EDITORIAL: Otsus Su Basi!

0
1119

“Kesimpulannya, bagi Orang Asli Papua, Otsus adalah masakan dari 20 tahun yang lalu dan itu telah basi bagi Rakyat Papua. Jadi, jika masih dilanjutkan dan diberi makan ke rakyat, maka itu adalah racun.”

57 Pastor Katolik Pribumi dari lima Keuskupan se-Regio Papua menggarisbawahi ini dalam Seruan Pastoral terhadap sikap penolakan Otsus jilid kedua yang dikemukakan oleh berbagai komponen masyarakat di Tanah Papua. Seruan Pastoral disampaikan di Abepura, Kota Jayapura, Selasa (21/7/2020).

Memang Otsus ibarat makanan yang disajikan amat lezat. Terasa nikmat di lidah orang yang memakannya, tetapi sebaliknya terasa lapar bagi yang tidak kebagian. Rakyat Papua di pihak yang tidak kebagian, kerapkali mempertanyakan kapan hendak diberi. Tentu wajar berontak melihat orang lain dari hadapannya dengan leluasa menikmati menu lezat. Dan, itu telah berlangsung selama 19 tahun sejak Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua disahkan dan diberlakukan 21 November 2001.

Ukuran lezatnya sajian itu ada di menu anggaran atau uang. Gelontoran dana Otsus berbunyi triliunan rupiah memang mengundang selera tinggi banyak pihak. Bahkan sampai rebutan “kue Otsus”. Tentunya oleh pihak-pihak tertentu saja: kaum berdasi dan bersenjata bersama kompradornya di Jakarta dan Tanah Papua.

Ini hanya aspek anggaran. Belum yang lainnya, sebagaimana semua diatur dalam undang-undang peredam aspirasi Papua Merdeka itu. Di dalamnya terdapat 24 Bab dan 79 Pasal.

ads
Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Sejauhmana penerapannya dari setiap Bab dan Pasal UU Otsus Papua, sampai hari ini tidak jelas. Sedangkan UU Otsus memberi kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Faktanya, mungkin cuma soal anggaran yang diberi kewenangan penuh. Itupun kewenangannya terbatas. Masih dibawah kendali Jakarta.

Roh dari Otsus yang sudah terlihat adalah lembaga kultural: Majelis Rakyat Papua (MRP). Sementara, pembentukan lembaga rekonsiliasi dan peradilan di Tanah Papua –sebagaimana diatur dalam Pasal 45 dan 46, sampai hari ini gagal. Nol besar! Termasuk tiadanya pengakuan terhadap simbol daerah: Bintang Kejora, dan Lagu Hai Tanahku Papua.

Tidak cuma itu realita produk hukum yang dilahirkan pemerintah rezim Megawati Soekarnoputri.

Dua dari empat hal substantif akar masalah Papua yang kemudian diperkuat dengan kajian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Road Map Papua, yakni penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM oleh aparat pemerintah atas nama negara, dan pelurusan sejarah integrasi Papua ke NKRI, juga masih belum disentuh pemerintah hingga hari ini.

Kita benarkan pernyataan Frans Maniagasi, “Selama Indonesia merdeka dan 57 tahun (1 Mei 1963-1 Mei 2020) pascaintegrasi maupun 20 tahun setelah implementasi Otsus, Indonesia tidak pernah ada political will sedikitpun untuk menyelesaikan akar masalah Papua.”

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Kemauan politik pemerintah tidak sebatas berapa banyak dana yang wajib dialokasikan tiap tahun anggaran untuk Tanah Papua: provinsi Papua Barat dan Papua. Jika indikatornya anggaran, sebanyak berapapun yang dikucurkan, tidak perlu dihitung, karena ini “uang darah” sekaligus “uang hasil perut bumi Papua” yang diolah dari Jakarta untuk seterusnya dikembalikan ke pusat produksi.

Pemerintah Indonesia selalu gagal paham tentang Otsus. Dikira dengan kasih uang besar ke Papua, masalah beres? Ah, sabar dulu!. Itu salah besar, dan cara pandang keliru ini harus dibersihkan. Sebab, selama otaknya masih dipenuhi dengan pikiran tentang plafon anggaran, selama itu pula Indonesia gagal tangani Papua.

Otsus bukan sekadar dana, tetapi pelimpahan kewenangan penuh yang benar-benar sepenuhnya dan aspek prinsipil lainnya sebagaimana termuat dalam UU Otsus Papua —salah satunya adalah penghormatan terhadap harga diri sebagai manusia semartabat dan berhak hidup damai di atas tanah leluhurnya— sudah dengan sesungguhnya diterapkan atau justru sebaliknya?

Mendagri Tito Karnavian bilang Otsus Papua akan berlanjut hingga 20 tahun ke depan. Tito saat berdialog dengan para tokoh masyarakat Papua di Timika, Rabu (22/7/2020), didampingi Menko Polhukam Mahfud MD dan Wakil Ketua DPD Nono Sampono, panjang lebar bicara tentang kemungkinan besar pemerintah pusat terapkan kebijakan ini meski rakyat Papua sudah menyatakan menolak Otsus jilid kedua.

Baca Juga:  EDITORIAL: Pemilu, Money Politics dan Kinerja Legislatif

Kalau kita simak baik, ternyata pemahamannya masih seperti selama ini, bahwa kekhususan dari Otsus untuk provinsi Papua maupun provinsi Papua Barat adalah anggaran. Tiap tahun jumlah anggaran akan dinaikkan dari sebelumnya. Itu menurut Tito, berlaku tahun ini.

“Tahun 2020 anggaran untuk (provinsi) Papua lebih dari 15 Triliun. 8 Triliun diantaranya dari dana Otsus,” lanjut Tito, “Kemudian anggaran untuk (provinsi) Papua Barat kurang lebih 9,3 Triliun. 5 Triliun diantaranya dari dana Otsus.”

Bagi pemerintah, peningkatan angka anggaran itu bukti keseriusan terhadap percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan di Tanah Papua. Tetapi belum tentu di mata rakyat Papua. Bicara anggaran begitu supaya rakyat Papua puas, tenang dan tetap terima Otsus jilid kedua? Belum tentu semua langsung diam serentak. Apalagi mendengar ini hanyalah narasi manis. Narasi yang tidak bakal bikin tidur nyenyak.

Menu Otsus yang diproduksi 19 tahun silam, dimasak ulang dengan memakai wadah apapun, tidak mengundang selera makan bagi mereka yang tidak sempat kebagian pada waktu itu. Hendak diolah lagi dengan menambah aneka jenis bumbu pun sepertinya sama, bahkan sajiannya kemungkinan berpotensi racun baru bagi yang mengkonsumsinya. Dasarnya, Otsus su basi!. ***

Artikel sebelumnyaMahasiswa Kritisi Mirisnya Pembangunan di Maybrat
Artikel berikutnyaIni Hasil Tes CPNS Formasi 2018 Kab. Jayapura