Oleh: Thomas Ch. Syufi)*
Penulis adalah aktivis HAM Papua dan mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas
ada tanggal 21 Juli 2020, masyarakat Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat melakukan gerakan aksi penolakan pembangunan markas Komando Distrik Militer di Sausapor, ibu kota sementara Tambrauw. Gerakan ini memperlihatkan bahwa masyarakat Tambrauw tidak membutuhkan kehadiran militer(TNI) dan mereka hanya membutuhkan kesejahteraan dan kedamaian.
Pada bulan Juli 2020, para anggota Kostrad Kebar menganiaya seorang pemuda berinisial SA berusia sekitar 22 tahun, dengan cara menendang dan menginjak di perut, lalu mengaduk garam dengan air tawar dengan kadar tinggi sekitar setengah liter dipaksa ia minum hingga habis. Penganiayaan Alex Yapen oleh anggota TNI(Kodim) di Sausapor pada 12 Juli 2020, penganiayaan 2 warga Mubrani 29 Juli 2020, penganiayaan terhadap 4 pemuda warga Kosyefo di Kowor 28 Juli 2020, serta intimidasi warga Werbes dan Werur yang dilakukan oleh anggota Koramil Sausapor dan Kodim pada 25 dan 26 Juli 2020(laporan Yohanis Mambrasar, aktivis HAM Papua dan Kuasa Hukum DAS Abun dan LMA Abun dalam advokasi Pembangunan Kodim Tambrauw, 31 Juli 2020).
Hal itu membuktikan bahwa kehadiran TNI di Tambrauw dapat mengganggu ketenangan dan kenyamanan warga masyarakat. Masyarakat benar-benar merasakan atmosfer kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI. Pengalaman tersebut akan menjadi luka dan trauma yang kian berkepanjangan. Karena, selama ini masyarakat Tambrauw hidup dalam suasana damai: bebas beraktivitas tanpa diiterupsi oleh bayang-bayang ketakutan seperti sekarang. Namun kini tiba-tiba muncul tindak-tindakan koesif dari pihak militer(TNI) membuat masyarakat selalu dihantui rasa takut.
Di Tambrauw, kebebasan berekspresi atau menyatakan pendapat di muka umum pun dipasung. Tindakan itu bentuk dari pengkhianatan terhadap hak konstitusional warga negara, yakni Pasal 28 UUD 1945: ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Juga yang diderivasikan dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum.
Jadi prinsip hukum adalah equality before the law, semua orang adalah sama di hadapan hukum. Tak ada diskriminasi dalam penegakan hukum dan keadilan meski itu orang berpangkat besar, berpendidikan tinggi, kaya, miskin, kecil, semua paralel di hadapan hukum. Maka, dalam penegakannya, hukum harus menyentuh semua elemen warga negara, termasuk tegak bagi TNI yang melakukan delik pidana biasa maupun pelanggaran HAM. Tidak ada istilah “impunity” atau kebal hukum. Di situlah terpenuhinya rasa keadilan bagi semua warga negara, above the law is a justice, di atas hukum adalah keadilan . Dan, demi tegaknya hukum yang berkeadilan, aspirasi masyarakat Tambrauw perihal penolakan pembangunan Kodim harus segera direspon dan dilaksanakan oleh Bupati dan para anggota DPRD Tambrauw. Karena pengabaian terhadap aspirasi rakyat adalah penyangkalan terhadap pesan konstitusi, termasuk penundaan terhadap keadilan sama dengan tak tak ada keadilan, atau lazim disebut dalam pameo hukum, “Justice delayed is justice denied, keadilan yang ditunda adalah keadilan yang ditolak”.
Tidak terputus. Masyarakat Tambrauw hanya melakukan aksi demonstrasi damai tolak pembangunan Kodim, mereka harus diperlakukan dengan sikap-sikap tak terpuji, berupa teror dan intimidasi oleh aparat TNI. Aksi demonstrasi damai untuk penolakan pembangunan Kodim bukanlah masalah serius yang dapat mengancam kedaulatan negara atau menimbulkan kerusuhan besar yang meluluhlantakkan segala tatanan kehidupan, hingga masyarakat harus diperlakukan secara tidak beradab seperti itu
Selain itu, hal remeh-temeh seperti masyarakat mengonsumsi alkohol atau minuman lokal, berupa “ampau” saja, TNI harus turun tangan, show force, bertindak brutal, melakukan kekerasaan dan pemukulan. Atau masyarakat memalang jalan raya dan menyampaikan pendapat secara damai karena hak maupun aspirasi mereka yang tak pernah diperhatikan oleh pemerintah harus berhadapan dengan TNI.
