BeritaAmnesty International: Usut Dugaan Kekerasan Polisi di Makassar dan Sorong

Amnesty International: Usut Dugaan Kekerasan Polisi di Makassar dan Sorong

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com—- Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia mengatakan, polisi Indonesia telah menunjukkan kesewenang-wenangan dalam menggunakan kekuasaanya dalam menggunakan senjata api dalam kasus dugaan penembakan tiga pemuda di Makassar dan dugaan penganiayaan terhadap George Karel Rumbino di Sorong, Papua Barat.

“Dua kasus ini kembali menunjukkan kesewenang-wenangan polisi dalam menggunakan kekuasaannya dan senjata api dalam melakukan proses hukum,” kata Usman Hamid sebagaimana release pers yang diterima suarapapua.com, Senin (31/8/2020).

Ia mengatakan, senjata api seharusnya digunakan untuk keadaan genting. Senjata api tidak boleh digunakan kecuali mutlak diperlukan dan tak bisa dihindari lagi demi melindungi nyawa seseorang. Jika hanya ingin melerai aksi pengeroyokan warga, seperti yang terjadi di Makassar, atau memberi peringatan, seperti yang terjadi di Sorong, itu sudah di luar proporsi. Jika sudah sampai merampas hak hidup, maka ini adalah pelanggaran HAM berat.

“Polisi harus melakukan investigasi secara menyeluruh, efektif, dan independen dan mengusut tuntas kasus di Makassar dan Sorong. Proses hukum juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, jangan ada yang ditutup-tutupi dan direkayasa. Keluarga para korban berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai ada impunitas hukum seperti yang selama ini terjadi.”

“Selama ini, aparat negara, baik dari kepolisian maupun TNI, yang melakukan tindak kriminal terhadap masyarakat sipil, sangat jarang melewati proses peradilan yang adil. Ini mengindikasikan kentalnya impunitas hukum dalam institusi tersebut. Keadilan harus ditegakkan. Pelaku harus mendapatkan hukuman pidana yang adil, bukan hanya sanksi disiplin institusional.”

Baca Juga:  Teror Aktivis Papua Terkait Video Penyiksaan, Kawer: Pengekangan Berekspresi Bentuk Pelanggaran HAM

Untuk kasus Sorong kata Hamids, pernyataan polisi bahwa tersangka dianiaya tahanan lain hingga tewas harus dibuktikan secara hukum, termasuk dengan menunjukkan bukti CCTV.

“Sekalipun itu benar, aparat kepolisian tidak bisa lepas tangan karena keselamatan tahanan di penjara polisi merupakan tanggung jawab polisi.”Sebelumnya, berdasarkan sumber Amnesty International Indonesia, pada tanggal 30 Agustus 2020, warga di jalan Boru dan Barukang 1, kelurahan Pattinggalloang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, mendengar tembakan gas air mata di area pemukiman padat penduduk. Dua petugas polisi melepaskan tembakan mereka ke kaki kiri AM (19).

Warga menemukan AM terjatuh dalam kondisi penuh darah. Ia langsung dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Laut Jala Ammari yang berada di jalan Barukang 3. Setibanya di Jalan Barukang 3, mereka dicegat oleh anggota polisi yang berada di sana. Dari keterangan warga dan rekaman CCTV, polisi melepaskan puluhan peluru ke Jalan Barukang 3.

Warga meminta polisi menghentikan tembakan mereka. Selama penembakan tersebut, seorang pemuda dengan inisial IB (23) tertembak di kaki bagian kanan. Tidak lama kemudian, seorang pemuda lain jatuh tersungkur dan diduga terkena tembakan di bagian dahi.

Baca Juga:  Empat Jurnalis di Nabire Dihadang Hingga Dikeroyok Polisi Saat Liput Aksi Demo

Kepada Amnesty, Kepolisian Makassar tidak menyangkal penembakan yang dilakukan anggotanya terhadap para korban. Mereka menyatakan petugas mengeluarkan tembakan dalam keadaan yang mendesak. Kasus ini sedang didalami oleh divisi Profesi dan Pengamanan (Propam).

Terpisah dari kasus di Makassar, musisi Edo Kondologit mengungkapkan di media sosial pada 30 Agustus 2020 bahwa iparnya, George Karel Rumbino alias Riko, meninggal setelah kurang dari 24 jam berada di Polres Sorong, Papua Barat.

Menurut Edo dan laporan beberapa media, Riko diserahkan keluarganya ke Polres Sorong karena keluarganya menduga ia terlibat dalam perampokan dan pembunuhan terhadap seorang tetangga perempuan yang ditemukan meninggal pada 26 Agustus 2020. Dugaan tersebut muncul setelah pihak keluarga menemunkan ponsel dan charger milik korban di bawah tempat tidur Riko.

Keluarga juga menduga Riko berada di bawah pengaruh minuman keras dan narkoba. Ia kemudian diserahkan ke Polres Sorong pada 27 Agustus 2020. Namun keesokan harinya pihak Polres mengatakan Riko telah meninggal dunia.

Edo menduga iparnya tersebut dipukuli dan dianiaya di dalam Polres, kemudian ditembak di bagian kaki saat hendak menyelamatkan diri. Sementara Polres Sorong justru menyatakan korban diduga dianiaya tahanan lain hingga tewas. Petugas polisi yang berjaga sempat berusaha mengevakuasi korban untuk dibawa ke rumah sakit. Namun akibat luka yang diderita korban cukup parah, nyawanya tak berhasil diselamatkan.

Baca Juga:  Tiga Warga Sipil Disiksa, Begini Sikap Mahasiswa Puncak se-Jawa dan Bali

Tindakan penembakan di Makassar merupakan bentuk pelanggaran hak untuk hidup, hak asasi fundamental yang jelas dilindungi oleh hukum HAM internasional dan Konstitusi Indonesia.

Indonesia telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional yang memuat perlindungan terhadap hak untuk hidup, diantaranya adalah Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Pasal 6 dalam ICCPR menegaskan bahwa “setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.”

Sedangkan untuk kasus dugaan penganiayaan di Sorong, hukum internasional telah mengatur standar hak para tahanan dan narapidana selama masa penahanan, termasuk ICCPR, Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (CAT), dan Aturan Standar Minimum untuk Perlakuan terhadap Tahanan (the Nelson Mandela Rules).

Seluruh ketentuan tersebut melarang seorang pun untuk disiksa, diperlakukan dengan kejam dan tidak manusiawi, atau direndahkan martabatnya, termasuk sebagai hukuman terhadap para tahanan.

 

Pewarta: Elisa Sekenyap

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.