayah masyarakat pribumi kecuali mempunyai alasan yang berhubungan dengan kepentingan umum.

Baca Juga:  Situasi Paniai Sejak Jasad Danramil Agadide Ditemukan

“Berdasarkan hal itu, kami dengan tegas menolak dan tidak menyetujui aktivitas militer baik dari pihak TPNPB dan pihak TNI/POLRI di wilayah kami masyarakat adat Waa,” pungkasnya.

Ada pun Pemkab Mimika mencatat sekitar 1.700-an pengungsi, sementara masyarakat adat menyebut total 2.114 jiwa. Mereka dibawa ke Timika dalam beberapa kali gelombang evakuasi pada 2-8 Maret 2019.

Hingga Juli 2020, atau sekitar 4 bulan sudah mereka meninggalkan kampung halaman. Mereka tersebar di sekitar Mile 32, SP 2, Jalan Baru, sebagian bergantung kepada keluarga di Timika, dan bahkan tinggal di rumah kost.

Sumber: seputarpapua.com

SUMBERSeputar Papua
Artikel sebelumnyaPimpinan Gereja akan Dilibatkan Bahas Penggunaan Dana Otsus Bidang Keagamaan
Artikel berikutnyaKetua LMA Malamoi: Otsus Lanjut atau Tidak, Dengar Suara Orang Papua