PartnersMedia Tertekan, Tantangan Besar Bagi Demokrasi Melanesia

Media Tertekan, Tantangan Besar Bagi Demokrasi Melanesia

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Lingkungan media yang bermusuhan menimbulkan tantangan yang semakin besar bagi demokrasi Melanesia, menurut edisi terbaru Pacific Journalism Review.

Dengan edisi khusus pertamanya yang difokuskan pada Melanesia, jurnal penelitian yang berbasis di Selandia Baru memperingatkan bahwa hukum dan pembatasan budaya menjadi penghalang untuk membuka informasi, serta membungkam jurnalis.

Masalah media yang mendesak di kawasan ini dieksplorasi secara mendalam dalam apa yang editor jurnal, David Robie, gambarkan sebagai edisi paling signifikan dari penelitian jurnalisme Pasifik yang pernah dihasilkan.

Dia mengatakan dengan wilayah itu sekarang dalam periode yang menantang, ketika negara-negara menghadapi pandemi, yang mana hal itu lebih mengkhawatirkan bahwa krisis perubahan iklim malah dikesampingkan.

Baca Juga:  Ancaman Bougainville Untuk Melewati Parlemen PNG Dalam Kebuntuan Kemerdekaan

“Karena benar-benar perubahan iklim adalah masalah besar bagi masa depan mereka. Dan jika kita berurusan dengan media yang dikacaukan oleh pemerintah dan dicegah untuk secara bebas melaporkan informasi yang dibutuhkan publik untuk demokrasi, itu adalah masa depan yang sangat mengganggu,” katanya sebagaimana dilansir dari RNZ Pasifik.

Profesor Robie mengatakan, edisi PJR ini berasal dari kemitraan dengan Melanesia Media Freedom Forum yang didirikan tahun lalu dalam konferensi Brisbane pada bulan November dengan hubungannya dengan Griffith University.

Sebagai tanda tekanan terhadap jurnalis dan praktisi media di Melanesia, pemerintah Vanuatu berusaha untuk menolak salah satu delegasi di konferensi tersebut, yang mana adalah mantan direktur media Vanuatu Daily Post Dan McGarry, yang izin untuk masuk kembali ke negara itu.

Baca Juga:  Ratu Viliame Seruvakula Perjuangkan Keinginan Masyarakat Adat Fiji

Inilah salah satu contoh ancaman terkini yang dihadapi jurnalisme di Melanesia yang dicover dalam Pacific Journalism Review edisi saat ini.

Di antara artikel dan editorial oleh jurnalis dan peneliti regional adalah pemeriksaan represi negara terhadap kebebasan media di Fiji, Wilayah Papua di Indonesia dan Papua Nugini.

PJR menyoroti bagaimana kedua surat kabar harian utama PNG yang dimiliki oleh perusahaan multinasional luar negeri – Post Courier oleh taipan media Australia-AS Rupert Murdoch’s News Corp, dan The National oleh perusahaan penebangan, Malaysia Rimbunan Hijau.

Hal itu juga melihat bagaimana sektor telekomunikasi yang berkembang di PNG mengubah cara orang mengakses media dan informasi di negara terbesar di Pasifik itu.

Baca Juga:  Jurnalis Senior Ini Resmi Menjabat Komisaris PT KBI

Profesor Robie mengatakan, internet sangat penting bagi media di wilayah ini, karena kepercayaan publik terhadap media arus utama di negara-negara seperti PNG sangat rendah, tetapi memperingatkan juga ada kebutuhan kritis akan keseimbangan dan verifikasi.

“Dengan ketergantungan seperti itu pada media sosial yang lumayan merajalela .. segala macam cerita menakutkan dan hal-hal yang tidak diperiksa, dan sebagainya dapat muncul,” ujarnya.

“Jadi cukup sulit untuk mendapatkan situasi dengan media di mana ada informasi yang dapat dipercaya.”

‘Media Freedom in Melanesia’ edisi terbaru PJR dapat diakses di sini. (*)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Jurnalis Senior Ini Resmi Menjabat Komisaris PT KBI

0
Kendati sibuk dengan jabatan komisaris BUMN, dunia jurnalistik dan teater tak pernah benar-benar ia tinggalkan. Hingga kini, ia tetap berkontribusi sebagai penulis buku dan penulis artikel di berbagai platform media online.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.