Perempuan Papua Pendobrak 

Penghormatan untuk Kakak Sesilia Mote

0
1943

Oleh: Frederika Korain, SH., MAAPD)*
)*Penulis adalah Lawyer & Human Rights’ Advocate

Selamat jalan buat Kakak Perempuan Papua Mee luar biasa satu ini, Sesilia Mote. Semoga jiwamu beristirahat dalam damai dalam rumah Bapa di Surga, Kakak wae….

Di balik nama perempuan Mee yang satu ini, ada kisah haru-biru bagaimana perempuan Irian/Papua (terutama asal gunung-gunung tinggi Tanah New Guinea/Papua Barat) mulai mengejar kemajuannya dalam dunia pendidikan modern yang menggema di negeri kita ini sejak tahun 1950an. Apalagi dengan berani mengambil langkah panjang menyeberangi pulau bahkan batas negara demi mengejar ilmu yang tinggi.

Ia barangkali merupakan perempuan Mee pertama, bahkan saya pastikan sebagai perempuan Papua asal gunung pertama yang beranikan diri mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada (UGM) Jogyakarta hingga lulus. Di masa itu, UGM merupakan salah satu kampus negeri favorit indonesia, dan bagi kita, anak-anak Irian yang bisa masuk ke sana, itu adalah suatu prestise tersendiri. Ia lulus dari Fisipol UGM pada tahun 1995 dengan gelar Sarjana Ilmu Politik.

Dalam perjumpaan kami di teras rumah yang asri milik Kakak Yan Ukago di Dok 8 Atas Jayapura, kami sempat bernapak tilas tentang petualangan, keberanian menaklukkan ketakutan saat merantau dan studi, saya mendengar Kakak Yan dan Kakak Sisil berkisah tentang bagaimana anak-anak Kaki Abu asal Irian saat itu biasa saling memberi dukungan dalam momen-momen tertentu seperti wisuda sarjana atau merayakan ulangtahun bersama; Kakak Yan berceritera tentang kenangannya naik bus murah dari Semarang ke Jogya untuk hadiri wisuda Kak Sisil, termasuk kisah sepatu sang wisudawati yang rusak atau patah? Saya tidak ingat persis, tetapi tersirat sesuatu yang lucu di situ sehingga kami bertiga tertawa lepas bersama.

ads
Baca Juga:  OAP Sibuk Persoalkan Diskriminasi Hak Politik, Misi Eksploitasi SDA Papua Makin Gencar

Jangan membayangkan jaman serba instan hari ini, yang uangnya beredar lebih banyak, sarana komunikasi dan transportasi lancar antar Papua dan wilayah lain di luar Papua. Jaman itu, untuk ke luar Papua, kami hanya bergantung pada dua maskapai penerbangan, Garuda dan Merpati, dan dua kapal putih PELNI terkenal, Umsini dan Rinjani yang konon kabarnya, dibeli oleh PT Freeport McMoran yg kala itu ‘bahagia’ karena menemukan lagi harta karun terpendam di areal Grassberg, setelah areal eksploitasi pertama, Ertsberg telah menipis setelah dikeruk sejak awal 70an. Yaa, kapal berpenumpang yang menyinggahi beberapa pelabuhan besar, dari Jayapura, Biak, Manokwari, Sorong hingga Tanjung Priok di Batavia; sumbangan hasil Bumi Amungsa, Papua Barat!

Jaman itu jaman susah, serba terbatas. Dari kampung di Tanah Papua langsung menuju tanah Jawa untuk studi, dengan tingkat pengetahuan dan budaya yang berbeda, dalam ketidaktahuan akan banyak hal, bukanlah hal mudah, melainkan suatu perjuangan keras! Kami mengalami bagaimana rambut dan kulit kami disentuh oleh kawan-kawan sekampus, mungkin untuk memastikan ke-Papua-an atau ke-Melayu-an kami; bagaimana gaya kami bertutur menjadi bahan guyonan mereka. Dan masih banyak lagi pertemuan-pertemuan antar manusia dan budaya lain yang kami alami yang pada akhirnya membentuk karakter dan cara pandang kami sebagai anak Papua dan tempat dimana kami belajar kala itu.

