Amnesty Indonesia dan Australia Desak Pemerintah Indonesia Batalkan Sanksi Finansial Kepada Vero Koman

0
2037
Aktivis dan Pengacara HAM, Veronika Koman (abc)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Pemerintah Indonesia harus melindungi para pembela hak asasi manusia (HAM) dan menghindari hukuman apapun terhadap mereka, kata Amnesty International Indonesia dan Amnesty International Australia pada, Jumat (14/8/2020), terkait tuntutan pengembalian dana beasiswa terhadap pengacara hak asasi manusia, Veronica Koman.

Veronica diminta untuk mengembalikan dana beasiswa sejumlah Rp773 juta untuk mengganti biaya studi pasca sarjana dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), sebuah program beasiswa di bawah koordinasi Kementerian Keuangan Indonesia. Veronica menempuh studi magister hukum di Australian National University (ANU) pada September 2016 dan lulus tahun lalu.

Kedua organisasi mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan sanksi keuangan terhadap pengacara HAM yang selama ini aktif mengadvokasi hak-hak masyarakat Papua.

“Ketimbang menjatuhi hukuman, Pemerintah Indonesia seharusnya mendukung upaya Vero dalam mengungkap dugaan pelanggaran HAM di Papua,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia.

Baca Juga:  HRM Rilis Laporan Tahunan 2023 Tentang HAM dan Konflik di Tanah Papua

Usman menambahkan tak seorangpun berhak menerima intimidasi karena berupaya melindungi hak asasi manusia.

ads

“Jika LPDP tidak memiliki alasan kuat untuk meminta pengembalian dana yang dapat dibuktikan secara hukum, kita percaya bahwa ini adalah bentuk intimidasi dan kriminalisasi untuk melemahkan Veronica dalam mengungkap pelanggaran HAM di Papua. Intimidasi terhadap pembela HAM jelas merupakan pelanggaran HAM,” kata Usman.

Veronica memberi bantuan hukum kepada banyak aktivis politik Papua dan mengungkap dugaan pelanggaran HAM di Papua.

“Mengungkap dugaan pelanggaran HAM bisa menjadi kesempatan Indonesia untuk menunjukkan komitmennya dalam mendukung kelompok-kelompok minoritas dan dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila, yang dianggap sebagai dasar negara. Veronica dan semua pembela HAM harus dilindungi dan didukung,” kata Sam Klintworth, Direktur Nasional Amnesty Australia.

Baca Juga:  Tiga Warga Sipil Disiksa, Begini Sikap Mahasiswa Puncak se-Jawa dan Bali

LPDP menyatakan sanksi keuangan dijatuhkan karena Veronica tidak kembali ke Indonesia setelah masa studinya berakhir. Di sisi lain, Veronica mengatakan ia sudah kembali ke Indonesia di tahun 2018 untuk mengadvokasi beberapa kasus di Papua. Tetapi, LPDP menolak penjelasannya dan berpendapat bahwa Veronica belum lulus pada masa itu dan baru lulus pada bulan Juli 2019.

Berdasarkan laporan-laporan media, banyak penerima dana dan alumnus LPDP bekerja ke luar negeri lalu tidak kembali ke Indonesia. Tetapi mereka tidak mendapatkan sanksi atas tindakan tersebut.

Ini bukan pertama kalinya Veronica menghadapi intimidasi. Selama dua tahun belakangan, ia sudah menghadapi pelecehan, intimidasi dan ancaman, termasuk ancaman pembunuhan dan pemerkosaan, atas segala aktivitasnya mengungkap pelanggaran HAM di Papua.

Ia pernah dituduh melakukan “penghasutan” hanya karena mengunggah postingan Twitter tentang serangan terhadap asrama mahasiswa Papua pada tanggal 17 Agustus. Polisi menuduh dirinya ‘menghasut’ dan melanggar Undang–Undangan Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pasal 160 Kitab Hukum Pidana, serta Undang-Undang Penghapusan Diskriminatif Ras dan Etnis, karena mereka menganggap unggahan itu sebagai berita palsu.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Amnesty telah menganalisa postingan Twitter Veronica Koman, yang mendokumentasikan pelanggaran HAM di Papua, serta menyimpulkan kriminalisasi terhadap Veronica di bawah UU ITE keliru dan menyalahgunakan hukum.

“Mereka yang berkuasa mencoba untuk membungkam pembela HAM. Mereka dipenjarakan karena menyuarakan kebenaran. Selama bertahun-tahun, mereka diancam, diserang, dan bahkan dibunuh,” kata Usman.

“Saatnya semua negara melindungi para pembela HAM dan memastikan bahwa mereka bisa turun ke jalan, mengekspresikan pandangan mereka secara damai,” sebut Sam.

 

Pewarta: Yance Agapa

Artikel sebelumnyaAfter Special Autonomy, What’s next?
Artikel berikutnyaPokja Perempuan MRP Gelar Hearing Dampak Covid Pada Perekonomian Mama-Mama Papua