Sebenarnya, perihal aksi pedemonstrasi damai itu merupakan peran Polri. Sesuai perintah Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yakni Polri mengemban tugas memelihara keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Bahkan termasuk menegakkan hukum, memberikan perlidungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Namun, yang terjadi di Tambaruw, bahkan di seluruh Tanah Papua secara umum, tugas dan fungsi Polri sering di-take over oleh TNI. Bila tentara mengambil alih fungsi Polri, maka yang ditunjukkan adalah kekerasan dan terjadi abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan). Untuk skala Papua, pendekatan kekerasan memang telah menjadi habitus mayoritas anggota TNI kita. Masyarakat selalu melihat tentara itu identik dengan kekerasan, bukan lagi sebagai mitra strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tampak sepertinya tentara tengah khianati reformasi. TNI tidak konsisten menjalankan amanat reformasi bahwa dwi fungsi ABRI telah dihapuskan. Di mana Polri menjalankan tugas ketertiban dan keamanan, serta TNI menjalankan tugas pertahanan sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dan dalam tugas pertahanan memiliki dua fungsi. Yakni fungsi perang dan fungsi menjaga teritori.
Pertama, fungsi perang dapat dijalankan di daerah perang. Wilayah perang adalah wilayah yang telah ditetapkan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Dan, kedua, fungsi teritori, yaitu TNI dapat menjaga wilayah perbatasan Indonesia dengan negara-negara asing, seperti Malaysia, Filipina, Timor Leste, Australia, dan PNG. Jadi, itulah fungsi utama TNI menjadi institusi pertahanan negara.
Selain itu, TNI dilarang keras melibatkan diri dalam kepentingan kekuasaan atau ikut bermain politik praktis. Apalagi menjadi instrumen yang menyokong atau mendukung seorang tokoh atau politisi tertentu. TNI adalah lembaga independen yang secara total tugasnya mengawal agenda pertahanan negara, entah dari aspek perang maupun teritori.
Karena TNI sebagai instrumen pertahanan negara, maka yang mempunyai kewenangan untuk mengarahkannya adalah kepala negara(presiden). Dan institusi lain selain presiden, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota tak punya kewenangan untuk mengarahkan TNI. Bahkan, Pangdam, Danrem, dan Kasdim pun tidak mempunyai kewenangan untuk mengarahkan TNI ke wilayah sipil. Atau juga diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah maupun UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua dan Papua Barat bahwa urusan pertahanan adalah kewenangan pusat, bukan daerah.
Selain itu, dimandatkan dalam UU No. 34 Tahun 2004 bahwa TNI bisa bekerja di wilayah sipil tapi itu sifatnya “perbantuan”. Tugas ini dapat dilakukan apabila Polri kewalahan atau tidak mampu menghadapi realitas yang terjadi. Misalnya, TNI membantu Polri melakukan operasi keamanan di wilayah konflik, menjaga keamanan pemilihan umum, dan melakukan kegiatan kemanusiaan saat terjadi musibah atau bencana alam.
Atas dasar alasan tersebut, TNI melibatkan diri dalam urusan operasi penegakan hukum di beberapa daerah konflik di Tanah Papua, seperti Nduga, Puncak Jaya, Lani Jaya, Intan Jaya, Timika, dan Paniai. Namum, terkadang tentara deviasif dalam menjalankan tugas perbantuan hingga melakukan pelanggaran hukum dan HAM, karena sengaja atau lalai dalam menembak warga sipil.
Sementara untuk Tambrauw bukanlah wilayah sipil, bukan daerah konflik atau perang yang harus dimobilisasi kekuatan militer untuk melakukan proses penegakan hukum. Jangankan perang, konflik atau kerusuhan sosial yang terjadi dalam durasi waktu satu menit-satu jam saja tidak pernah terjadi. Bagaimana mau meminta bantuan TNI—sementara tak ada konflik yang serius dan dahsyat terjadi di Tambrauw.
Jadi, untuk daerah Tambrauw untuk saat ini dinilai masih aman dan kondusif, maka jangan menciptakan rasa ketakutan dalam diri masyarakat Tambrauw dengan membangun Kodim. Meski itu urusan keamanan masih di bawah kendali Polri dan tentara sama sekali tak punya dalih untuk melakukan fungsi perbantuan di Tambrauw. Tentu untuk mengawal ketertiban dan keamanan dalam masyarakat Tambrauw, maka yang diperkuat adalah tenaga Polri. Polri harus dimaksimalkan kapasitas, kapabalitas, dan loyalitasnya dalam mengawal proses keamanan masyarakat di Tambrauw tanpa harus dibentuk Polres untuk saat ini.