Sebelum studi ke Jawa, nama si kakak ini sudah saya dengar sewaktu bersekolah di SMU YPPK St. Agustinus Sorong, ketika disodorkan formulir siswa berprestasi lewat jalur khusus masuk UGM. Kebetulan saya pilih jurusan Hubungan Internasional sebagai pilihan pertama dan administrasi negara sebagai pilihan kedua. Kakak Maria Hae yang baru lulus dari jurusan Ekonomi IKIP Sanatha Dharma Jogya mendorong saya agar baik pilih ke UGM saja. Katanya, ‘ adik, disana sudah ada satu kakak perempuan Irian dari Nabire yang kuliah di Fisipol, nanti kamu tidak sendiri. Apalagi kamu akan menetap di Asrama Putri Syantikara yang diasuh para suster CB, jadi Kakak dia sudah ada, jangan takut!’. Kebetulan Kak Maria adalah kakak tingkat almarhumah di asrama yang sama. Juga ada Kak Rosa Petege yang kuliah di IKIP Sanatha Dharma  juga. Apalagi Konggregasi Suster Carolus Boromeus (CB) bukan hal baru, saya sudah kenal karena SMU kami diasuh mereka.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Pada akhirnya pilihan saya jatuh ke kota yang lain, tapi saya sempat bertemu Kakak almarhumah di masa semester akhirnya. Saya betul kagum, ada perempuan Irian, dari gunung pula, yang bisa kuliah dan sudah hendak lulus dari UGM.

Saya betul-betul bangga! Mengapa demikian? Karena jaman itu perempuan Irian dari balik gunung bisa kuliah jauh ke Jawa itu suatu hal yang mustahil, apalagi kalau kita ini datangnya dari kampung dan anak dari orangtua yang secara ekonomi tergolong biasa saja. Petani, nelayan, peramu, atau pun pegawai rendahan.

Perantauan anak Irian di kala itu umumnya dilakukan oleh saudara-saudari kami dari pesisir, terutama yang orangtuanya pejabat pemerintahan daerah atau petinggi keamanan. Sudah bukan rahasia lagi di kalangan kami bahwa posisi orangtua adalah cheque bagi akses masuk mereka ke kampus-kampus negeri di luar Irian. Karena itu, keberadaan Kak Sisil yang datang dari pedalaman Nabire di UGM, apalagi melalui jalur seleksi siswa unggul, untuk saya merupakan prestasi yang hebat, suatu keberanian anak perempuan kampung yang gemilang.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Ketika tiba di Numbay, saya dengar kalau Kakak Sisil bekerja di Pemda Kota Jayapura, dan kemudian menjadi Lurah Angkasa; kalau tidak salah, ia perempuan pertama yang mendapat kepercayaan menduduki jabatan itu di masa Walikota Jayapura dijabat oleh MR Kambu.

Begitulah sedikit refleksi mengenang Kakak Sisil. Selamat jalan, Kakak. Kakak dan kita semua sudah rentes jalan, ibarat kita buka kebun baru bagi adik-adik, anak-anak kita yang hari ini makin percaya diri dan membanjiri kota-kota studi di pulau Jawa; suatu jumlah yang jauh lebih besar dibanding kita dulu yang bisa dihitung dengan jari saja. Tentu, di Jawa/luar Papua, kita tidak hanya kejar ilmu formal, tetapi kita juga berinteraksi dengan banyak hal baru, dan terutama, di sana adalah cermin bagi kita untuk menilai dan merumuskan siapa diri kita dan kemana hendak kita melangkah, bagi rakyat dan Tanah Air kita, Papua.

Selamat jalan, Kakak. Bahagialah di surga kekal. Ugatamema enaimooo…. (*)

Catatan: 

  1. Atas permintaan penulis, judul artikel ini telah diubah dari sebelumnya, Sesilia Mote, Perempuan Papua Pendobrak menjadi Perempuan Papua Pendobrak dengan sub judul Penghormatan untuk Kakak Sesilia Mote.
  2. Perubahan judul dan penambahan sub judul sama sekali tidak mengubah isi artikel.

 

Artikel sebelumnyaIndonesia Mas Givim Fridom long Pipel bilong West Papua
Artikel berikutnyaTNI Suspected in the Deadly Shoot of Two Civilians in Nduga