Intinya, masyarakat Tambrauw saat ini tidak membutuhkan kehadiran tentara dengan institusinya, seperti pembangunan Kodim maupun Korem dan segala turunannya, termasuk memperbanyak Koramil. Yang paling penting bagi masyarakat Tambrauw adalah peningkatan taraf hidup(atau kesejahteraan). Masyarakat menuntut agar pemimpin daerah bisa mampu memperbaiki hajat hidup mereka sesuai visi-misi pemekaran kabupaten. Tujuan pemekaran adalah orang Tambrauw bisa hidup sejahtera: anak bisa sekolah gratis, tersedianya fasilitas sekolah yang memadai, sumber daya guru yang cukup, tenaga kesehatan dan fasilitas medis yang memadai, pengisian jabatan di birokrasi dan penerimaan CPNS harus mengutamakan putra-putri asli Tambrauw tanpa stigma mereka belum siap secara mental dan sumber daya manusia.
Juga diharapkan pemerintah daerah segera dirampungkan sejumlah jalan yang telah dibuka ke berbagai ibu kota distrik di Tambrauw yang banyak yang macet dan terhenti di tengah dalam proses pengerjaannya. Hal tersebut membenarkan ungkapan kata-kata dari George Pataki(75), politikus Amerika Serikat bahwa ketika pemerintah menerima tanggungjawab untuk masyarakat, maka orang-orang tidak lagi bertanggungjawab untuk diri sendiri.
Dan, dibutuhkan adalah laporan pertanggungjawaban yang komprehensif, simultan, sistematis, dan objektif terkait 10 tahun keberhasilan dan hambatan-hambatan pembangunan di Tambrauw. Masyarakat membutuhkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengelolaan pemerintahan, termasuk keuangan daerah. Bahkan proses penilaian dari Badan Pemeriksa Keuangan(BPK) yang selalu positif tidak menjamin bahwa suatu daerah atau institusi itu bebas dari korupsi. Sebab, menurut Prof. Mahfud MD, pakar hukum tata negara dan mantan ketua Mahkamah Konstitusi RI, “WTP bukan berarti tak ada korupsi. WTP hanya sebuah predikat bahwa laporan keuangan suatu lembaga sesuai akuntansi. Itu hanya laporan keuangan. Bukan berarti di dalamnya bebas dari korupsi,”(Okozone.com, 22 September 2019).
Menilik filosofi lahirnya sebuah kabupaten tidak beda dengan cita-cita dibentuknya sebuah negara, yakni mewujudkan keadilan dan kesejahteraan kolektif masyarakat. Pos-pos TNI (Kodim, misalnya), bukanlah tujuan pembentukan negara atau daerah, tapi itu hanya sebagai salah satu badan yang hanya membantu mendukung dan mengawal agar cita-cita kolektif berupa kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat itu tercapai.
Maka, pernyataan Bupati Tambrauw, Gabriel Assem soal Kodim wajib dibangun di Tambrauw yang menyebar di sejumlah media massa dan media daring adalah perlu dipertimbangkan atau dikaji ulang. Bahkan, untuk mengungkap tabir kekekerasan militer terhadap masyarakat Tambrauw, perlu adanya perlidungan dan bantuan hukum yang pasti dari lembaga terkait: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia(Komnas HAM), misalnya, untuk segera turun melakukan investigasi holistik dan menyeluruh terkait adanya dugaan kekerasaan dan pelanggaran HAM di Tambrauw. Untuk mengakhiri rasa trauma dan takut dari masyarakat, maka segera “di-demiliterisasi” Tambrauw: semua anggota TNI(pasukan organik maupun non-organik) harus tarik dari wilayah Tambrauw kecuali para anggota TNI yang memang ditugaskan di beberapa pos Komando Rayon Militer atau Koramil, seperti di Kebar, Sausapor, dan Amberbaken—yang memiliki ikatan sosial dan pendekatan antropologi yang baik—dengan masyarakat sipil setempat.
Jadi, masalah paling urgen di Kabupaten Tambrauw adalah soal “kepincangan” pembangunan, bukan soal ketiadaan pos-pos militer. Tentu, masih sisa waktu dua tahun lagi untuk Bupati Gabariel Assem memimpin Tambrauw dan ini menjadi ujian dan taruhan baginya. Masyarakat semua menaruh harapan dan ekspektasi besar agar bupati terus bergenjot dan bekerja serius untuk merampungkan berbagai pekerjaan sisa, baik ekonomi rakyat, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang belum diselesaikan pada kurun dua periode masa kepemimpinannya(2012-2022). Agar di akhir masa jabatannya, ia akan dikenang oleh masyarakat, bahkan terhibur oleh sejarah yang penuh romantika dan estetika karena karya pembangunan dan kemanusiaan yang ditorehkan dalam 10 tahun masa pemerintahannya.
Kata Thomas Jefferson(1743-1826), konseptor, proklamator, dan presiden ke-3 Amerika Serikat(1801-1809), “When governments fear the people, there is liberty. When the people fear the government, there is tyranny”. Ketika pemerintah takut kepada rakyat, itu kebebasan(demokrasi), ketika rakyat takut kepada pemerintah, itu tirani. (*)